watch sexy videos at nza-vids!




02/05/24
[ 1: 1: 531 ]
Create a site without programming

stela artois
Stella Artois Cerpen Bre Redana WANITA yang suka minum Stella Artois itu: adakah Borobudur akan menghadapkannya pada kebenaran Buddha? Adakah bangunan yang merupakan "gunung akumulasi kebijakan hidup dari sepuluh tingkat Bodhisatwa" ini akan mengarahkan langkahnya, menuju tujuan yang hendak ia capai? Bukan malah menjauhkannya -ibarat tujuannya ke utara sementara dia malah berjalan ke selatan? Bukankah banyak orang tersesat seperti itu? Empat poros candi lain -Candi Asu di timur, Candi Kulon di barat, berikut Candi Lor dan Candi Bubrah masing-masing di utara dan selatan- akankah mampu setiap saat memberinya orientasi baru mengenai arah yang hendak ia tuju? "Setiap orang harus mengubah hidupnya..." katanya. Aku menangkap beberapa facet makna dari kata-katanya. Pesan itu kalau aku pecah-pecah dalam kategorisasi bisa berarti seperti ini: 1) secara kualitatif aku lebih dari orang lain dalam mencari makna hidup. 2) Hidupku selama ini sia-sia, kini aku telah sadar dan aku hendak memperbaikinya. 3) Aku tak berdaya, hidupku telah buntu, maka aku lari ke jalan yang aku pahami sebagai jalan spiritual. 4) Aku tak tahan lagi melihat kenyataan, maka aku pejamkan mataku dalam yoga. 5) Kamulah sebenarnya yang membuat hidupku kehilangan pegangan, aku tak tahu lagi kini hendak melangkah kemana... 6) Aku menciptakan mekanisme pertahanan dengan terengah-engah agar tak tergoda untuk pengin tidur lagi denganmu, oleh karenanya aku ingin bersemedi... 7) Ooh kuasa alam, kuatkan dan jauhkan aku dari godaan makhluk kurang ajar ini... Hidup, sebenarnya sangat sederhana. Lihatlah otak-atikku di atas: jangan-jangan untuk membebaskan wanita ini cukup berikan dirimu setulus-tulusnya untuknya. Aduh, di situlah kiranya masalahnya. Diri kita adalah cuaca, yang berubah-ubah setiap saat. Terlebih di kota besar ini. Kusodorkan gelas minuman yang telah kuisi lagi. "Benar, kita harus mengubah hidup kita..." kataku. "Tapi kita jarang punya kesempatan seperti ini. Sekarang biarlah kita menikmati Stella Artois," tambahku sembari memperhatikan bibirnya, salah satu bagian dirinya yang paling kusukai. Diam-diam, aku terangsang, ingin mencumbunya, ingin menggumulinya... Mungkin karena pengaruh Stella Artois... Wanita ini, toh setiap kali masih juga membiarkan dirinya larut dalam pengaruh yang kusodorkan padanya? Tanganku kuletakkan di atas pangkuannya, sembari dengan sengaja aku meremas pahanya. Ia pasti sadar arah bahasa tubuh ini. Matanya menerawang, seperti ingin menolak, tapi tak berdaya. Tanganku gerayangan makin berani. Wilayah rupadhatu, apalagi arupadhatu, masih terlalu jauh. Ia tergoda dalam seribu godaan dunia kamadhatu termasuk persenggamaan dengan segala posisi seperti tertulis dalam Kitab Kamasutra. "Kamu pengin minum apa lagi? Ini ada cocktail bernama Orgasm. Mungkin enak..." kataku menunjuk daftar minuman yang memang mencantumkan menu bernama Orgasm, campuran minuman beralkohol antara lain terdiri dari vodka dan tripple secs. "Aku ingin orgasme sungguhan..." bisiknya sambil meremas tanganku yang masih kutumpangkan di pahanya. Hujan turun. Senja berlalu. Ada yang "tenggelam" pada tubuhnya tadi. Tak mudah baginya untuk benar-benar lepas dari jerat ini... *** SAUDARA-saudara, itu semua hanya sebuah stimulasi teks. Tak ada rujukannya pada dunia nyata, kecuali pada teks pertama yang tersebut di situ, yakni Stella Artois. Kelanjutan mengenai Stella Artois ini bisa begini: ketika aku sekolah di Inggris, pada liburan musim panas yang berlangsung kurang lebih tiga bulan, aku berkeliling ke negara-negara Eropa sebagai turis dengan budget terbatas, menyangklong ransel dan tidur di penginapan-penginapan murah. Favoritku adalah menginap di youth hostel atau YMCA -tempat penginapan murah yang tersebar di mana-mana di dunia, untuk mengakomodasi remaja dan anak-anak muda yang berpetualang di musim liburan. Kita tidak perlu melakukan pemesanan tempat segala. Pokoknya langsung datang di sore atau petang hari, mendaftarkan diri, mendapatkan satu tempat tidur yang di beberapa tempat menyerupai bangsal, malam hari melewatkan waktu di ruang serba guna beserta penginap-penginap yang lain, pagi sarapan ramai-ramai dengan para penginap yang datang dari berbagai negara itu, setelah itu angkat kaki dan pergi entah kemana lagi. Aku mendapati acara cukup istimewa ketika menginap di YMCA di Brussel. Malam itu, di dining hall atau ruang makan, muncul kelompok musik jazz amatir seusai acara makan malam. Orang menikmatinya dengan santai, sesantai para pemusik itu sendiri. Kota ini benar-benar kota yang menyenangkan bagi mereka yang menyukai musik, film, dan arsitektur. Penyanyi dari kelompok jazz amatir yang juga berkelana dari satu tempat ke tempat lain selama liburan itu wanita yang di mataku sangat atraktif, yang kemudian kuketahui bernama Kim, atau lengkapnya Lindle Kim Georgian. Dia adalah mahasiswi dari sebuah universitas di Amsterdam, suka menyanyi, dan kini tengah berkeliling dari satu tempat ke tempat lain bersama teman-teman kelompok musiknya tadi. Semua cerita itu kudapatkan malam hari setelah dia main, dan kami berdua ngobrol sampai lewat tengah malam, bahkan dini hari. Agaknya dia merasa cocok mengobrol denganku -sementara di pihakku, bukan hanya merasa cocok, bahkan ngebet. Kami ngobrol sembari menghabiskan berbotol-botol bir produksi negeri itu: Stella Artois. Nah, jelas kan kaitan diriku dengan Stella Artois? Hari-hari berikutnya, jadual perjalananku yang masih tersisa cuma kuhabiskan untuk mengintil dia dan kelompoknya berpentas. Dalam pandanganku yang penuh penghargaan tinggi pada diri sendiri alias "ge-er" atau gede rasa, wajah Kim kelihatan lebih berbinar-binar di pentas sejak adanya kehadiranku. Itulah episode awal percintaanku di Eropa. Pulang kembali ke Indonesia, romantisme Stella Artois itu terbawa-bawa. Aku mengonsumsi Stella Artois bukan hanya dia sebagai minuman, melainkan juga sebagai kenangan. Aku bisa bercerita atau membual apa saja tentang Stella Artois, sebagaimana aku bisa bercerita tentang bunga tulip di Keukenhof, Belanda, yang pada sekitar akhir Maret sampai awal Mei setiap tahunnya, taman kotanya dipenuhi bunga tulip beraneka warna, menjadikannya seperti taman pelangi. Atau juga bunga crocus, bunga berwarna putih yang muncul serentak di awal musim semi, yang di kota kecil bernama Darlington, Inggris, konon ditanam di seluruh kota oleh seorang kaya raya di akhir abad ke-19 untuk dinikmati seluruh penduduk kota. Baron kaya raya itu menanami seluruh kota dengan crocus sebagai persembahan untuk mendiang istri yang sangat dicintainya, dan dia ingin seluruh penduduk kota ikut merayakan cintanya. *** KEMBALI kepada wanita yang kuceritakan sebelumnya tadi, dia adalah salah satu dari beberapa wanita di Jakarta yang kemudian ikut-ikutan kebiasaanku meminum Stella Artois. Kadang kupikir-pikir, Stella Artois telah menjadi semacam mantraku untuk hidup dan mengembangkan khayalku yang tak keruan, termasuk omongan yang bisa meracau kemana-mana kalau kebanyakan meminumnya. Kusebut beberapa wanita, karena memang demikianlah kenyataannya. Di antara beberapa wanita tersebut ada juga seorang wanita yang tampaknya berbakat sebagai pengarang. Dia pernah menulis sebuah fiksi dan dimuat di sebuah koran, bercerita mengenai seorang lelaki yang suka meminum Stella Artois. Ditegaskannya padaku, bahwa lelaki itu aku, dan katanya dia menulis cerita itu untukku. Waktu itu aku bangga, meski tidak berarti aku lantas menjadi sangat mencintainya. Aku pernah tidur dengannya, namun setelah itu hubungan kami merenggang, sampai akhirnya aku tak pernah lagi mendengar kabar beritanya. Atau, adakah keberadaan wanita yang kuanggap berbakat sebagai pengarang itu lagi-lagi cuma sebuah stimulasi teks, dari pikiranku yang melantur kemana-mana gara-gara pengaruh Stella Artois? Adakah sebenarnya aku tengah punya masalah: menjadi tak bisa membedakan mana nyata mana bukan nyata ketika mulai meminum Stella Artois? *** AKHIR-AKHIR ini, gangguan pikiran itu menjadi-jadi. Aku benar-benar merasa mengenal seorang wanita, yang menyatakan diri "hendak mengubah hidupnya", dan kemudian menentukan untuk meninggalkan Jakarta, lalu pindah dan hidup di desa di lingkungan Candi Borobudur. "Kalau ada waktu, datanglah ke desaku. Desa ini sangat permai. Aku merasa lebih sehat di sini. Setiap pagi aku jogging di jalanan beraspal yang masih sepi, kiri kanannya sawah, sementara di kejauhan melingkar pegunungan Menoreh..." ceritanya padaku. "Kalau kamu ke sini, jangan lupa bawa buku-buku, karena di sini aku membuka sebuah perpustakaan untuk anak-anak di desa," tambahnya. Lebih gila lagi, dalam kesadaranku aku merasa benar-benar menyambanginya ke desa di lingkungan Candi Borobudur itu. Kemudian, kepadanya lagi-lagi kusodorkan mantraku: Stella Artois! Ia tampak kaget. Lalu tanpa kuduga tiba-tiba dia menangis. Tangisnya seperti sebuah bendungan jebol, disertai airmata yang berhamburan seperti percikan gerimis. "Mengapa kau selalu menggangguku?" ucapnya tersedu-sedu. "Aku memang tak tahu, adakah pilihan hidupku ini benar atau tidak, tapi sebenarnya aku selalu berdoa untukmu, agar jalan hidupmu tak melulu berupa jalan Stella Artois..." tambahnya mengagetkanku. *** BOROBUDUR tak berubah dari waktu ke waktu. Dia tegak memaku, memandangi matahari yang tenggelam di balik rentetan perbukitan ketika senja tiba. Aku ingin melanjutkan spekulasiku mengenai Stella Artois begini: 1) Wanita itu benar-benar ada, dan aku pernah minum Stella Artois di sebuah kafe dengannya. 2) Wanita itu tidak ada, tapi kuada-adakan untuk melengkapi keberadaan Stella Artois. 3) Wanita itu ada, sementara semua hal yang kuceritakan tidak benar-benar ada kecuali untuk menyenangkan dirinya yang ingin diceritai entah apa saja mengenai Stella Artois. Mendadak aku terbangun oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Gila, aku benar-benar habis tertidur begitu lelap sampai kehilangan orientasi tempat dan waktu. Ini bukan senja hari seperti tatkala matahari tenggelam di balik perbukitan di seberang Borobudur. Kapan dan dimanakah ini? Aku mengumpulkan kesadarankuóatau bahkan nyawaku."Enak ya, tidurnya?" Kudengar suara wanita. "Aku takut mengganggu, karena kelihatannya tidurmu nyenyak sekali. Kamu bau ji gong *..." tambahnya berseloroh. Kuperhatikan wanita itu. Bau tubuhnya masih menempel di tubuhku. Dia nyata, dan memang wanita yang sangat kukenal. Sementara tempat ini, kusadari sebuah kamar hotel dengan jendela kaca besar menghadap ke perbukitan dan gunung-gunung. Pagi sudah datang sejak tadi. Korden telah dibuka sehingga aku langsung bisa melihat hijau dan birunya pemandangan di sana. Karmapala: kadang aku percaya, mengenai karma dan kelahiran kembali. Wanita ini, sungguh, selalu singgah dalam hidupku dari masa ke masa... Jakarta, Januari 2004 * Ji gong, maksud wanita itu, artinya liur.

HOME | BACK
Tampilan terbaik pada HP dengan resolusi layar 240x320 & menggunakan opera mini v4.2 , dan di malam hari.
online counter
TOP-RATINGMobPartner Counter
Best Wap Sites

PluzTopwapinfoBestTraffic.mobiBestTop.MobiTOP RANK*tswaplogsTraffic Boost Enginexox
Created by: Safikā„¢
banjarmasin Ā© juli 2010