watch sexy videos at nza-vids!




29/04/24
[ 1: 1: 656 ]
Wap builder

suci rara oyi
Suci Rara Oyi Cerpen Amir Machmud NS SUKMA Rara Oyi melayang-layang menuju ke langit lapis ketujuh. Ia terbang diiringi para bidadari. Sesekali, matanya memandang ke bawah, menangkap gumpalan asap yang berjalan bergulung-gulung. Sukma Rara Oyi terus terbang menggapai lapis demi lapis langit, sesekali menyeruak menerobos tebaran mega putih. Sesekali, ia melihat ke bawah, ke bekas kehidupan yang telah ditinggalkan. Dan, sesaat tadi bekas hidup itu masih membekaskan sisa kenangan. Pahit, namun tawa para bidadari mampu meluruhkan semua sisa yang ditinggalkan menuju lapis demi lapis langit, ke lapis ketujuh. Sesaat tadi Oyi telah tidak lagi memercayai cinta. Tak mau lagi memercayai cinta di sisa usia yang diyakini sudah sangat pendek. Sesaat tadi, di pangkuan Putra Mahkota Mangkurat, Oyi tidak memberontak. Juga tak merasakan geletar apa pun. Hatinya sudah beku. Sebentar lagi keris kekasihnya itu akan segera mengakhiri hidupnya. Di hadapan paseban agung 1), di hadapan Susuhunan Mangkurat, di hadapan Pepatih Mangkubumi, di hadapan Prameswari, di hadapan para tumenggung dan adipati. "Percayalah Yayi, cintaku kepada Yayi tak mungkin terukur," Putra Mahkota masih membisikkan kalimat-kalimat syahdu. Tetapi itu tidak ada artinya di hadapan wanita yang sadar sedang menghadapi mati. Rara Oyi tak lagi mau memercayai cinta di sisa usia yang diyakini sudah sangat pendek. Ia tidak menjawab sampai Putra Mahkota mengulang bisikannya, dengan suara bergetar, "Yayi, kita ditakdirkan berkumpul bukan di alam sementara. Bukankah alam kelanggengan 2) itu tempat kita yang sesungguhnya?" Rara Oyi tiba-tiba menjadi sangat muak. Putra Mahkota yang memangkunya itu bukan lagi Pangeran Mangkurat yang kemarin, sepekan, atau yang tiga bulan terakhir dikenalnya erat. Sangat erat. Pangeran yang selama ini menggetarkan hatinya, merasuki mimpi-mimpi, yang dengan berani merebutnya dari hati ayahanda Pangeran sendiri. Masih diingatnya ketika tiga bulan silam Putra Mahkota mengungkapkan tekad, "Demi Yayi, aku tak peduli tindakanku ini nantinya dinilai melawan Raja". Dan, Oyi tak berdaya. Ia baru beranjak akil balik ketika diboyong dari bangsal khusus kaputren untuk dipersiapkan sebagai selir Susuhunan Mangkurat. Dalam asuhan kakek-neneknya Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari, ia tumbuh menjadi sekar kedaton 3) yang memesona. Yang bahkan Putra Mahkota pun berani mempertaruhkan hubungan dengan ayahandanya, mempertaruhkan haknya sebagai seorang pangeran calon raja, mempertaruhkan nyawanya karena berani melawan Raja dalam aras kehormatan yang paling peka. Toh dengan kekhawatirannya Rara Oyi masih mencoba untuk mengingatkan, "Pangeran, tidakkah ini melanggar angger-angger 4) keraton? Pangeran bukan hanya menghadapi Baginda Raja, tetapi juga tidak berbakti kepada ayahanda". Cinta telah membutakan hati Pangeran Mangkurat. "Oyi. Aku tidak sengaja berniat untuk berhadap-hadapan dengan Raja. Aku tidak ingin dicap durhaka kepada ayahanda. Bukankah dulu, Eyang Sutawijaya juga mendahului kehendak ayahanda angkatnya Sultan Hadiwijaya dengan menyunting Putri Semangkin dari Danaraja? Kau tahu, Oyi, Semangkin dipersiapkan menjadi selir Sultan Pajang, namun Sutawijaya berani memperjuangkan suara hati seperti yang aku lakukan sekarang". Rara Oyi mendesah. Taman Kaputren Pandansari itu hening. Malam makin bergeser larut. Dan, Pangeran Mangkurat melanjutkan, "Kau tahu Yayi, mengapa Sutawijaya berani melakukan itu?" Oyi tidak menjawab, dan Mangkurat kembali meneruskan, "Karena cinta, karena daya kekuatan yang tak terlawan itu Oyi...." Gadis itu menangkap kesungguhan Putra Mahkota. Tiba-tiba ia menukas, "Tetapi Pangeran, ayahanda Sunan berbeda dari Sultan Pajang." Tetapi, kamar kaputren itu sudah telanjur membara. Pangeran Mangkurat yang menyalakan api, dan gairah Rara Oyi pun ikut terbakar. *** TATAPAN sayu Pangeran Mangkurat tidak mampu mencairkan hati Oyi yang sudah beku. Beku, tetapi melawan. Di hadapan paseban agung itu perintah Susuhunan tak mungkin terlawan. Nadanya dingin, "Sudahi, sudahi Ananda". Tegas sekali. Pangeran Mangkurat tahu benar tekanan kata-kata itu. Ayahandanya tak lagi mau memandang ke arah Rara Oyi yang terkulai lemah di dalam dekapannya. Dan, sekali lagi perintah itu menggaung di ruang paseban, "Akhiri!". Gemetarlah tangan Pangeran. Dekapannya mengendur, kepala Oyi makin terkulai, dan debaran jantung para pejabat kedaton seakan-akan terdengar jelas di antara ketegangan yang makin mencekam. "Pangeran, Susuhunan bertitah...." Pepatih Mangkubumi seperti mengingatkan, dan semua yang hadir paham betul makna perintah itu. Pangeran Mangkurat juga tahu titah Raja bukanlah perintah seorang ayah yang bisa ditawar dan dibantah dengan rengekan. Ini sabda pandhita ratu 5). Malam makin bergeser. Hati Putra Mahkota bertambah kalut ketika udara malam disayat ungkapan pilu Rara Oyi, "Mengapa ragu, Kangmas Pangeran? Mengapa tidak setegas ketika Pangeran menemuiku di kaputren, mengambilku, dan menyatakan berani menentang hak Raja? Dan Kangmas mengatakan itu sebagai perjuangan memenangkan suara hati? Mengapa Pangeran menjadi seorang pengecut?" "Oyi!" Mangkurat tersedak. Suaranya tak kalah pilu. Sri Susuhunan meradang. Gadis kecil itu. Ya, dua tahun silam, perempuan itulah yang disiapkan untuk diperselirkannya, dan karena belum akil balik, dititipkan dalam asuhan Pangeran Pekik dan Bibi Putri Pandansari. Bagi Raja, aib telah mencoreng keraton ketika perempuan itu ternyata malah merajut kasih dengan putranya sendiri. Dalam keputusasaan, Rara Oyi berbalik menuding Putra Mahkota yang tidak membelanya. Gadis yang sudah kehilangan harapan itu tak lagi memedulikan suasana. Ia berdiri, dan dengan pandangan menikam Pangeran dia berbicara lantang, "Rupanya Kangmas memang bukan Eyang Panembahan Senapati yang perkasa. Bukan Sutawijaya yang dengan jantan meminta kepada Sultan Pajang untuk membawa Putri Semangkin ke Perdikan Mataram. Pangeran tak lebih dari pria-pria kedaton yang hanya menuntut hak tetapi enggan membayar kewajiban..." "Oyi...," gemetar suara Pangeran. "Akhiri!" perintah Susuhunan menindih ketegangan. Hati Pangeran Mangkurat makin pepat tersayat, "Oyi. Semua yang kau katakan itu benar, Yayiku...." "Bawa keluar dan akhiri. Bawa sekalian Pangeran dan akhiri!" perintah Susuhunan terdengar mengguntur dibalut kemurkaan. Oyi tak melawan, dan ia mengacuhkan pandangan sayu Pangeran Mangkurat yang membiarkan dirinya dibawa keluar paseban oleh sejumlah prajurit. Tetapi belum lagi mereka menuruni tangga paseban, semua dikejutkan oleh suara yang tak kalah berwibawa, "Hendak kalian bawa ke mana cucuku?" Sepasang lelaki dan perempuan tua tiba, menyambut Rara Oyi. Susuhunan terkejut, dan tanpa sadar menyebut nama, "Paman Panembahan Pekik!" "Ya, Susuhunan. Saya datang bersama bibi putrimu Pandansari," sahut orang tua itu. Tetapi basa-basi sesaat itu telah mengubah keadaan. Rara Oyi yang kehilangan harapan bertindak nekat. Ia merebut keris Pangeran Mangkurat dan membunuh diri di hadapan kekasihnya. Bibi Pandansari menjerit. Pangeran Mangkurat berteriak. Hanya sekejap, dan jiwa Rara Oyi tak tertolong lagi. Raja berubah kalap. Ia memerintahkan Mangkurat dibunuh. Dalam kekacauan, suara Pangeran Pekik menindih kehirukpikukan di paseban, "Susuhunan, bagaimanapun saya ketitipan 6) Oyi, dan tindakan Putra Mahkota ada dalam tanggung jawabku". Nadanya menikam. Para pembesar keraton pun terkejut mendengar pernyataan itu. Susuhunan terhenyak, namun ia berusaha cepat-cepat mengatasi pengaruh Pangeran Pekik, "Paman Panembahan, ini urusan Raja, tanggung jawab Raja, titah Raja". "Urusan Raja bukan sekadar persaingan cinta bapak-anak semacam itu, Susuhunan. Apalagi dengan penyelesaian nyawa yang begitu mudah," Pangeran Pekik tak kalah keras menyahut. Pepatih Mangkubumi dan para sentana keraton menggeser kaki. Murka pun tak terbendung. "Tumpas semuanya!" Darah kembali membasahi paseban. Dua sesepuh paling dihormati di keraton Mataram tertelungkup bersimbah darah. Tak sempat ada yang melihat muka Raja yang segera berbalik badan meninggalkan paseban diikuti Prameswari. Hati Pangeran Mangkurat kembali tersayat. Ia menjadi saksi sekaligus pelaku sebuah pergumulan cinta berdarah. Bahkan dialah yang menjadi pusat. Dia telah kehilangan cinta, kehilangan kehormatan, kehilangan kepercayaan. Bahkan sangat mungkin kehilangan tahta. Sejenak ia menunggu, karena Susuhunan menitahkan untuk menumpas semua, termasuk dirinya. "Lakukanlah, Paman Patih," suaranya pasrah dan menantang. Patih Mangkubumi, sejumlah tumenggung dan adipati menangkap keputusasaan itu. Perintah Raja telah jatuh, tetapi mereka tak juga melakukan sesuatu. "Lakukanlah, Paman...." Pangeran Mangkurat memejamkan mata. Dia merasa tubuhnya melayang, seakan-akan terbang seperti kapas putih yang mengejar bayangan berpakaian serba putih. Pangeran juga menyaksikan mahkota putih dan tahta putih yang berdarah-darah. "Oyi, Raya Oyi...!" ia berteriak. Mereka yang tersisa di paseban tenggelam dalam ketermanguan. *** SUKMA Rara Oyi merekam semua peristiwa itu di tengah tawa para bidadari yang mengiringinya menuju perjalanan ke langit lapis ketujuh. Ia melayang-layang seperti menari riang. Langit tujuan semakin dekat ke penggapaian. Sukma suci yang tak lagi merekam cinta, tak lagi merekam darah, juga tidak merekam kekuasaan. Ia juga tidak lagi memandang ke bawah. Tidak juga ke arah Mataram, tempat orang-orang keraton memandang iba Pangeran Mangkurat yang kini suka mencampur-aduk suara tawa dan tangisnya. Genuk Indah, 2003 Catatan: 1) paseban agung = ruang pertemuan utama. 2) alam kelanggengan = alam akhirat. 3) sekar kedaton = bunga keraton. 4) angger-angger = peraturan. 5) sabda pandhita ratu = ucapan raja yang tak terbantahkan. 6) ketitipan = merasa dititipi.

HOME | BACK
Tampilan terbaik pada HP dengan resolusi layar 240x320 & menggunakan opera mini v4.2 , dan di malam hari.
online counter
TOP-RATINGMobPartner Counter
Best Wap Sites

PluzTopwapinfoBestTraffic.mobiBestTop.MobiTOP RANK*tswaplogsTraffic Boost Enginexox
Created by: Safik™
banjarmasin © juli 2010