watch sexy videos at nza-vids!




28/03/24
[ 1: 1: 468 ]
Landing page builder

tempat damai diatas pelangi
Tempat Damai di atas Pelangi - Agustinus Wahyono Dikemas 09/05/2003 oleh Editor Usai kunjungan khusus ke sebuah pabrik kaos oblong di Tangerang waktu lalu, kusempatkan diri singgah ke Bogor. Nyaris lima tahun aku tidak mengunjungi Kota Hujan ini, semenjak aku tidak lagi terlibat cinta dengan “seseorang”. Ya, hampir lima tahun, terhitung sejak kami memutuskan tali cinta yang, bagiku, percuma. Akhirnya kami sepakat berpisah dan bebas menentukan sendiri pilihan atas jalan-jalan kami. “Mantan gadismu itu sudah menikah, Noy,” tutur kawanku beberapa waktu lalu. “Lho, kapan?” “Beberapa bulan setelah kalian putus. Mungkin gara-gara dia kecewa pada dirimu yang hanya suka pacaran tanpa pernah sudi menikahinya.” “Ah, kau terlalu berprasangka.” Mungkin benar, tampaknya aku lebih berani berpacaran saja ketimbang menikah. Tanteku sendiri pernah mencibir, “Kamu itu nggak berani kawin aja.” Aku malu sekali dibilang begitu. Tapi, jujur, aku memang takut. Sebab aku masih takut, ragu dan bimbang untuk memulai sebuah kehidupan baru yang disebut rumah tangga, keluarga baru. Aku takut kehilangan kebebasanku. Hal itu berlanjut hingga usiaku melewati 30 tahun – tapi sebagian orang bilang 30 tahun belum terlalu tua. Ketika kini aku berani, justru belum kusiapkan gadis lainnya. Betapa kini aku kembali ke kota yang telah sedikit-banyak memberiku kenangan. Masih seperti dulu, saban aku sampai, gerimis selalu menyambut kehadiranku. Itulah keramahannya hingga kini tetap terasa. Aku suka sekali. Aku selalu ingin segera bertemu dengannya. Menyentuhnya. Memilin jarum-jarum cair yang tak pernah mengenal musim. Dia akan merengkuhku dengan dekapan basahnya. Kebasahan yang menghangatkan pertemuan yang membuatku senantiasa rindu pada Bogor. Tapi itu hanya kerinduan pada hujannya, pada sesuatu yang tak akan pernah menantangku “nikahi aku kalo emang kamu berani”. Hari ini, seingatku, aku belum membuat janji untuk bertemu “seseorang” alias gadis yang pernah selama bertahun-tahun bersemayam dalam hatiku itu. Kebetulan aku pun tak tahu berapa nomor HP-nya dan alamat emailnya. Berarti, aku bisa memberi kejutan padanya. Ya, itu keinginanku. Paling tidak, aku bisa menengoknya. Tidak lebih, dan memang aku tidak punya maksud-maksud mengusut benang cinta yang telah lama kusut, terputus, hanyut. Yah, meskipun aku masih sangat mencintainya sampai detik ini. Mencintainya, karena dialah cinta pertama saya yang paling menggebu-gebu. Benarkah aku tak merindukannya lagi? Kendaraan-kendaraan di sekitarku tetap melaju, menembus guyuran gerimis. Mereka terbiasa begitu. Sementara sembari berlindung di halte, kurapatkan jaketku demi menolak sergapan dingin nan basah. Sebab, aku hanya suka dingin tanpa dicampuri basah. Dan, kubiarkan pertanyaan seputar “seseorang” itu merambati jiwaku. Ehm, mungkin anak-anaknya sudah dua atau bahkan lebih. Mungkin rumahnya sebesar istana mungil yang asri dan penuh kehangatan. Mungkin suaminya tampan, berwibawa dan kaya raya. Mungkin seorang direktur sebuah perusahaan termasyhur. Ya, dia memang seorang gadis yang beruntung, dan suaminya justru lebih beruntung lagi. Di dunia ini, pria itulah yang paling berbahagia, karena memperoleh istri yang sebaik dia. Dulu aku ingin seberuntung suaminya kini. Dulu aku ingin bisa memegang erat-erat gadis itu selamanya. Tapi dasar memang bukan keberuntunganku. “Ah!” desahku pendek. Ada setumpuk sesal menindih batinku. Cukup lama kunantikan gerimis reda. Pun kendati reda, sesaat saja akan kembali mencurahkan kebasahannya. Kupikir, tak mengapa. Inilah sebabnya kenapa disebut Kota Hujan. Apalagi sewaktu kutengok langit lapang terbentang dengan bongkahan-bongkahan mendung melintas. Aku berjalan kaki diiringi aroma tanah basah kota ini. Sejuk. Sekitar separo jalan menuju ke rumah “seseorang” itu mendadak kulihat pelangi menukik. Pita sutera berwarna-warni itu melengkung, cembung membentuk busur dan kedua ujungnya menjejak di kaki langit dengan jarak renggang yang sukar kuhitung. Waow, indah nian, gumam takjubku. Seketika aku teringat masa kecilku, saat saya pertama kali melihatnya, saat pertama kali ibuku berkisah tentang pelangi. Waktu itu saya bersama ibu sedang duduk di teras depan. Barangkali hanya pikiranku yang saat itu tiba-tiba terhanyut menuju masa lampau melalui pelangi. *** “Pelangi itu adalah selendang para bidadari, yang digunakan sebagai jembatan untuk turun ke bumi,” cerita ibuku dulu. “Bidadari itu siapa, Bu?” “Mereka adalah putri-putri kahyangan yang cantik jelita tiada tara.” “Cantik seperti Ibu?” Ibuku hanya tersenyum. Aku pun tersenyum. Tapi senyum ibuku manis sekali. “Kenapa selendang itu nggak basah, padahal ‘kan habis kena air hujan? Terus, kenapa cuma munculnya sehabis hujan, Bu? Kok nggak hari selain hujan?” Ibuku tidak menjawab. Entah kenapa. Atau, barangkali saja ibu kebingungan mencari kata untuk membuka pintu pengertianku. Untuk menerangkan dengan dalil-dalil ilmu alam, mana mungkin di seusiaku yang belum genap lima tahun itu aku sanggup memahaminya. “Jumlah selendang itu,” lanjut ibuku tanpa hirau pada pertanyaanku tadi dan aku pun tidak peduli pada pertanyaanku sendiri, “ada tujuh dengan warna berbeda. Selendang itu tersusun menjadi jembatan angkasa. Di atas pelangi itu, di atas langit, di situlah letak suatu tempat yang dipenuhi jalan permata, tanah-tanah selembut sutera, rumah-rumah mirip istana, sungai susu, telaga madu, tanpa matahari yang menggigit kulit dan tanpa bulan yang menyeramkan, langit berwana-warni, dan para penghuninya tidak suka marah-marah atau berkelahi. Indah dan penuh kedamaian. Tempat itu disebut kahyangan.” “Kahyangan itu planet apa, Bu?” tanyaku seolah terbawa keindahan warna pelangi yang menjelma sebagai selendang serta kehebatannya menjadi jembatan menuju tempat bernama kahyangan yang, kata ibuku tadi, indah dan penuh kedamaian. Lagi-lagi ibuku tersenyum. Ibuku tahu bahwa aku cuma tahu kisah-kisah tentang planet-planet yang sering muncul dalam film-film kesukaanku. “Kahyangan itu surga,” jawab beliau seraya mencengkram pipiku dengan gemasnya. Aku mengaduh, karena memang sakit. Sakit-sakit menyenangkan, karena cengkraman itu adalah bahasa kasih tersendiri. Aku hafal sentuhan kasih ibuku. Waktu itu kupikir, salah satu planet yang sering muncul dalam film-film adalah kahyangan. Pantas saja orang-orang bumi berlomba-lomba mengungsi ke planet itu, berperang demi planet, dan bahagia di planet itu. Pasti planet itulah kahyangan, seperti yang disebutkan ibuku. Tak salah lagi, pasti planet seperti dalam film-film itu. Hari-hari berikutnya, setiap habis hujan, aku selalu mencari ibuku. Bertanya lagi tentang selendang dan kahyangan. Dan ibuku selalu memberi waktu untuk berkisah. Entah dari mana ibuku memperoleh bahan-bahannya. Bagiku, ibuku adalah guru sejatiku, yang mengajarkan apa saja untuk memuaskan kehausan pengetahuan kecilku. Aku suka sekali dengan dunia atas langit, dunia kahyangan ciptaan ibuku itu, atau planet kahyangan seperti kisah-kisah dalam film-film kesukaanku. Aku membayangkan sebuah istana, taman dan segala kemeriahannya. Aku membayangkan para penghuninya, robot-robotnya. Aku membayangkan permainan-permainan yang biasa kumainkan bersama kawan-kawan kecilku. Anak-anak di sana pasti baik hati dan tidak jahil. Aku membayangkan makanan yang serba enak, buah-buahan yang bertaburan. Aku membayangkan udara sejuk dan mentari tak jahat menyengat. “Banyak nggak sih orang di planet kahyangan itu, Bu?” “Hanya orang-orang yang hidupnya baik saja yang akan bisa sampai ke sana.” “Aku ingin ke sana, Bu.” “Ya, Ibu selalu berdoa untukmu, supaya kelak kamu bisa ke sana.” “Doa itu semacam piring terbang yang bisa membawaku ke planet surga, ya?” “Bukan.” “Kata Ibu tadi, hanya orang baik yang akan bisa ke sana. Kalau doa pun bisa mengantarkan aku ke sana, lantas kebaikan itu untuk apa, Bu?” “Kelak kamu akan mengerti, untuk apa doa dan untuk apa pula kebaikan.” “Sekarang aja, Bu, jangan kelak,” rengekku. Waktu itu kupikir, apa sih susahnya memberiku pengertian. Aku sudah jenuh dengan janji-janji orang dewasa. Dulu ketika kakak-kakakku pergi berenang, aku tidak diajak. Kemudian ayah membujukku dengan seutas janji yang tak pernah terwujud. Aku dikibulin. Kenapa orang dewasa justru mengajariku berjanji palsu? “Kahyangan itu alangkah indahnya, Nak.” “Tapi kok di planet kahyangan itu ada perang-perang, Bu?” serobotku lagi. “Apa memang orang baik itu harus berperang dulu demi mempertahankan planet kahyangan itu, Bu?” Ibuku tidak menyahut. Soalnya ibuku tidak suka menonton film-film kesukaanku. Ibuku lebih suka menonton acara Mana Suka Siaran Niaga- yang isinya barang-barang belanjaan melulu. *** Aku tersadar dari kisah usang ibuku tatkala aku teringat kembali pada arah ayunan kakiku. Entah mengapa, ketika kini aku diperkenankan untuk melihat pelangi lagi, lagi dan entah hingga kapan lagi, betapa aku mengkhayalkan berada di planet kahyangan, tempat yang penuh kedamaian itu seperti kisah ibuku dulu. Aku ingin ke sana dalam keabadian, bukan kefanaan bumi yang menyesakkan dadaku ini. “Jalan menuju tempat yang penuh keindahan dan kedamaian hati yang abadi?” aku bertanya sendiri. “Betapa pelangi mempunyai tugas suci. Begitukah?” Pertanyaan itu mendadak buyar sewaktu kudengar suara sebuah mobil bakal melintas. Aku memperhatikan jalan sekitarku, apakah ada daerah genangan air. Aku harus menghindari batas genangan air, agar tidak kecipratan. Kemudian kulirik mobil itu. Tampak pengendara dan penumpangnya adalah keluarga. Ada bapak-ibu, nenek-kakek dan anak-anak. Sementara suara unggas bersahutan di antara pepohonan sekelilingku. “Betapa pelangi mempunyai tugas suci. Suci. Sebab, kahyangan adalah suci. Begitukah?” Tiba-tiba keraguan mengepung diriku. Aku mulai ragu, apakah aku sanggup meneruskan perjalananku menuju rumah mantan gadisku itu. Dari relung hatiku perlahan-lahan muncul semacam rambu-rambu. “Hanya orang-orang yang hidupnya baik saja yang akan bisa sampai ke sana,” kata-kata ibuku yang mendadak terngiang-ngiang kembali. Realitas masa lalu bukan berarti bisa kupakai untuk menyingkirkan realitas masa kini. Dulu dia adalah pacarku, tetapi cincin kawin dilingkarkan di batang jemari manisnya oleh pria lain. Aku tak berkutik. Kami tak punya ikatan apa-apa. Kami tak punya komitmen apa-apa. Aku harus terus-menerus menyadari itu. Aku tidak boleh meresahkan keharmonisan keluarga mereka, sebagaimana ibuku tak pernah ribut kecil dengan mendiang ayah menyangkut masa lalu. Tapi aku masih sangat mencintainya. Daun-daun renta berguguran diterpa angin basah. Aku berhenti sejenak. Keraguan telah menghentikan langkahku. Aku memandang sekitarku bagaikan tersadar dari mimpi buruk. Ya, mimpi buruk. Kerinduanku yang telah terkubur, tiba-tiba bangkit, dan hendak menghasut perasaan dan akal sehatku. Masa lalu rupa-rupanya hendak menyeretku dan akan menyesahkanku ke dalam kehidupan yang bukan lagi milikku. Walah, kenapa kesepian dan kerinduan semu ini telah menyesatkanku ke masa lalu? Waduh, celaka sekali kalau aku tak segera mengendalikan emosi dan pikiranku ini! Sungguh aku kuatir jika pertemuan itu nantinya justru hanya sandiwara lucu sebabak tapi sanggup menyayat luka lama bahkan kembali melukai aku dan dia. Betapa kurasa konyol sekali. Sia-sia tapi malah bisa menjadi musibah berikutnya. Aku tidak ingin diriku terjebak romantisme usang yang sia-sia. Aku tidak mau kesia-siaan itu menciptakan pelangi semu yang sudah bukan milikku. Apa hebatnya lagi jika lantas dituduh sebagai perusak suasana surga dunia yang telah terbina dalam istana cinta orang. Tidak. Aku tidak mau merampok surga itu. Aku tidak mau menjajah kahyangan itu. Perempuan itu harus menikmati hidup fananya sendiri dengan kebahagiaan surgawi yang sanggup dinikmatinya bersama keluarga barunya. Mungkin pelangi selalu ada di rumah mereka, menjadi kahyangan itu. Itu milik mereka. Aku membelok ketika sampai di sebuah pertigaan. Seketika sore itu juga aku mengurungkan keinginanku menengoknya. Aku belum siap berjumpa dengan dia sekeluarga. Orang-orang di sekitarku tak peduli padaku; orang asing. Ah, biarlah semua yang terjadi tetap seperti adanya di masa lalu, pikirku. Sudah cukuplah di masa lalu aku berada pada waktu dan tempat yang keliru. Setelah semua terjadi dulu, aku tidak ingin melintasi jalan menuju tempat itu lagi. Sekarang bukan waktunya untuk mengutak-atik soal kesalahan. Aku tahu pasti bahwa tidak akan ada kedamaian di sana bila luka masa lampau kubawa serta ke masa kini. “Hanya orang-orang yang hidupnya baik yang akan bisa ke sana,” kata ibuku yang sangat kuingat. Orang yang hidupnya baik, bukan penuh lukalara-lukalama masa lampau. Aku tidak tengah berada di masa lampau. Aku sedang menuju masa-masa di depanku. Plak! Kutendang kencang-kencang sepotong ranting patah di tepi jalan yang tengah kulalui, seolah ingin kutendang jauh-jauh ‘luka’ itu. Sementara kesejukan mendaki tangga-tangga kedinginan, menembus pakaianku dan mulai menjamah pori-poriku. Aku kian memeluk diriku sendiri supaya kehangatanku dapat merata dan mengusir jari-jari dingin yang berusaha mengusap pori-pori tubuhku melalui sela-sela jaketku. Sekarang aku tahu, ke mana aku harus melangkah di antara sisa-sisa titik-titik gerimis yang mengantarkan langkahku kembali menuju sebuah halte. Seorang pria sedang duduk santai sambil membaca koran. “Permisi, Mas,” sapaku pelan, “saya mau nanya.” Pria tersebut meresponku dengan menurunkan korannya, kemudian menatapku seraya tersenyum. “Kalau ke terminal, naik angkot yang mana, ya, Mas?” “Naik yang ini aja, Mas,” jawabnya dengan langsung melihat ke samping, ke arah jalan. Kebetulan sebuah angkot terlihat hendak menuju halte. “Terima kasih, Mas,” kataku sembari turun dari halte dan melambai sebagai isyarat kepada sopir angkot bahwa aku mau menumpang angkotnya. “Ya, kembali kasih.” Aku segera naik angkot itu, tapi orang tadi tidak. Di dalam angkot ini aku terus teringat pada ibuku di Bekasi dan beberapa saudaraku yang masih tinggal dengan beliau. Tiga bulan aku belum mudik, semenjak aku pindah bekerja di Madiun. Aku ingin mengunjungi ibuku selagi mungkin ada pula pelangi singgah di sana. Paling tidak, di sana sudah menunggu keponakan-keponakanku yang lucu dan, bagiku, cukup mewarnai kegamanganku. Mentari perlahan muncul di antara gumpalan-gumpalan awan. Cahaya tipisnya menembus jendela angkot dan mengusap-usap pipi kasarku. Hangatnya sehangat jemari ibuku yang selalu membelai pipiku seraya mendongeng tentang pelangi, “Di atas pelangi itu, di atas langit, di situlah letak suatu tempat yang bernama kahyangan.” ******* Untuk seorang kawan, R. Taufan Rahardian

HOME | BACK
Tampilan terbaik pada HP dengan resolusi layar 240x320 & menggunakan opera mini v4.2 , dan di malam hari.
online counter
TOP-RATINGMobPartner Counter
Best Wap Sites

PluzTopwapinfoBestTraffic.mobiBestTop.MobiTOP RANK*tswaplogsTraffic Boost Enginexox
Created by: Safikâ„¢
banjarmasin © juli 2010