misteri dibalik kesaktian perempuan
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt
MENGUAK MISTERI DI BALIK KESAKITAN PEREMPUAN
KAJIAN DAMPAK KEKERASAN
TERHADAP STATUS KESEHATAN PEREMPUAN
DI PROPINSI DKI JAKARTA DAN PROPINSI DI JOGYAKARTA
2005
RIRIN HABSARI, drg, MKes
HARIMAT HENDARWAN, dr, MKes
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
2006
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
i
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii
BAB I : Pendahuluan ................................................................................... 1
BAB II : Kajian Literatur ................................................................................ 3
BAB III : Menemukan Perempuan Yang Tersakiti ....................................... 10
BAB IV : Mendengarkan kesakitan Perempuan ............................................. 18
BAB V : Ada Apa Di Balik “Kesakitan” Perempuan? .................................. 33
BAB VI : Kebijakan Sektor Kesehatan Dalam Penanganan
Kekerasan Terhadap Perempuan ....................................................... 39
BAB VII : Kesimpulan ...................................................................................... 42
BAB VIII : Rekomendasi ..................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
ii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Penunjukan dari Komnas Perempuan
Lampiran 2 : Etical Clearance
Lampiran 3 : Surat untuk responden
Lampiran 4 : Formulir informed concent
Lampiran 5 : Formulir Responden untuk LSM
Lampiran 6 : Formulir data responden
Lampiran 7 : Panduan wawancara survivor
Lampiran 8 : Panduan wawancara DPR /DPRD
Lampiran 9 : Panduan wawancara Kepolisian
Lampiran 10 : Panduan wawancara Depkes
Lampiran 11 : Panduan wawancara Dinkes
Lampiran 12 : Instrumen data kartu status RS
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
1
Bab I :
Pendahuluan
Akhir-akhir ini masalah kekerasan terhadap perempuan telah mulai banyak
diungkapkan. Beberapa perempuan telah berani melaporkan kekerasan yang dialaminya
kepada pihak yang berwajib. Sebagian kecil lagi berani menampilkan dirinya secara
terbuka di hadapan publik dan memberikan testimoni mengenai kekerasan yang
dialaminya. Beberapa publik figur menjadi “ikon” dan juru bicara kampanye anti
kekerasan terhadap perempuan, karena mereka mengalami kekerasan secara langsung.
Namun jika diamati dengan seksama, walaupun media dengan gencar
memberitakan kekerasan terhadap perempuan, masalah ini masih ditempatkan sebagai
masalah kriminal saja, tidak terlihat keberpihakan pada korban, malah cenderung
melakukan eksploitasi pada korban. Sampai saat ini, media sangat jarang menyajikan
kajian yang cerdas mengenai kekerasan terhadap perempuan yang berpihak pada korban
dan melihat keterkaitannya terhadap masalah-masalah sosial lainnya. penerimaan
masyarakat dan media terhadap masalah kekerasan
Hal tersebut juga merupakan gambaran dari masyarakat kita yang melihat
kekerasan hanyalah masalah kriminal saja, bagi keluarga yang tertimpa seringkali malah
dianggap sebagai aib yang perlu ditutupi. Para pembuat kebijakan juga tidak luput dari
cara pandang ini. Kekerasan terhadap perempuan dilihat sebagai kejadian tunggal,
seolah-oleh tidak ada kaitannya dengan hal-hal lain, seperti sosial, ekonomi, politik dan
budaya. Padahal kenyataannya tidak lah demikian. Kekerasan terhadap perempuan sangat
terkait dengan banyak hal, dan dapat memberikan dampak buruk baik bagi perempuan itu
sendiri, keluarga, masyarakat dan negara.
Dampak buruk bagi perempuan yang secara langsung dan segera terjadi salah
satunya adalah kesehatan perempuan. Laporan WHO tahun 2002 mengenai “Violence
and Health” menunjukkan bahwa kualitas kesehatan perempuan menurun drastis akibat
kekerasan yang dialaminya (WHO, 2002). Tingginya angka kekerasan terhadap
perempuan di berbagai negara yang mengakibatkan menurunnya status kesehatan
perempuan WHO sendiri mengeluarkan beberapa dokumen yang berkaitan dengan
kekerasan dan kesehatan diantaranya :
- World Health Assembly Resolution 49.25 yang menyatakan bahwa :
o Kekerasan adalah masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh
dunia
o Pencegahan kekerasan adalah prioritas kesehatan masyarakat
(WHO,1996)
- World Health Assembly Resolution 50.19 mengenai Pencegahan
Kekerasan. Dalam dokumen ini mendorong untuk segera dibuatnya
Rencana Aksi yang terintegrasi untuk pencegahan kekerasan dan
kesehatan (WHO, 1997).
- EB109/15 yang merupakan agenda WHO untuk menindaklanjuti WHA
49.25, WHA50.19 untuk membuat Laporan tentang kekerasan dan
kesehatan (WHO,2001).
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
2
- Di tahun 2002, WHO secara khusus mengeluarkan laporan mengenai
kekerasan dan kesehatan.
Kekerasan terhadap perempuan dapat berdampak fatal berupa kematian, upaya
bunuh diri dan terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan juga
dapat berdampak non fatal seperti gangguan kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan
mental, perilaku tidak sehat serta gangguan kesehatan reproduksi. Baik dampak fatal
maupun non fatal, semuanya menurunkan kualitasa hidup perempuan. ( Heise, 1999)
Penelitian ini dilakukan untuk membuat kekerasan terhadap perempuan dan
masalah kesehatan yang diakibatnya menjadi ber’wajah’ bukan hanya asumsi, tetapi
secara nyata menunjukkan keterkaitan antara kekerasan dan masalah kesehatan yang
diakibatkan.
Data mengenai kekerasan terhadap perempuan tersebar di berbagai lembaga yang
mendampingi perempuan, data mengenai kesehatan perempuan juga banyak ditemui di
pusat pelayanan kesehatan. Tetapi seolah-olah kedua data tersebut tidak terkait satu sama
lain. Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan keterkaitan antara kesehatan dan
kekerasan.
Dalam penelitian ini, peneliti sengaja menggunakan terminologi ‘kesakitan’
daripada kesehatan, karena memang kesakitanlah yang ditemui, selain kesakitan juga
bermakna sebagai morbiditas.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
3
BABAB II:
KAJIAN LITERATUR:
“Kesakitan” Perempuan dan Kekerasan Terhadap Perempuan
Batasan sehat dan sakit
Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992 memberikan batasan tentang
kesehatan sebagai :
Keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi
Batasan itu diadopsi dari batasan kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) yaitu :
Kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial dan tidak
hanya terbebas dari penyakit dan cacat.
Jika kedua batasan tersebut dibandingkan, batasan kesehatan di UU Kesehatan
No. 23 tahun 1992, lebih luas dan lebih dinamis. Jika batasan kesehatan menurut WHO
hanya mencakup 3 dimensi yakni fisik, mental dan sosial, batasan kesehatan dalam UU
Kesehatan RI mencakup 4 dimensi yakni fisik (badan), mental (jiwa), sosial dan ekonomi
(Soekidjo, 2000)
Itu berarti bahwa kesehatan seseorang tidak dapat diukur hanya dari kondisi fisik,
mental dan sosialnya saja, namun juga harus diukur produktifitasnya, dalam arti apakah
ia mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Bagi anak dan remaja yang
belum memasuki usia kerja, dan mereka yang telah memasuki masa pensiun atau usila,
produktifitas yang diukur adalah produktifitas secara sosial. Produktifitas sosial yang
dimaksud adalah bersekolah bagi anak dan remaja usia sekolah dan kegiatan layanan
sosial bagi usila. Keempat dimensi kesehatan ini saling kait mengkait dalam mewujudkan
tingkat kesehatan individu, kelompok ataupun masyarakat. Jadi kesehatan bersifat
holistik yang mencakup keempat dimensi tersebut (Soekidjo, 2000).
Indikator dari keempat dimensi kesehatan tersebut dalam kesehatan seseorang
antara lain adalah:
1. Kesehatan Fisik : seseorang tidak merasa sakit dan secara klinik terbukti tidak
sakit, tidak ada gangguan fungsi tubuh, dan seluruh organ-organ tubuh
berfungsi normal
2. Kesehatan Mental: mencakup 3 komponen yaitu pikiran, emosional dan
spiritual:
a. Pikiran yang sehat dapat dilihat dari kemampuan untuk berpikir logis
dan koheren
b. Emosional seseorang dapat dikatakan sehat jika ia mampu
mengekspresikan emosinya
c. Spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang mengekspresikan
rasa syukur, pujian dan mampu menjalin relasi dengan Sang Pencipta
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
4
3. Kesehatan Sosial: seseorang mampu menjalin relasi dengan orang lain
ataupun kelompok tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama atau
keperayaan, status sosial, ekonomi, politik, saling menghargai dan toleransi.
4. Kesehatan dari aspek ekonomi: jika seseorang (usai kerja) produktif,
mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong
secara financial terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya. Bagi anak,
remaja dan usila, setidaknya mereka mempunyai kegiatan yang bermanfaat
nantinya seperti bersekolah (anak dan remaja) atau berkegiatan sosial (usila)
Batasan kesehatan menurut Undang – Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992
inilah yang dipakai dalam penelitian ini.
Kesehatan Masyarakat
Kesehatan Masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang
hidup dan meningkatan kesehatan melalui usaha-usaha pengorganisasian
masyarakat.
Paragraf di atas adalah sebuah definisi yang sudah sangat kuno dari Winslow
(1920) tetapi masih relefan dan masih dipergunakan sampai sekarang. Dalam definisi ini
kekhasan dari kesehatan masyarakat adalah adanya “unsur pencegahan” dan
“pengorganisasian masyarakat”.
Kedua hal tersebutlah yang membedakannya dengan ilmu kedokteran. Ilmu
kedokteran lebih menitik beratkan pada kesehatan individu, menyembuhkan penyakit,
bersifat kuratif. Keberhasilan seorang dokter dinilai dari kesembuhan pasien yang
ditangani, sedangkan keberhasilan kesehatan masyarakat adalah bila kesejahteraan
masyarakat meningkat. Indikator kesehatan masyarakat adalah morbiditas (angka
kesakitan penduduk) dan mortalitas (angka kematian penduduk).
Kesehatan masyarakat lebih memfokuskan pada pencegahan masalah kesehatan
dan pengembangan untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik dan aman bagi seluruh
rakyat, tanpa mengabaikan pelayanan kesehatan individual. Pencegahan masalah
kesehatan dimulai dari membuat gambaran besaran dan dampak dari masalah tersebut
pada masyarakat.
Kesehatan perempuan dalam visi Indonesia Sehat 2010
Departemen Kesehatan telah menetapkan Indonesia Sehat 2010 sebagai visi yang
hendak dicapai. Untuk itu telah ditetapkan pula berbagai indikator kesehatan yang
mengacu pada pencapaian visi tersebut. Terdapat 50 indikator Indonesia Sehat 2010 yang
rinciannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
5
Tabel 2.1: Indikator Indonesia Sehat 2010
INDIKATOR
TARGET 2010
MORTALITAS
1. Angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup 40
2. Angka kematian balita per 1000 kelahiran 58
3. Angka kematian ibu melahirkan per 100.000 KH 150
4. Angka harapan hidup waktu lahir 67,9
MORBIDITAS
5. Angka kesakitan malaria per 1000 penduduk 5
6. Angka kesembuhan penderita Tb paru BTA (+) 85
7. Prevalensi HIV (persentase kasus terhadap penduduk beresiko) 0,9
8. Angka ”Acute Flaccid Paralysis” (AFP) pada anak usia < 15 tahun per 100.000 anak 0,9
9. Angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) per 100.000 penduduk 2
STATUS GIZI
10. Persentase balita dengan gizi buruk 15
11. Persentase kecamatan bebas rawan gizi 80
KEADAAN LINGKUNGAN
12. Persentase rumah sehat 80
13. Persentase tempat-tempat umum sehat 80
PERILAKU
14. Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat 65
15. Persentase posyandu purnama dan mandiri 40
AKSES DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN
16. Persentase penduduk yang memanfaatkan puskesmas 15
17. Persentase penduduk yang memanfaatkan RS 1,5
18. Persentase sarana kesehatan dengan kemampuan laboratorium kesehatan 100
19. Persentase RS yang menyelenggarakan 4 pelayanan kesehatan spesialis dasar 100
20. Persentase obat generik berlogo dalam persediaan obat 100
PELAYANAN KESEHATAN
21. Persentase persalinan oleh tenaga kesehatan 90
22. Persentase desa yang mencapai „Universal Child Immunization“ (UCI) 100
23. Persentase desa terkena Kejadian Luar Biasa (KLB) yang ditangani < 24 jam 100
24. Persentase ibu hamil yang mendapat tablet Fe 80
25. Persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif 80
26. Persentase murid sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah yang mendapat pemeriksaan gigi
dan mulut.
100
27. Persentase pekerja yang mendapat pelayanan kesehatan kerja 80
28. Persentase keluarga miskin yang mendapat pelayanan kesehatan 100
SUMBER DAYA KESEHATAN
29. Rasio dokter per 100.000 penduduk 40
30. Rasio dokter spesialis per 100.000 penduduk 6
31. Rasio dokter keluarga 1000 keluarga 2
32. Rasio dokter gigi per 100.000 penduduk 11
33. Rasio apoteker per 100.000 penduduk 10
34. Rasio bidan per 100.000 penduduk 100
35. Rasio perawat per 100.000 penduduk 117,5
36. Rasio ahli gizi per 100.000 penduduk 22
37. Rasio ahli sanitasi per 100.000 penduduk 40
38. Rasio ahli kesehatan masyarakat per 100.000 penduduk 40
39. Persentase penduduk yang menjadi peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan 80
40. Rata-rata persentase anggaran kesehatan dalam APBD kabupaten/kota 15
41. Alokasi anggaran kesehatan pemerintah perkapita pertahun (ribuan rupiah) 100
MANAJEMEN KESEHATAN
42. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai dokumen sistem keluarga 100
43. Persentase kabupaten/kota yang memiliki ”Contingensi Plan” untuk masalah kesehatan
akibat bencana.
100
44. Persentase kabupaten/kota yang membuat profil kesehatan 100
45. Persentase propinsi yang melaksanakan surkesda 100
46. Persentase propinsi yang mempunyai ” Provincial Health Account” 100
KONTRIBUSI SEKTOR TERKAIT
47. Persentase keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih 85
48. Persentase Pasangan Usia Subur yang menjadi akseptor Keluarga Berencana 70
49. Angka kecelakaan lalu lintas per 100.000 penduduk 10
50. Persentase penduduk yang melek huruf 95
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
6
12 Indikator Indonesia Sehat yang
terkait langsung dengan kesehatan
perempuan
1. Angka kematian bayi per 1000
kelahiran hidup
2. Angka kematian balita per 1000
kelahiran
3. Angka kematian ibu melahirkan per
100.000 KH
4. Angka harapan hidup waktu lahir
5. Persentase Pasangan Usia Subur yang
menjadi akseptor Keluarga Berencana
6. Persentase ibu hamil yang mendapat
tablet Fe
7. Persentase bayi yang mendapat ASI
eksklusif
8. Persentase persalinan oleh tenaga
kesehatan
9. Persentase balita dengan gizi buruk
10. Persentase kecamatan bebas rawan gizi
11. Persentase rumah tangga berperilaku
hidup bersih dan sehat
12. Prevalensi HIV (persentase kasus
Dalam konsep kesehatan berbasis
keluarga, perempuan khususnya ibu
menjadi tonggak utama yang memegang
peranan penting bagi tercapainya
kehidupan keluarga yang bersih dan sehat.
Setidaknya ada 12 indikator
Indonesia Sehat 2010 yang terkait
langsung dengan keberadaan perempuan,
khususnya 4 indikator mortalitas (angka
kematian bayi, angka kematian balita,
angka kematian ibu melahirkan dan angka
harapan hidup waktu lahir). Keempat
indikator tersebut juga merupakan
indikator penting dalam menentukan
Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Indeks) yang menentukan
tingkat kemakmuran suatu bangsa.
Batasan kekerasan terhadap perempuan
a. Kekerasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), kekerasan adalah:
Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain,
kekerasan juga dapat berarti paksaan.
(Balai Pustaka,1995:485)
Dapat disimpulkan bahasa Indonesia mengartikan kekerasan hanya sebatas fisik saja.
b. Kekerasan berbasis gender / kekerasan terhadap perempuan
Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW) pada sidangnya yang ke 11 tahun 1992 mengeluarkan Rekomendasi
Umum No.19 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Dalam rekomendasi ini
dinyatakan bahwa “kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang
secara serius menghalangi kesempatan wanita untuk menikmati hak-hak dan
kebebasannya atas suatu dasar kesamaan hak dengan laki-laki” (LBH APIK, tanpa
tahun). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
7
Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Form of
Discrimination Against Women,1979) dengan UU No.7. tahun 1984.
Pada saat diselenggarakannya Konferensi Dunia tentang HAM di Wina tahun
1993, masalah kekerasan terhadap perempuan muncul kembali ke permukaan. Enam
bulan kemudian, masih di tahun 1993, PBB mengeluarkan Deklarasi tentang
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (The Declaration on the Elimination of
Violence Against Women)
Pasal 1 Deklarasi menyatakan :
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat pada kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman
perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang
baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.
Pasal 2 Deklarasi menyatakan :
“kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya
terbatas pada: tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di
dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual
atas perempuan kanak-kanak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin,
perkosaan dalam perkawinan (marital rape), perusakan alat kelamin perempuan dan
praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan yang
berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual,
pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, lembaga-lembaga pendidikan dan
sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Serta termasuk
kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya.
Definisi ini juga disepakati dalam suatu pertemuan kelompok ahli WHO, pada
bulan Februari 1996 untuk diadopsi sebagai kerangka acuan kegiatan organisasi (WHO
Fact Sheet No.239, 2000: 1)
Komnas Perempuan memberikan batasan kekerasan perempuan sebagai :
Segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat,
atau berkecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan secara
fisik, seksual maupun psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa
atau anak perempuan dan remaja. Termasuk di dalamnya ancaman, pemaksaan
maupun secara sengaja mengungkung kebebasan perempuan. (Dyarsi dkk, 2001)
Pada tahun 2004, Indonesia mensahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam UU itu disebutkan bahwa
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
8
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawa hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penyebab kekerasan
Guna menjelaskan penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri, para peneliti
menggunakan “model ekologi” yang diadaptasi dari Heise (1999). Model ini
menggambarkan keterkaitan antara faktor individu, situasional, dan sosial budaya yang
menyebabkan terjadinya kekerasan. Pada model ini, kekerasan terhadap istri merupakan
hasil dari interaksi faktor-faktor di tingkatan lingkungan sosial yang berbeda
(Heise,1999: 8).
Model ekologi digambarkan sebagai 4 lingkaran konsentrik. Lingkaran terdalam
menggambarkan riwayat biologis dan personal tiap individu yang mempengaruhi
perilaku dalam menjalin hubungan. Lingkaran kedua menggambarkan lokus kejadian
kekerasan, seringkali di dalam keluarga atau hubungan intim lainnya. Lingkaran ketiga
mewakili institusi dan struktur sosial baik formal maupun informal, di mana ikatan
terjalin seperti tetangga, tempat kerja, jaringan sosial, atau kelompok sebaya. Lingkaran
keempat atau lingkaran terluar mewakili situasi ekonomi sosial, termasuk norma budaya
(Heise, 1999: 8).
Diagram 2.1
Model ekologi dari faktor-faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan
Sumber : Heise , 1999: 8
Individu
Masyarakat Lingkungann
Hubungan
-Norma yang menerima
perilaku pria dalam
mengendalikan perempuan
-Norma yang menerima
kekerasan sebagai suatu cara
untuk menyelesaikan konflik
-Anggapan bahwa kejantanan
berhubungan dominasi dan
agresi
- Peran gender yang kaku
-Kemiskinan, sosek
rendah dan
pengangguran
- Kelompok sebaya yang
berperilaku
menyimpang
- Pengasingan
perempuan dalam
keluarga dan
lingkungannya
- Konflik
perkawinan
- Kontrol pria
dalam harta
dan
pengambilan
keputusan
dalam
keluarga
-Kebanggaan sebagai
laki-laki
-pernah menyaksikan
kekeran terhadap
perempuan di masa
kecilnya
-Tidak ada figur ayah
-Mengalami kekerasan di
masa kanak-kanak
-Penggunaan alkohol
IV III II I
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
9
Dampak kekerasan terhadap kesehatan perempuan
Dampak kekerasan terhadap perempuan dapat dikategorikan menjadi fatal dan
non fatal. Kekerasan dianggap berdampak fatal jika terjadi kematian, bunuh diri serta
inveksi HIV/AIDS (diagram 2.4.) . Dampak kekerasan pada kesehatan fisik, mental,
reproduksi, serta kondisi kronis dan perilaku tidak sehat yang tidak menimbulkan
kematian dimasukkan dalam non fatal (Heise,1999: 18).
Diagram 2.1. :Dampak kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan
Fatal Non-fatal
-Bunuh diri
-Kematian Ibu
-Inveksi HIV/AIDS
Kesehatan Fisik Kondisi Kronis Kesehatan mental
-Luka
-Gejala fisik
-Kecacatan
-Obesitas lanjut
-Nyeri kronis
-Gangguan gastrointestinal
-Keluhan somatik
-Fibromialgia
-Stres pasca trauma
-Depresi
-Kecemasan
-Phobia
-Gangguan pola makan
-Disfungsi seksual
-Rendah diri
Perilaku tidak sehat Kesehatan Reproduksi
-Merokok
-Alkohol
-Obat terlarang
-Seks bebas
-Makan berlebihan
-Malas bergerak
-Kehamilan tdk diinginkan
-IMS/HIV
-Gangguan genekologi
-Aborsi tdk aman
-Komplikasi kehamilan
-Keguguran / BBLR
-PID
Sumber: Heise, 1999:18
Berdasarkan laporan WHO, di tahun 2000, diperkirakan 1.6 juta orang di seluruh
dunia atau 28,8 orang per 100.000 populasi, meninggal karena kekerasan. Separuh dari
jumlah itu meninggal akibat bunuh diri, sepertiganya karena homicide dan seperlimanya
akibat peperangan. (WHO, 2002)
Beberapa penelitian yang dikutip dalam laporan WHO juga disebutkan bahwa
perempuan yang mengalami kekerasan menjadi lebih sering berkunjung ke layanan gawat
darurat, mengeluarkan biaya untuk pengobatan, lebih jarang memeriksakan kehamilan.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
10
BABAB III:
Tujuan dan Metode:
MENEMUKAN PEREMPUAN YANG TERSAKITI
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menggambarkan berbagai macam masalah kesehatan yang disebabkan oleh
kekerasan terhadap perempuan
2. Menggambarkan kontribusi kekerasan perempuan terhadap status kesehatan
perempuan
3. Menggambarkan perkiraan biaya dan kerugian yang ditanggung perempuan
akibat kekerasan yang dialaminya
4. Menggambarkan faktor yang terkait dengan penurunan status kesehatan
perempuan akibat kekerasan yang dialaminya
Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di propinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Propinsi DKI
Jakarta dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan ibu kota negara dengan
penduduk yang sangat heterogen dan terdapat rumah sakit yang memberikan pelayanan
pada perempuan korban kekerasan. Diharapkan data yang terkumpul dari kota ini akan
cukup bervariasi. Dari dua rumah sakit yang dipilih untuk mengikuti penelitian hanya
satu rumah sakit yang bersedia yaitu Rumah Sakit Kepolisian RS Sukanto, Kramat Jati.
Propinsi DI Yogyakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena LSM perempuan
di propinsi inilah yang mempelopori layanan kepada perempuan korban kekerasan
bekerja sama dengan rumah sakit dan lembaga-lembaga lain. Rumah Sakit Panti Rapih,
merupakan rumah sakit pertama di Yogyakarta dan juga di Indonesia yang pertama kali
mendirikan layanan khusus bagi korban kekerasan pada perempuan. Rumah sakit ini
dipilih dan bersedia untuk turut serta dalam penelitian ini.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai sejak bulan Juni 2005 sampai dengan Februari 2006.
Ethical Clearance
Subyek penelitian ini adalah perempuan dan mengangkat isu yang sangat sensitif
yaitu kekerasan dan masalah kesehatan. Sesuai dengan etika penelitian, semua penelitian
yang melibatkan manusia sebagai subyek penelitian wajib mendapatkan ethical clearance,
maka peneliti mengajukan permohonan ethical clearance ke Komite Etik Riset
Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
sebagai institusi yang paling berwenang.
Pada tanggal 14 Nopember 2005, melalui surat No: KS.02.01.2.1.3140 yang
ditandatangani oleh Dr. Liliana Kurniawan, M.Sc., DTMH, selaku Kepala Komite Etik
Penelitian Kesehatan, penelitian ini mendapatkan ethical clearance.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
11
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam
pada perempuan yang mengalami masalah kesehatan serta didukung pendekatan kuantatif
dari analisi kartu status dari pusat layanan korban kekerasan di Rumkit RS Sukanto
(Jakarta) dan Rumkit Panti Rapih.
Pendekatan kualitatif
1. Inklusi kriteria responden
Responden dalam penelitian ini dibatasi dengan inklusi kriteria sebagai berikut:
- Perempuan usia produktif antara 15 – 49 tahun
- Mempunyai minimal salah satu dari masalah kesehatan di bawah ini :
Positif HIV/AIDS
Gangguan kesehatan fisik : (Luka-luka, cacat, obesitas lanjut)
Gangguan kesehatan reproduksi : (kehamilan tidak diinginkan , aborsi
tidak aman, infeksi menular seksual, keguguran, komplikasi kehamilan,
BBLR, infeksi panggul)
Gangguan kesehatan mental : (stress pasca trauma, depresi, kecemasan,
phobia, gangguan pola makan, disfungsi seksual, rendah diri)
Kondisi kronis : (Nyeri kronis, gangguam gastrointestinal, keluhan
somatik, fibromalgia)
Perilaku tidak sehat : ( kecanduan rokok, alkohol dan obat terlarang; seks
bebas; makan berlebih, malas bergerak)
- Pernah mengalami kekerasan
2. Pemilihan responden
Strategi awal pemilihan responden adalah dengan melakukan pendekatan pada
LSM-LSM yang selama ini dikenal melakukan pendampingan – pendampingan pada
korban kekerasan. Setelah melakukan pendekatan informal dan formal dengan
mengirimkan surat, proposal, panduan wawancara dan surat penunjukkan dari Komnas
Perempuan, ternyata peneliti tidak mendapatkan ijin untuk mewawancara langsung para
survivor. Dua LSM di Yogyakarta yang dihubungi, mempunyai kebijakan yang sama
mengenai akses kepada korban. Dikatakan bahwa LSM mempunyai kebijakan untuk
tidak memberikan ijin mewawancara survivor. Beberapa alasan dikemukakan
diantaranya: survivor biasanya tidak mau terbuka terhadap orang asing, memberikan
akses wawancara langsung kepada survivor berarti melanggar asas kerahasiaan yang
harus dijaga. Ke dua LSM itu memberikan jalan keluar dengan menawarkan para
konselornya sebagai pewawancara dengan menggunakan panduan wawancara yang telah
disusun oleh peneliti. Peneliti diperkenankan untuk melatih para konselor tentang
penggunaan panduan wawancara tersebut. Namun proses ini pun tidak dapat berjalan
dengan cepat.
Sambil menunggu proses yang terjadi di LSM-LSM tersebut, peneliti berinisiatif
untuk merekrut langsung responden tanpa melalui LSM. Peneliti menghubungi seorang
informan yang selama ini aktif disalah satu LSM kesehatan reproduksi untuk merekrut
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
12
responden yang sesuai dengan kriteria penelitian. Informan ini kemudian mulai bekerja
dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki. Informan ini pula yang melakukan
pendekatan dengan para pembuat kebijakan sepeti anggota DPRD, Kepala Kantor
Pemberdayaan Perempuan, Kepolisian, dan Dinas Kesehatan. Informan ini pulalah yang
membantu peneliti membuatkan jadwal wawancara, sehingga selama peneliti di
Yogyakarta dapat memanfaatkan waktu secara efisien.
Walaupun demikian, pada saat kunjungan pertama ke Yogyakarta untuk
mewawancara, tidak semua responden berhasil diwawancara. Calon Responden pertama
yang diduga melakukan aborsi akibat kekerasan, gagal diwawancara karena tiba-tiba
suami responden pulang ke rumah lebih awal dan ikut berbincang-bincang dengan
peneliti. Melihat situasi yang tidak memungkinkan, peneliti membatalkan rencana untuk
mewawancara responden, dan akhirnya sore itu diisi dengan ramah tamah dengan
responden, suami dan ibu responden..
Efek bola salju berlangsung pada saat merekrut responden. Peneliti mendapatkan
informasi dari mulut ke mulut mengenai keberadaan responden yang sesuai dengan
penelitian ini.
Tabel 3.1: Daftar responden yang diwawancara
No
ID Umur
Dugaan Masalah
kesehatan Propinsi Status ANAK PENDIDIKAN PEKERJAAN
1 A101 46 Luka-luka fisik DIY Menikah 3 SLTA PNS
2 A102 24 Gangguan mental DIY
Belum
menikah AKADEMI KARYAWAN
3 A103 25 PMS DIY
Belum
menikah SLTA PSK
4 A104 38 Luka-luka fisik DIY Cerai 1 SD PEMULUNG
5 A105 22 KTD DIY
Belum
menikah 1 SLTA LAIN
6 A106 17 HIV/AIDS DIY
Belum
menikah SLTA TDK BKJ
7 A107 22 KTD, luka fisik DIY Menikah 1 SLTA TDK BKJ
8 A108 46 Luka-luka fisik DIY Menikah 3 S1 PNS
9 A109 37 Gangguan mental DIY Cerai 1 SLTA BURUH
10 B101 42 Gangguan mental DKI Pisah rumah 1 S1 PENJAHIT
11 B102 39 Luka-luka fisik DKI Cerai 3 S1 KARYAWAN
12 B103 27 HIV/AIDS DKI Cerai mati 1 AKADEMI LSM
13 B104 31 HIV/AIDS DKI Cerai mati 2 SLTA IRT
14 C101 41 Aborsi tidak aman DKI Pisah rumah 4 AKADEMI IRT
15 C102 38 Gangguan mental DKI Menikah 2 SD TDK BKJ
16 C103 38 Luka-luka fisik DKI Cerai 3 SLTA IRT
Hal yang sama juga terjadi pada saat melakukan rekrutmen responden untuk
wilayah Jakarta. LSM yang selama ini dikenal banyak menangani kasus kekerasan
terhadap perempuan tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, satu LSM
perempuan lainnya bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini tetapi tidak dapat
memberikan ijin pada peneliti untuk mewawancara langsung dampingannya. Wawancara
dilakukan oleh para konselornya. Dari LSM ini kami mendapatkan 3 responden dengan
masalah kesehatan. Responden lainnya, peneliti dapatkan berdasarkan informasi dari
mulut ke mulut.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
13
Akhirnya semua responden yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat terpenuhi.
Di Propinsi DI Yogyakarta terpilih 10 orang responden dan dari Propinsi DKI Jakarta
terpilih 6 orang responden dengan berbagai macam dugaan masalah kesehatan sesuai
dengan kriteria yang ditentukan dalam penelitian ini.
3. kerahasian responden dan informed consent
Dalam penelitian ini identitas responden dijaga kerahasiaannya. Setiap responden
yang diwawancara langsung oleh peneliti, memiliki nomor identitas berdasarkan propinsi
dan nomor urut, nomor identitas inilah yang dipakai dalam pengolahan data dan
penulisan laporan, sementara identitas lain hanya diketahui oleh peneliti utama yang
sekaligus juga menjadi pewawancara. Identitas responden yang diwawancara oleh para
konselor, disimpan oleh LSM yang bersangkutan, peneliti hanya memiliki nomor
identitas responden. Peneliti menyediakan formulir daftar responden dari LSM (Lampiran
5). Dalam formulir tersebut terdapat kolom nomor identitas, nama,alamat dan nomor
kontak responden, nama pewawancara dan waktu wawancara. Formulir ini disimpan oleh
LSM yang bersangkutan. Jika sewaktu-waktu peneliti membutuhkan data tambahan atau
klarifikasi data, peneliti cukup menyebutkan nomor identitas, dan LSM yang
bersangkutan yang akan menghubungi responden atau pewawancara yang bersangkutan
berdasarkan daftar yang ada. Dengan cara seperti ini, LSM tidak perlu khawatir identitas
responden akan terbuka.
Persetujuan responden yang didahului dengan pemberian informasi yang cukup
(informed consent) juga dilakukan dalam penelitian ini. Sebelum dilakukan wawancara,
bahkan pada waktu dilakukan pendekatan awal, calon responden sudah diberikan
informasi mengenai penelitian ini. Peneliti membekali informan dan konselor, sebuah
surat untuk calon responden yang berisi informasi penelitian, tujuan penelitian, apa saja
yang akan dilakukan dalam penelitian ini, apa saja yang diharapkan dari responden,
identitas dan nomor kontak peneliti, termasuk informasi bahwa responden mempunyai
kebebasan untuk mengundurkan diri kapan saja dari penelitian ini walaupun wawancara
sudah selesai dilakukan (Lampiran 3). Jika calon responden setuju, calon responden
diminta untuk menandatangani formulir informed consent yang terdiri dari 2 copy, satu
untuk peneliti satu lagi untuk responden (Lampiran 4). Demi keamanan responden, ada
beberapa responden yang tidak bersedia menyimpan formulir informeded consent, dan
menitipkannya pada peneliti atau LSM tempatnya bernaung.
4. Pengumpulan data
Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan mewawancara responden secara
mendalam berdasarkan panduan wawancara yang telah disetujui (Lampiran 7).
Responden yang menentukan waktu dan tempat wawancara yang paling nyaman untuk
dirinya. Koordinator dimasing-masing propinsi membantu peneliti untuk menyusun
jadwal wawancara agar tidak saling berbenturan.
Percakapan sepanjang wawancara direkam dengan menggunakan alat perekam
suara. Setiap kaset hasil wawancara diberi kode responden, nama pewawancara, waktu
wawancara. Semua kaset dibuat duplikatnya dan diberi kode yang sama dengan aslinya.
Kaset duplikat dipergunakan untuk membuat transkrip oleh para transkiper, sedangkan
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
14
kaset original disimpan oleh peneliti utama. Hal ini untuk mencegah hilang atau rusaknya
kaset yang merupakan data penting dalam penelitian kualitatif ini.
5. Pengolahan dan analisis data
Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara diolah dengan cara sebagai berikut:
a. Penulisan verbatim
Hasil rekaman wawancara diketik secara lengkap sesuai kata per kata
seperti apa adanya. Penulisan verbatim ini dilakukan oleh 2 tim, di Yogya dan
Jakarta. Tim Yogya menuliskan verbatim untuk hasil wawancara dengan
responden Yogya dan tim Jakarta menulis verbatim untuk responden Jakarta. Hal
ini dilakukan untuk mengurangi kesalahan dalam penulisan verbatim, karena
sebagian responden Yogya menggunakan bahasa campuran antara bahasa
Indonesia dan Bahasa Jawa.
b. Pembuatan matriks
Setelah verbatim wawancara seluruh responden diselesaikan, maka
dilakukan pengkategorian data dengan membuat matriks berdasarkan variabel
yang sudah ditentukan.
c. Analisis
Data kualitatif dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan
pendekatan analisis isi.
6. penyajian data
Data kualitatif disajikan dalam bentuk narasi dan kutipan. Beberapa kasus
dengan data yang lengkap diangkat menjadi cerita serta divisualisasikan dalam
presentasi power point yang dimuat dalam keping CD. Visualisasi kasus-kasus ini
dapat digunakan sebagai salah satu media advokasi dan pembelajaran.
Pendekatan kuantitif
1. inklusi kriteria
Kriteria kartu status yang laik diikutsertakan dalam penelitian ini adalah:
- Kasus terjadi antara tahun 2003 – 2005
- Umur klien 15 – 49 tahun
- Kartu status memiliki Nomor identitas yang jelas dan tidak terdapat duplikasi
- Masalah kesehatan yang dialami klien disebabkan oleh kekerasan bukan oleh
sebab lain
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
15
2. Persiapan Lapangan
Persiapan lapangan meliputi pendekatan pada pihak rumah sakit yang akan
dijadikan tempat penelitian yaitu RS Cipto Mangunkusmo, Rumah Sakit Kepolisian RS
Sukanto dan Rumah Sakit Panti Rapih. Pendekatan dilakukan dengan berbagai cara yaitu
secara informal menemui penanggungjawab masing-masing pusat krisis. Kepada para
penanggungjawab tersebut, peneliti menjelaskan mengenai penelitian ini. Penjelasan
tersebut mencakup latar belakang penelitian, metode penelitian yang akan dilakukan,
data-data yang diperlukan, bantuan yang diperlukan serta biaya-biaya yang akan
ditanggung oleh peneliti.
Dari 3 rumah sakit yang dihubungi, ternyata hanya 2 rumah sakit yang bersedia
untuk berpartisipasi pada penelitian ini. Kedua rumah sakit tersebut adalah RS RS
Sukanto dan RS Panti Rapih. RS Panti Rapih memberikan persyaratan bahwa peneliti
tidak diijinkan untuk mengakses langsung kartu status para korban, tetapi rumah sakit
akan menyediakan data-data yang diperlukan oleh peneliti.
Berdasarkan diskusi lebih lanjut dengan penanggung jawab pusat krisis maka
ditetapkan metode pengumpulan data yang tidak melanggar kerahasian dan hak-hak
korban namun tetap didapatkan data yang memadai sebagai berikut:
a. Pihak Rumah sakit memfotocopy kartu status dengan menutup variable yang
memungkinkan untuk menelusuri identitas korban yaitu:
• Nomor Kartu
• Nama
• Alamat
Guna memudahkan klarifikasi dan recall data, pihak rumah sakit mencantumkan
nomor baru disetiap foto copy kartu status. Hanya penanggungjawab pusat krisis di
rumah sakit yang mengetahui daftar nomor baru dan nomor kartu status korban.
Dengan demikian kerahasian korban tetap terjaga, namun peneliti masih dapat
menghubungi penanggungjawab pusat krisis jika terdapat data yang tidak jelas, tidak
terbaca atau tidak lengkap untuk dicocokan kembali dengan kartu status asli.
b. Pada waktu yang telah disepakati antara peneliti dengan pihak RS, maka peneliti
mengambil foto copy kartu status, memeriksa kelengkapan data serta mengklarifikasi
data yang tidak jelas.
Metode pengumpumpulan data ini disepakati untuk dilakukan di kedua rumah
sakit. Setelah kesepakatan untuk hal-hal teknis dicapai dengan para penanggungjawab
pusat krisis, barulah surat resmi diajukan ke pimpinan ke dua rumah sakit untuk
mendapatkan ijin melakukan penelitian di rumah sakit tersebut. Prosedur perijinan
dilakukan berdasarkan hasil konsultasi dengan PJ pusat krisis, karena masing-masing
institusi memiliki tatacara yang berbeda. Disamping itu, PJ Pusat Krisis menjadi ikut
terlibat dan turut memantau jalannya proses perijinan. Sehingga proses perijinan menjadi
cepat dan tanpa hambatan.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
16
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimulai dari RS Panti Rapih. Pengumpulan data dilakukan
oleh pihak Panti rapih di bawah Koordinasi PJ Pusat Pelayanan. Pada hari yang telah
ditentukan, peneliti mengadakan pertemuan dengan PJ Pusat Pelayanan dan tim-nya
untuk melakukan klarifikasi data. Peneliti memeriksa kelengkapan informasi dari kartu
status yang telah di fotocopy dan melakukan klarifikasi data yang tidak jelas ataupun
yang tidak terisi. Kartu status asli tetap di tangan PJ Pusat Pelayanan beserta timnya,
walaupun kami bekerja dalam satu ruangan, namun kerahasiaan kartu status yang berisi
identitas korban tetap dijaga. Jika ada hal-hal yang memerlukan klarifikasi, peneliti akan
menanyakannya pada PJ Pusat Pelayanan dan tim, kemudian mereka akan
mencocokkannya dengan kartu status asli. Beberapa kali mereka juga menghubungi
sentral bank data pasien untuk mendapatkan data yang diperlukan. Data yang seringkali
tidak lengkap dan memerlukan klarifikasi adalah data mengenai pendidikan dan
pekerjaan. Setelah semua data selesai diklarifikasi, barulah semua fotocopy kartu status
tersebut di bawa oleh peneliti untuk diolah.
Pengumpulan data di RS Kepolisian RS Sukanto dilakukan setelah pengumpulan
data di RS Panti Rapih. Pengumpulan data di rumah sakit ini juga menggunakan metode
yang sama dengan yang peneliti lakukan di RS Panti Rapih. Pengumpulan data di rumah
sakit ini relatif lebih cepat, karena sudah ada pembelajaran dari pengalaman
pengumpulan data di RS Panti Rapih.
Semua kartu status yang sesuai dengan inklusi kriteria diikut sertakan dalam
penelitian ini. Setelah melalui proses penapisan terkumpul 294 kartu status yang layak
untuk diikut sertakan dalam penelitian ini.
Tabel 3.1: Jumlah sampel kartu status
Jumlah Kartu Status
Panti Rapih
RS Sukanto
Total
173
121
294
3. Pengolahan data
Data kuantitatif yang ada merupakan kumpulan kartu status dari 2 rumah sakit
yang berbeda dengan variabel yang berbeda pula. RS Panti Rapih menggunakan satu
macam kartu status untuk semua jenis kasus, sedangkan RS Sukanto menggunakan kartu
status yang berbeda untuk kasus KDRT, kasus kekerasan seksual, kasus kekerasan fisik
lainnya. Kartu-kartu status yang berbeda-beda dengan data yang berbeda-beda pula,
tidak dapat langsung diolah menggunakan program pengolahan data yang ada. Hal lain
yang menyulitkan pengolahan data, tidak semua kartu status terisi. Tim peneliti
melakukan beberapa strategi untuk mengatasi persoalan tersebut.
a. Pembuatan instrumen baru
Instrumen baru disusun setelah tim peneliti setelah mencermati model kartu status
yang ada di kedua rumah sakit serta data yang tersedia. Tim peneliti mendisain instrumen
baru dengan memperhatikan data yang ada di ke-empat jenis kartu status. Instrumen baru
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
17
ini juga mengadaptasi instrumen survei injury yang dikembangkan oleh UNICEF, yang
sudah dilakukan di beberapa negara di Asia termasuk Indonesia (Lampiran 12)
b. Uji coba instrumen
Sebelum dipergunakan, instrumen ini diujicoba untuk melihat validitas dan
reliabilitasnya. Beberapa kali tim peneliti melakukan penyesuaian terhadap instrumen ini,
terutama pada pertanyaan untuk variabel masalah kesehatan yang dialami serta lokasi /
jejas luka yang dialami. Sampai akhirnya instrumen ini siap dipergunakan.
c. Pemindahan data kartu status ke dalam instrumen
Instrumen yang telah siap dipergunakan, diperbanyak sesuai dengan jumlah
responden yang ada. Peneliti merekrut dan melatih tiga orang peneliti pemula alumni
Fakultas Kesehatan Masyarakat, untuk membaca semua kartu status, menapis, dan
memindahkan data kartu status ke kolom-kolom yang tersedia di lembar instrumen.
Proses ini tidak selalu mudah, para peneliti sering kali kesulitan membaca tulisan
tangan petugas kesehatan yang tidak jelas dan sulit dimengerti. Jika ditemukan hal-hal
yang tidak jelas, maka para peneliti muda ini berkonsultasi dengan koordinator masingmasing.
Kartu-kartu status yang tidak jelas kemudian dikumpulkan, diberi catatan, dan
dibuat rekapitulasinya kemudian ditanyakan langsung ke petugas di rumah sakit yang
bersangkutan. Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, lembar instrumen
dilengkapi dengan data yang baru. Semua lembar instrumen yang telah diisi dikoreksi
peneliti dan co-peneliti sebelum diserahkan kepada petugas pengolah data statistik.
d. Pembuatan template
Pada saat bersamaan dengan pemindahaan data kartu status ke dalam lembar
instrumen, template pengolahan data dibuat oleh petugas pengolah data statistik.
Pembutan template ini juga untuk mengontrol ketidak konsistenan data
e. Data entry
Semua data lembar instrumen yang telah diisi, dipindahkan ke dalam template
yang telah disiapkan. Data-data yang tidak konsisten, tidak lengkap atau yang tidak
masuk dalam inklusi kriteria akan langsung dapat terdeteksi.
f. Analisis data
Analisi data dilakukan baik secara univariat
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
18
Sebagian besar perempuan korban
kekerasan yang dilayani di kedua
rumah sakit berumur di bawah
35 tahun (83.7%), belum menikah
(51.7%), dan berprofesi sebagai
pelajar/mahasiswa (32.7%) atau ibu
rumah tangga (20.7%)
Bab IV
MENDENGARKAN ”KESAKMENDENGARKAN KESAKITAN” PEREMPUAN
1. Karakteristik responden
Penelitian ini memiliki dua jenis data, kuantitatif dan kualitatif. Sumber data
kuantitatif adalah kartu-kartu status dari PPT Rumah Sakit Kepolisian RS Sukanto
Jakarta dan Rumah Sakit Panti Rapih Jogyakarta.
Setelah melakukan penapisan data, maka jumlah kartu status yang laik untuk
diolah adalah 294 kartu status dengan karakteristik seperti pada tabel 4.1. Berdasarkan
karakteristik responden, tampak bahwa perempuan yang mecari pertolongan kesehatan di
kedua rumah sakit, berasal dari kelompok umur yang relatif muda, di bawah 35 tahun. Di
RS Sukanto bahkan terbanyak dari kelompok umur 15-19 tahun sedangkan di RS Panti
Rapih terbanyak dari kelompok umur 20 – 24 tahun, usia yang masih masuk kelompok
remaja. Kekerasan sudah dialami perempuan-perempuan muda ini pada saat
pertumbuhan fisik, mental dan sosial belumlah selesai.
Pendidikan perempuan yang mengalami kekerasan yang dilayani oleh RS Sukanto
relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang dilayani RS Panti Rapih. Sekitar 25%
perempuan korban kekerasan yang dilayani RS Sukanto berpendidikan SLTP – SD dan
26% berpendidikan SLTA. Sedangkan di RS Panti Rapih, 38% perempuan korban
kekerasan yang dilayani berpendidikan SLTA, 40.5% bahkan berpendidikan S1, hanya
sekitar 10% berpendidikan SLTP – SD. Namun angka ini tidak dapat memberikan
gambaran yang sesungguhnya karena 41,3% kartu status dari RS Sukanto tidak
mencantumkan pendidikan korban. Variabel pendidikan korban memang tidak ada di
dalam format kartu status ‘kekerasan fisik lain’ yang dipergunakan oleh RS Sukanto,
padahal variabel pendidikan pelaku tercantum dalam kartus status tersebut.
Perempuan korban kekerasan yang datang ke dua tempat pelayanan ini ternyata
51,7% berstatus belum menikah. Kondisi yang sama juga terjadi di kedua tempat
pelayanan, sebagian besar korban masih berstatus belum menikah.
Sebagian besar korban yang dilayani
di Panti Rapih ternyata tidak mempunyai
penghasilan sendiri karena masih berstatus
pelajar dan mahasiswa (41.6%) atau ibu
rumah tangga (19.1%). Hal yang sama juga
terjadi di RS Sukanto, sebagian korban tidak
mempunyai penghasilan sendiri, hanya saja
persentasi ibu rumah tangga (23.1%) sedikit
lebih tinggi dibandingkan dengan pelajar
/mahasiswa (19.8%). Namun secara menyeluruh, persentase korban kekerasan yang
mecari pelayanan di kedua rumah sakit ini 50%nya tidak mempunyai penghasilan sendiri
( 32% adalah pelajar dan mahasiswa, 20,7% adalah ibu rumah tangga)
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
19
Tabel 4.1: Persentase Karakteristik responden
Kartu Status Rumah SakiKarakteristik t
responden RS Sukanto Panti Rapih Total
Wawancara
N 121 173 294 16
Umur
15-19 33.1 13.9 21.8 6.3
20-24 9.1 41.0 27.9 18.8
25-29 20.7 16.2 18.0 12.5
30-34 20.7 12.7 16.0 6.3
35-39 11.6 8.7 9.9 31.3
40-44 3.3 6.9 5.4 12.5
45-49 1.7 0.6 1.0 12.5
Pendidikan
SD 11.6 2.9 6.5 12.5
SLTP 14.0 8.1 10.5 -
SLTA 26.4 38.2 33.3 50
Diploma 3.3 6.4 5.1 18.8
S1 2.5 40.5 24.8 18.8
S2 0.6 0.3 -
Tidak diketahui 41.3 2.3 18.4 -
Lain-lain 0.8 1.2 0.5 -
Status Pernikahan
Belum menikah 42.1 58.4 51.7 25
Menikah 39.7 35.8 37.4 25
Cerai hidup 2.5 0.6 1.4 18.8
Cerai mati - - - 12.5
Pisah rumah - - - 18.8
Tidak diketahui 15.7 5.2 9.5 -
Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga 23.1 19.1 20.7 31.3
Petani/Nelayan - 0.6 0.3 -
PNS 0.8 1.7 1.4 12.5
TKW 8.3 0.6 3.7 -
Pelajar/mahasiswa 19.8 41.6 32.7 -
TNI/Polisi 0.8 - 0.3 -
Profesional - 1.2 0.7 -
Wiraswasta 7.4 4.6 5.8 6.3
Karyawan swasta 14.0 15.6 15.0 18.8
Tidak bekerja 6.6 2.3 4.1 12.5
Lain-lain 9.1 7.5 8.5 18.8
Tidak diketahui 9.9 5.2 6.8 -
Selain menganalisis kartu-kartu status yang terdapat di layanan khusus bagi
korban kekerasan dikedua rumah sakit tersebut, penelitian ini juga menggunakan
pendekatan kualitatif dengan mewawancarai secara mendalam 16 responden di kota
Jakarta dan yogya yang mengalami masalah kesehatan akibat kekerasan yang dialaminya
2. “kesakitan” perempuan
Kekerasan terhadap perempuan baik fisik, seksual maupun psikologis
memberikan dampak kepada kesehatan dan kualitas hidupnya. Data bisu dari kartu-kartu
status serta hasil wawancara dengan para responden memberikan gambaran mengenai
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
20
“kesakitan” yang mereka alami, yang selama ini jarang diungkapkan.
“Kesakitan” perempuan akibat kekerasan yang dialaminya tampak beragam,
mulai dari luka-luka fisik yang paling mudah diidentifikasi, sampai kesakitan lain yang
sulit dideteksi, sehingga diabaikan. Penelitian ini hanya mampu menguak sedikit dari
kesakitan yang sesungguhnya terjadi.
Tabel 4.2. Persentase Masalah kesehatan yang dialami responden
Masalah kesehatan RS Sukanto Panti Rapih Total
N 121 173 294
Kecacatan
Kehilangan Pendengaran - 1 0.3
Kehilangan penglihatan - - -
Kelumpuhan - - -
Tidak dapat menggerakkan tangan 2 1 1
Gangguan reproduksi
KTD 2 43 27
IMS 2 - 1
Gangguan genekologi - 3 2
Aborsi tidak aman - 6 3
Komplikasi kehamilan - 2 1
Keguguran/ Lahir meninggal - 4 2
PID - 1 -
HIV/AIDS - - -
Gangguan mental
Stress 4 3 3
Depresi 1 1 1
Kecemasan 2 2 2
Phobia - - -
Gangguan pola makan - - -
Disfungsi seksual - - -
Rendah diri - - -
Lain-lain - 2 1
Perilaku tidak sehat - - -
Gangguan kronis
Nyeri - -
Gastrointestinal 1 1 1
Keluhan somatik 1 - -
Fibromialgia - 1 1
Kematian / Bunuh Diri - - -
2.1. cedera fisik
... kalau ada yang dia nggak suka, dia selalu mukul. Punggung saya pun penuh
cakaran dan mengeluarkan darah segar. Mata dan telinga sering jadi sasaran,
sampai mata saya lebam, biru-biru, dan menarik perhatian teman-teman
sekantor.
Saya tahu kalau dia sedang marah, muka saya selalu jadi sasaran. Jadi saya
berusaha nunduk, tapi nanti semua malah kena,... dada, tangan, perut...
Saya hobi nyanyi, kadang-kadang menggubah lagu. Semenjak telinga saya sering
dipukuli, suara saya jadi sengau. Jangankan membuat lagu, menangkap nada
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
21
saja sudah nggak bisa, peach controlnya udah rusak... setiap malam telinga saya
bunyi koprok-koprok. (Mbak B 102, 40 tahun, Jakarta)
Mbak B102, ibu 3 anak, sarjana, dan perempuan karir yang hobi menyanyi tidak
pula luput dari luka-luka akibat pukulan dan cakaran suami. Hal yang sama terjadi juga
pada B103, ibu A101, dan B 103. Tubuh mereka menjadi pelampiasan dan sasaran
kemarahan suami.
Saya pulang dari kantor dibonceng temen. Tiba-tiba motor dicegat suami saya.
Saya ya turun... Suami saya marah-marah, nuduh saya selingkuh... Saya
‘dikepruki’ pake helm. Saya jerit-jerit minta tolong, tapi suami saya terus aja
mukulin saya. Akhirnya saya lari ke tempat jualan bensin, saya ditolong.
Pulangnya saya diantar polisi. Kepala saya ‘benjut-benjut’. Waktu itu saya malu
sekali jadi tontonan orang di jalan mbak... (Ibu A101, 46 tahun, Jogya)
Luka-luka fisik, memang paling mudah diidentifikasi, namun seringkali juga
dipungkiri oleh perempuan yang mengalami kekerasan. Luka-luka fisik dimulai dari
derajat yang paling ringan seperti lebam, kebiruan, luka terbuka / perdarahan, patah /
retak, sampai dengan kecacatan, ditemui dalam penelitian ini.
Lokasi cedera pun beragam, mulai dari kepala, muka, badan hingga organ yang
sensitif seperti organ genital, dubur dan payudara. (Tabel 4.3). Muka atau wajah adalah
bagian tubuh yang paling sering menjadi sasaran kekerasan (56%) dan 21% mengalami
cedera di kepala. Bagian wajah yang paling sering menjadi sasaran kekerasan adalah pipi
(11%) dan mata (10%), seperti yang dialami oleh mbak B102 dan juga B 103 yang
mengalami perdarahan di mata karena tinju suaminya.
Mata adalah organ yang paling sensitif di daerah wajah. Pemukulan pada daerah
mata dapat menyebabkan lebam kebiruan, pendarahan, gangguan penglihatan hingga
resiko kebutaan. Pemukulan di daerah ini biasanya akan langsung melemahkan korban,
karena rasa sakit dan pandangan terganggu. Secara naluri tampaknya penyerang mencari
titik lemah dari perempuan yang paling mudah dijangkau, mata adalah sasaran yang
paling tepat. Kenyataannya cedera di mata cukup banyak dialami oleh korban yang
memeriksakan diri di kedua RS.
Wajah adalah sebuah identitas dan citra yang unik bagi seseorang, tidak ada
seorang pun yang mempunyai wajah yang identik, sama persis satu dengan lainnya. Bagi
perempuan, wajah adalah salah satu bagian tubuh yang dirawat, dijaga melebihi bagian
tubuh lainnya. Lebam dan luka pada wajah, selain menyakitkan juga mengganggu
pencitraan diri perempuan terutama pada saat ia harus bersosialisasi dengan
linkungannya. Ibu B 102 dan A101 terpaksa harus menutupi lebam-lebam di matanya
dengan kacamata, atau terpaksa harus menguatkan hati karena menjadi perhatian,
menjawab pertanyaan tentang mata yang berarti harus menguraikan kembali kejadian
yang dialami, atau berbohong menjadi pilihan yang aman.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
22
Muka atau wajah adalah bagian tubuh
yang paling sering menjadi sasaran
kekerasan (56%) dan 21% mengalami
cedera di kepala. Bagian wajah yang
paling sering menjadi sasaran
kekerasan adalah pipi (11%) dan mata
(10%)
Tabel 4.3. Persentase Lokasi Cedera
Lokasi Cedera RS Sukanto Panti Rapih Total
N 121 173 294
Kepala 18 23 21
Muka 75 42 56
Leher 7 6 6
Bibir 11 6 8
Pipi 12 9 11
Hidung 8 2 5
Dahi 5 4 4
Pelipis 9 2 5
Mata 13 8 10
Telinga 7 2 4
Dagu 2 3 2
Badan 13 10 11
Dada 3 3 3
Pinggang 4 5 5
Punggung 5 1 3
Tulang Belakang 1 1 1
Ekstremitas 25 24 24
Lengan, tangan 17 17 17
Tungkai, kaki, jari 8 8 8
Organ intim 39 6 19
Organ Genital 36 6 18
Dubur 2 0 1
Payudara 0 0 0
Bagian tubuh lain yang sering mengalami cedera adalah lengan (17%) dan organ
genital (18%). Tangan dipergunakan para responden untuk melindungi diri terutama
melindungi bagian muka. Pada saat itulah cedera pada tangan sering terjadi. Cedera pada
tangan meliputi lebam, luka, perdarahan
dan patah atau retak. Tingginya cedera
pada organ genital terkait dengan
tingginya pemaksaan seksual. Pemaksaan
seksual menyebabkan lecet, perdarahan
dan sobeknya hymen.
Luka-luka fisik dapat terjadi
dibeberapa tempat sekaligus akibat dari
serangan yang bertubi-tubi. Salah satu
kasus yang ditangani oleh RS Sukanto
pada tahun 2005 dapat memberikan gambaran dari luka-luka fisik yang hampir terdapat
disekujur tubuh korban.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
23
Gambar 4.1: Lokasi cedera fisik di beberapa tempat yang dialami seorang gadis usia 24 tahun
Mata kiri bawah
memar 3x2 cm
Pipi kiri bawah
memar 6x7 cm
Telapak tangan
kiri sobek 1x1 cm
dan 1x5 cm
Bahu kiri
belakang memar
10x5 cm
Lengan kiri
atas memar
5x5 cm
Punggung kiri
memar 5x3cm
Pinggang kanan
belakang 5x5 cm
Lutut kanan
Memar 2x2 cm
Kaki kiri
Luka 5x7 cm
Pinggang kiri
belakang
Memar 6x7 cm
Sumber : Kartu status no. 1008
2.2. Gangguan kesehatan reproduksi
Gangguan kesehatan reproduksi atau kesakitan reproduksi dalam skema Heise,
meliputi kesehatan yang tidak diinginkan, HIV/AIDS, gangguan genekologi, aborsi tidak
aman, komplikasi kehamilan, keguguran atau BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), infeksi
panggul. Kesakitan reproduksi sebenarnya beresiko terhadap terjadinya kematian bayi
dan juga kematian ibu melahirka. Dalam penelitian ini ternyata banyak kasus kesakitan
reproduksi yang dialami responden,
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
24
Gambar 4.1: Rangkaian “kesakitan reproduksi”
yang dapat berujung pada kematian ibu melahirkan
Dari berbagai macam kesakitan reproduksi, kehamilan yang tidak diinginkan
merupakan kesakitan reproduksi yang terbanyak ditemui. Di RS Panti Rapih, kehamilan
tidak diinginkan (KTD) berjumlah 75 kasus selama tahun 2003 sampai pertengahan tahun
2005. Kehamilan tidak diinginkan ini dialami oleh perempuan usia muda dan rata-rata
mereka belum menikah. Dari hasil wawancara, penelitian ini menemukan ada 4
perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. A 105 adalah salah
satunya.
KTD pada perempuan yang belum menikah, apalagi jika mereka masih
bersekolah, memberikan sanksi sosial yang tidak ringan. A 105 dan A 107 terpaksa harus
berhenti sekolah karena KTD. A 105 memutuskan untuk tidak menikah, tetap
melahirkan bayinya. Pada saat puteranya berusia 1 tahun, ia terpaksa menerima tawaran
dari keluarga yang ingin mengadopsi anaknya. Sampai saat ini, A105 masih selalu
menerima pelecehan seksual, intimidasi, diskrimikasi dari para tetangga, baik itu laki-laki
atau perempuan, karena status nya yang tidak jelas. A107 memutuskan untuk menikah,
dan mengalami kekerasan fisik, serta ekonomi terus menerus dari suami, bahkan ia
sempat menggugurkan kandungannya. Kasus KTD juga terjadi pada B103 dan B104.
Mereka mengambil solusi yang berbeda pada saat itu. B103 memutuskan untuk
menggugurkan kandungan, dan mendapat dukungan dari ibunya. B 104 memilih untuk
menikah. Keduanya mengalami kekerasan fisik seksual dan ekonomi selama perkawinan,
bahkan tertular HIV/AIDS dari suami mereka yang pecandu. Puteri B 103 yang cantik
dan lucu, bahkan sudah terdeteksi HIV/AIDS positif pada saat masih bayi.
Gangguan saluran
reproduksi
- IMS
Kehamilan tidak
diinginkan
Aborsi tidak
aman
Gangguan
kehamilan
Keguguran
Berat Bayi Lahir
Rendah (BBLR)
Bayi lahir
meninggal
Kematian Ibu
“KESAKITAN” REPRODUKSI
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
25
Kisah A 105, melahirkan sendiri tanpa bantuan siapapun di usia 17 tahun
Awalnya saya Cuma diajak ke rumah temennya.Tapi ternyata itu rumah oomnya
dan saya nggak boleh pulang. Dia nggak mau nganter aku pulang. Pokoknya aku
disuruh tinggal 3 minggu di sana. Semua pintu dikunci mbak… saya ditaruh di
kamar terus,.. terus saya disuruh nglayani seks dia selama 3 minggu. Semua
kebutuhan saya dia yang beli. Mau mandi juga ditungguin. Si mbah saya sampai
sakit, dipikirnya saya mati. Kejadian itu terulang lagi, saya disekap lagi. Disuruh
ngelayani seks dia lagi, saya nolak, saya dipukuli. Celana saya yang resletingnya
sobek, karena dipaksa masih saya simpen mbak…
Bulan Nopember atau Desember, saya udah 2 bulan nggak mens, saya tes
ternyata saya hamil. Dia suruh saya gugurin kandungan, tapi nggak mau kasih
biayanya. Saya nggak berani nggugurin kandungan, takut resikonya, saya udah
bikin dosa tho mbak… mosok saya tambah dosa lagi…
A105, masih kelas 2 SMA pada waktu mengalami kejadian tersebut. Tinggal di
suatu desa dipinggir selatan kota Yogyakarta. Ia hidup hanya berdua dengan si
mbah (nenek)nya di sebuah rumah berdinding bambu dan tidak berlistrik, sangat
kontras dengan rumah tetangganya yang berdinding batu. Si mbah sudah sakitsakitan,
A105 tidak mungkin menceritakan masalahnya pada si Mbah.
Kehamilannya disembunyikan dibalik baju gombrong. Tidak ada seorangpun yang
menyangka bahwa ia sedang hamil. Selama kehamilan A105 tidak pernah
memeriksakan diri ke bidan, selain takut juga karena tidak ada biaya. Pada suatu
malam, A105 merasakan sakit luar biasa di sekitar perutnya, dia tidak tahu bahwa
ia akan melahirkan. Akhirnya bayi itu lahir... bocah umur 17 tahun itu melahirkan
sendiri tanpa ada yang menolong ataupun mendampingi... dia bahkan tidak tahu
harus diapakan tali pusat yang menghubungkan antara rahimnya dan pusar
bayinya
Kehamilan yang tidak diinginkan juga terjadi di dalam suatu perkawinan.
Sedikitnya 3 responden mengakui bahwa kehamilannya sebenarnya tidak direncanakan,
karena situasi perkawinan tidak kondusif untuk pertumbuhan anak. Tetapi mereka tidak
mampu menolak untuk melayani kebutuhan seksual suami yang tetap menggebu
sebagaimana disampaikan ibu A101 dan B102.
...saya lepas spiral ketika harus mengikuti pendidikan di Bandung, untuk
mencegah suami menuduh yang macam-macam. Tapi hampir setiap minggu saya
ditelpon dan diancam, intinya saya musti pulang, kalau tidak anak-anak akan dia
bawa pergi. Jadi saya sering bolos, pulang ke Yogya. Setiap kali pulang, suami
saya selalu minta dilayani kebutuhan seksualnya. Akhirnya saya hamil... dan
suami tidak mau mengakui anak saya, malah saya dituduh ‘main’ dengan orang
lain. Jadi sebenarnya yang dia akui sebagai anaknya hanya anak kami yang
pertama (Ibu A101)
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
26
Kehamilan yang tidak
diinginkan juga
terjadi di dalam suatu
perkawinan
Aborsi menjadi pilihan untuk
mengatasi KTD. Namun
karena layanan aborsi yang
legal sulit ditemukan, maka
mereka cenderung
melakukan aborsi dengan
cara yang tidak aman
...terus terang kehamilan anak ke dua dan ketiga itu kecelakaan...sebenarnya itu
perkosaan...(Mbak B102)
Pada saat terjadi KTD, aborsi seringkali
menjadipilihan penyelesaian. Masalahnya tidak semua
responden mengetahui bagaimana dan dimana aborsi yang
aman dapat dilakukan. Hanya B103 yang melakukan aborsi
secara aman di sebuah klinik di Jakarta dengan didampingi
ibunya. Sementara responden lain melakukan aborsi dengan
datang ke dukun urut. Ibu C103 bahkan mencoba menggugurkan kandungannya sendiri
dengan berbagai cara.
...sudah tiga kali saya coba untuk menggugurkan. Diurut di dukun di Jawa barat.
Perut saya diurut, ditekan..sakitnya minta ampun, sampai berbekas biru-biru..
tapi bayinya nggak keluar. Terus diinjek sama suami saya, dia masih pake sepatu
dinasnya.. tetap nggak keluar. Saya juga minum jamu, tapi nggak keluar juga,
sampai saya minum bir setengah gelas... tetap bayinya nggak keluar... (C103,
Jakarta)
Aborsi tidak aman mempunyai resiko yang
tinggi, yaitu kematian. Jika aborsi itu gagal dilakukan
bayi yang dilahirkan pun mempunyai resiko cacat.
Komplikasi aborsi dialami oleh ibu C101. Ibu C101
positif hamil setelah 10 bulan menikah, namun suami
tidak menghendaki kehamilan tersebut, ia memaksa
untuk menggugurkan kandungan. Suami membawa ibu
C101 ke dokter kenalan di bilang Cikini untuk
menggugurkan kandungan. Ternyata, sesudah itu, ibu
C101 mengalami pendarahan terus menerus dan rasa sakit yang luar biasa. Ia pun
memeriksakan diri ke dokter, dan untuk ke dua kalinya kandungannya harus di kuret,
karena aborsi pertama tidak dilakukan dengan sempurna.
Kita kan sebagai istri yang sah, wajar kalo kita tuh mengandung, tapi nyatanya
kandungan saya tidak diinginkan oleh suami sampai saya dipaksa menggugurkan,
kalau tidak saya akan dicerai. Dengan sangat terpaksa saya menggugurkan
untuk kedamaian rumahtangga. Sampai saat ini, kalau mengingat itu saya merasa
sangat.. sangat bersalah dan rahim saya masih sering terasa sakit (C 101,
Jakarta)
Masalah reproduksi yang terpotret dalam penelitian ini bukan hanya KTD dan
aborsi yang tidak aman, masih ada beberapa masalah lain seperti aborsi spontan (
keguguran), perdarahan hebat pada saat melahirkan seperti yang dialami ibu A 101.
Keputihan yang terus menurus seperti dialami oleh ibu C103 atau penyakit menular
seksual yang dialami oleh B 102, B 103.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
27
badan panas terus, vaginanya kering, dibibir nya kering, kuning, tapi gak bau.
Sampe pipis aja sakit. Aku bingung mau ngomong sama siapa. Sama keluarga
gak mungkin. Malu kan mbak... ( B 103, 25 tahun)
B103 berprofesi sebagai PSK karena ditelantarkan oleh orangtuanya. Awalnya ia
mangkal di depan kantor pos besar di Yogya. Belakangan ini, ia “mempromosikan” diri
melalui internet. Menurutnya cara ini lebih aman, dia terhindar dari resiko kekerasan di
jalan, terhindar dari ‘penggarukan”oleh aparat yang harus ditebus dengan biaya Rp
51.000,- (dan saya setuju dengan pendapat itu, peneliti). Biasanya jika sudah ada
kesepakatan di jalur internet, ia akan mengajak pelanggan untuk bertemu, memberi
kesempatan pelanggan untuk melihat dirinya. Jika kedua belah pihak ‘OK’, maka B103
akan meminta uang muka, serta membuat janji, kapan kegiatan akan dilakukan. Namun
tetap saja, tidak semua pelanggan bersedia menggunakan kondom, dan B 103 tidak
mempunyai posisi tawar yang baik. Jangan dibayangkan bahwa B 103, berdandan menor
dan berpakaian seronok. Penampilannya sederhana, pakaian dan cara bicaranyapun
sangat sopan. Menurutnya justru itulah “nilai tambah” yang dimiliki, sehingga pelanggan
lebih memilihnya, walaupun menurutnya dia tidak cantik. Mencari pelanggan melalui
internet juga dilakukan oleh B 102.
2.3. gangguan psikologis (mental)
Gangguan psikologis atau kesehatan mental yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah, stress, depresi, kecemasan, phobia, disfungsi seksual, dan rendah diri.
Ternyata tidak banyak kasus gangguan psikologis yang ditemukan dalam kartu-kartu
status yang dikumpulkan dari RS Sukanto dan Panti Rapih. Hal ini menjadi pertanyaan
bagi peneliti, karena kasus perkosaan tinggi, KTD juga tinggi, luka-luka fisik dengan
berbagai derajat keparahan juga sangat tinggi. Mungkinkah ada ketidak telitian dalam
melakukan anamnesa, atau ketidaklengkapan dalam menuliskan laporan, atau pada saat
dilakukan pemeriksaan gejala psikologis belum muncul atau sudah hilang.
Hal ini berbeda dengan temuan dari hasil wawancara. Seorang responden, Ibu
B101 mengalami gangguan psikologis yang cukup serius,
... mungkin sudah mau mengarah ke gila atau gimana, karena saya tiap hari
telanjang tidur tergeletak, menangis dan menangis, menyanyi, menangis
menyanyi, saya tutup korden dan saya nggak mau buka korden. nggak tahu
bicara, nggak bisa menyapa orang, takut melihat orang...
Mata dan telinga saya sedikit terganggu, mungkin karena terlalu tegang (B 101,
42 tahun, Jakarta)
Ibu B 101, sarjana ilmu pendidikan, guru di salah satu lembaga di Papua.
Awalnya masih mencoba untuk bertahan dan menerima dengan lapang dada bahwa
suaminya memiliki perempuan simpanan. Ia berusaha keras untuk ”memperbaiki diri”,
mengubah dandanan, diet ketat untuk melangsingkan bandan, namun semua itu runtuh
setelah ia mengetahui bahwa suami telah menikah dan memiliki anak dari perempuan itu.
Ia bahkan dikucilkan, dikontrakkan rumah jauh dipinggir kota, dipisahkan dari anak,
bahkan suami tinggal dengan istri barunya di tengah kota.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
28
Berdasarkan wawancara dengan teman dekat sekaligus pendamping di masa-masa
sulit, Ibu B101 tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain, hanya menangis, dan
menyanyi-nyanyi sendiri. Tidak mampu merawat dirinya, tidak sadar bahwa tidak
berpakaian atau berpakaian tidak lengkap. Kondisinya semakin buruk, karena dibiarkan
sendirian di sebuah rumah di pinggir kota tanpa telepon, tidak kenal tetangga kiri kanan.
Walaupun suami tetap datang berkunjung tetapi tidak ada upaya untuk pemulihan
sehingga kondisi ibu B 101 tidak mengalami perubahan.
Ibu C101, setelah mengalami penyiksaan dari suami dan anak tirinya serta
pemaksaan menggugurkan kandungan, mengalami stres sehingga mendapatkan obat
penenang dari dokter. Berat badan turun drastis, sakit-sakitan, sering menangis dan terus
menerus dihantui rasa takut.
Kalo ketemu dia tuh bawaannya deg-degan sama lemes...
...dulu kan anaknya juga ikut mukul, pokoknya kalo udah denger nama dia tuh,
dada rasanya bergetar gitu deh... deg-degan aja deh takut...(C 101, Jakarta)
Gangguan psikologis lain juga dialami oleh ibu A101, kehamilannya diingkari
oleh sang suami, bahkan ia dituduh berselingkuh dengan orang lain. Berat badannya
menurun drastis. Setelah mengalami perdarahan hebat, kandungannya terpaksa dikuret
dan ia dirawat di rumah sakit.
... Ngga bisa, dia ngga mau menerima. Sampai hamil saya kurus... mungkin
karena terlalu banyak pikiran...saya mengalami pendarahan banyak mbak! Tapi
setelah saya tes urine, kok ternyata masih positif hamil padahal gumpalannya dah
keluar. Saya periksa ke dokter Amin di desa, katanya kegguran tapi sisa-sisa
jaringannya masih ada didalamnya akhirnya saya dikirim ke Panti Rapih... (Ibu
A 101, Jogyakarta)
... rasa takut, saya kan pernah cerita, saya ketakutan luar biasa di rumah, ya itu
rasa takut apalagi toh! (C102)
2.4. gangguan perilaku
Gangguan perilaku meliputi ganngguan pola makan, merokok, penyalah gunaan
obat, penggunaan obat-obatan terlarang serta perilaku seksual tidak aman. Gangguan
perilaku ini tidak terlaporkan dalam kartu status dari ke dua rumah sakit, namun beberapa
responden yang diwawancara ternyata mengalami gangguan perilaku ini.
Ibu A101, berusaha melupakan semua masalah yang dialami dengan makan. Ia
memuaskan keinginannya untuk makan enak dan banyak. Berat badannya pun terus
bertambah. Pada saat ia harus dirawat di rumah sakit karena hepatitis, diketahui pula
bahwa kadar kolesterol dalam darah tinggi.
Merokok dan minum alkohol adalah dua kebiasaan yang dilakukan oleh A105
dan A107. Kebiasaan itu dilakukan juga pada saat mereka mengalami kehamilan yang
tidak diinginkan.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
29
2.5. gangguan kronis
Rasa nyeri yang berkepanjangan, gangguan pencernaan, dan keluhan-keluhan
somatik yang ditemukan dari laporan kartu status di kedua rumah sakit walaupun
persentasenya sangat kecil. Gangguan kronis juga dikeluhkan oleh beberapa responden
yang diwawancara. B 102 misalnya, mengalami gangguan tidur. Seringkali dia tidak
dapat tidur dan harus mengkonsumsi diazepam agar dapat memejamkan mata.
Ibu C 102 mengeluh sering merasa mual, apalagi jika mengingat hal-hal yang
menyakitinya. Ia juga sering diserang pusing-pusing, badan terasa sakit semua tanpa
sebab yang jelas.
...sembuhnya agak susah, udah diobatin kadang gak sembuh gitu lho kadang
sembuhnya harus dikerok jadi seperti masuk angin, itu kayanya ada apa ya
hubungannya antara masuk angin, sakit kepala, sakit gigi dan itu terus-menerus.
Dalam seminggu saya kerokan bisa 4x, 5x. Bukan pusing saja, jadi badan juga
rasanya sakit-sakit, bukan sakit apa ya pokoknya kayanya enggak enak itu.
sampai pernah parah hingga saya seperti orang kedinginan terus rasanya , saya
sendiri merasakan seperti orang mau mati. (C102, Jakarta)
2.6. hiv/aids
HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan yang fatal, karena sampai
saat ini belum dapat disembuhkan. Pada awalnya HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit
yang disebabkan oleh perilaku seksual yang beresiko, namun dalam perkembangannya,
jumlah perempuan dan anak yang terinfeksi HIV/AIDS bukan dari perilaku yang
beresiko justru terus meningkat. Istri terinfeksi dari suami yang pengguna jarum suntik
dan anak yang terinfeksi dari ibu nya, ditemukan dalam penelitian ini.
Bulan Januari, anak gue masuk rumah sakit. Baru umur sebulan udah diare
terus, kalo berak burr-burr seperti keran. Mulutnya sariawan banyak banget.
Gue pikir “wah anak gue mau pinter, masih 1 bulan kok udah mau jalan ya?”
Ya ampun, di rumah sakit dikasih infuse sepuluh botol. Besoknya dia udah boleh
pulang, tau gak... dia ga bisa ngapa-ngapain! Diem aja, balik ke kiri gak bisa,
balik kanan juga nggak bisa. Ya Allah sadis banget...
Akhirnya dia sakit lagi mbak, tapi nggak diare, napasnya kenceng, sesek napas!
Masuk rumah sakit lagi, dirawat selama 6 bulan. Diambil darahnya, dipasang
selang dimana-mana. Harus ditransfusi karena dia anemia.
Gue bingung sebenernya anak gue sakit apa?
Sampai akhirnya dokter tanya “ apa ada yang ibu belum ceritakan ke saya?”.
Gue jawab kalau suami gue pecandu. Dokternya kaget, langsung dia minta
persetujuan gue untuk mengetes anak gue. Pas nerima hasilnya, ternyata positif..
gue cuma duduk di tangga, nangis “Ibu juga positif...”, aku liatin lagi hasilnya...
“bener dok?”
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
30
Gue nangis melukin tante, melukin ayah, melukin semuanya,...ancur-ancur
banget. Kalo Cuma gue yang kena sih masih mending mbak...tapi ini anak gue,
kasian sama anak gue (suaranya bergetar, dan airmatanya mengalir..)
Perasaanku ancur banget... nggak bisa terima... (B103, Jakarta)
B103 menikah dengan pengguna NARKOBA suntik yang selalu menyangkal
bahwa dirinya positif HIV/AIDS. B 103 Percaya pada ucapan suaminya, mereka tidak
menggunakan kondom. Ia melahirkan secara normal dan menyusui bayinya. Pernikahan
dengan pecandu bukanlah pernikahan yang mudah, selain selalu dipukuli, disiksa,
dimaki, barang-barang rumah tanga pun habis dijual, uang simpanan dicuri bahkan
anting-anting anak pun dijual. Kini sang suami sudah meninggal, dan B103 masih harus
berjuang untuk memperpanjang hidup anak dan dirinya sendiri. Menanggung sendiri
biaya obat dan suplemen gizi untuk mereka berdua.
2.7. kematian
Angka kematian menunjukkan derajat keparahan yang tinggi dari suatu penyakit.
Kematian merupakan masalah kesehatan yang paling fatal. Namun dari 294 kasus yang
dihimpun dari dua rumah sakit, tidak ada satupun catatan tentang kematian. Berdasarkan
pengamatan dari laporan RPK Polda Yogyakarta, juga tidak ditemukan kematian
perempuan akibat kekerasan, laporan tahunan beberapa organisasi perempuan juga tidak
menyebutkan adanya kematian perempuan akibat kekerasan. Benarkah tidak ada
perempuan yang mati karena kekerasan? Padahal setiap hari media baik cetak maupun
Televisi mengungkapkan kematian perempuan akibat tindak kekerasan. Tabel 3.4.
menunjukkan kenyataan itu.
Tabel 4.4 Kasus kematian akibat kekerasan
Tahun Istri Pacar Pekerja
2003 1 8 3
2004 19 1 6
2005 23 10 10
Sumber : Kliping LBH APIK, 2003-2005
3. terapi dan pengobatan
Dari wawancara yang dilakukan kepada para responden, pada umumnya mereka
tidak datang ke dokter untuk mengobati luka-lukanya jika masih sebatas lebam-lebam.
Ibu B102, bahkan sudah sedia obat penghilang bengkak dan lebam di kotak obatnya.
Segera sesudah serangan, ia selalu mengoleskan obat tersebut didaerah yang diserang.
Beberapa responden juga mencoba mengobati sendiri masalah kesehatannya,
misalnya dengan minum obat-obatan yang dibeli di warung untuk mengatasi sakit kepala
yang sering diderita. Pada umumnya mereka enggan ke dokter karena malu mengalami
kekerasan dari suaminya. Lelah atau bosan bolak-balik ke dokter juga menjadi alasan,
karena seringnya luka-luka terjadi atau gangguan kronis yang tidak henti.
Masalah keuangan juga menjadi salah satu alasan untuk menghentikan kunjungan
ke dokter ini seperti yang diceritakan ibu C101. Ibu C101 mengalami gangguan pada alat
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
31
reproduksinya pasca aborsi yang dikehendaki oleh suaminya. Konsultasi ke dokter
spesialis kandungan dihentikannya karena biaya yang mahal. Sekali periksa ke dokter
kandungan, ia harus mengeluarkan biaya antar 110 – 160 ribu rupiah termasuk biaya
obat. Tidak ada satupun responden yang pernah ditanya oleh dokter mengenai penyebab
luka-luka atau gangguan kesehatan yang dialaminya.
Layanan dokter biasanya digunakan jika luka atau gangguan kesehatan yang
dilami sudah tidak dapat ditahan lagi. Ibu C101, akhirnya ke dokter setelah ia tidak dapat
lagi menahan rasa sakit di dada akibat pukulan dari suami dan anak tirinya. Layanan
dokter juga dibutuhkan karena kebutuhan visum.
Untuk aborsi, dukun atau tukang urut masih menjadi pilihan para responden. Hal
ini karena mereka tidak mengetahui keberadaan layanan aborsi yang aman dan legal.
Pada umumnya mereka melakukan aborsi di tempat ilegal tersebut setelah mendapatkan
informasi dari mulut ke mulut. Berarti makin tinggi resiko yang harus ditanggung para
perempuan ini. Dokter baru dicari setelah aborsi gagal dilakukan atau terjadi komplikasi.
Orang pintar juga dicari oleh salah seorang responden karena kayakinan bahwa masalah
kesehatan yang dialaminya karena guna-guna dari suami.
4. kerugian ekonomi, psikologis dan sosial
Tidak mudah menghitung kerugian yang dialami oleh para responden. Kerugian
ekonomi mencakup pula kerugian psikologis dan sosial. A105, terpaksa harus putus
sekolah karena KTD akibat perkosaan yang dialami. Ia tidak mampu menghidupi anak
yang dilahirkan sehingga terpaksa direlakan untuk diadopsi sebuah keluarga di Jakarta.
Kini anak tersebut sudah berusia 4 tahun, dan memanggil ibunya dengan tante. Ia sama
sekali tidak ingat bahwa A105 adalah ibunya. Kenyataan ini berat untuk A105. Walaupun
akhirnya ia berhasil mendapakan ijasah SMA, namun sampai saat ini masih belum
mendapat pekerjaan.
Dulu waktu masih ada anakku, aku nerima cucian dari tetangga. Sekarang
setelah anakku diadopsi orang di Jakarta nggak ada lagi orang yang cuciin ke
aku, mungkin dikiranya aku udah gak butuh duit lagi (A105)
A 105 juga harus bertanggung jawab atas hidup si Mbah yang sudah sakitsakitan,
menyebabkan ia sulit untuk meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan di luar
tempat tinggalnya. Mempunyai anak tanpa suami di sebuah desa kecil yang dikenal
sebagai desa penganut katolik yang kuat, merupakan masalah yang tidak mudah. Hinaan
seringkali dan makian dari tetangga sering kali harus diterima. Dituduh berselingkuh
dengan suami orang sudah beberapakali diterima, sampai dengan kekerasan fisik dari
para istri. Dilecehkan secara seksual oleh para lelaki di desanya juga seringkali terjadi.
Ibu B101 yang mengalami gangguan mental setelah suami mengawini perempuan
lain, harus kehilangan pekerjaan sebagi guru. Dalam masa pemulihan seperti sekarang,
sulit baginya untuk kembali mengajar, dengan riwayat penyakit yang dideritanya.
Akhirnya dengan bantuan dan belas kasihan dari orang-orang yang peduli dilingkungan
gerejanya, ibu B101 mendapatkan modal mesin jahit, dibiayai untuk kursus menjahit.
Teman-teman yang peduli, membantunya dengan cara menjahitkan baju pada ibu A101.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
32
Hidup nya sehari-hari sebagian besar masih ditopang oleh rekan-rekan sepersekutuannya.
Seminggu sekali ia diberi kesempatan untuk siaran program pendampingan keluarga di
salah satu radio swasta. Hidupnya memang sedikit demi sedikit berbergulir kembali,
tetapi sampai saat ini, ia masih belum mendapatkan anaknya yang ada di bawah
pengasuhan mertua.
Sulit membayangkan masa depan B103 beserta putrinya dan B104 setelah tertular
HIV/AIDS dari suami masing-masing. Mereka berdua saat ini bekerja disalah satu LSM
yang bergerak dipendampingan ODHA, dengan honor sekitar Rp. 150.000 sebagai
pengganti transport. Pendapatan lain hanya didapat jika menjadi pembicara dalam
seminar-seminar atau jika ada program. Padahal mereka adalah orang tua tunggal yang
harus menanggung sendiri hidupnya termasuk pengobatan HIV/AIDS. B103 setiap
bulannya harus mengeluarkan Rp. 1.600.000 untuk biaya hidup dan pengobatan. B104
yang mempunyai 3 anak, mengeluarkan biaya Rp. 400.000,- diluar biaya makan sehariharii
karena masih tinggal di rumah mertua.
Pada umumnya para responden membiayai sendiri semua pengobatan dari
masalah kesehatan yang dihadapi. Seperti ibu A101, yang harus membayar sendiri biaya
rumah sakit. Dalam keadaan seperti itu pun, anak-anak masih datang kepadanya untuk
meminta uang belanja harian. Padahal selama ini, gaji ibu A101 tidak lah cukup untuk
biaya hidup sehari-hari. Tambahan biaya keluarga didapatnya dari ‘proyek’ atau
berhutang kesana kemari. Pada saat dia harus terbaring, praktis penghasilan yang dia
terima hanya gaji saja.
Kerugian ekonomi sulit dikuantitatifkan dalam penelitian ini karena kerugian
yang diderita responden tidak hanya secara material tetapi juga sosial dan psikologis yang
membutuhkan instrumen khusus untuk mengukurnya.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
33
Bab V
ADA APA DI BALIK “KESAKITAN’ PEREMPUAN ?
1. PENYEBAB “KESAKITAN” ITU!
Berdasarkan data yang diperloeh dari kartu status di kedua rumah sakit,
“kesakitan” perempuan muncul akibat kekerasan yang dialaminya. Kekerasan dapat
berupa kekerasan fisik, seksual, psikologis, ekonomi. Seringkali kekerasan pun berganda
dan dilakukan tidak hanya satu kali seperti yang tergambar dalam tabel 5.1 dan tabel 5.2.
Tabel 5.1 : Persentasi Jenis Kekerasan
Jenis Kekerasan RS Sukanto Panti Rapih Total
N 121 173 294
Fisik 40.5 35.3 37.4
Seksual 28.1 51.4 41.8
Psikologis 0.0 1.2 0.7
Fisik, Seksual 2.5 4.0 3.4
Fisik, Psikologis 14.0 6.4 9.5
Fisik, Ekonomi 3.3 0.6 1.7
Seksual, Psikologis 8.3 0.6 3.7
Psikologis, ekonomi 0.0 0.6 0.3
Seksual, psikologis,
ekonomi
3.3 0.0 1.4
Di rumah sakit RS Sukato, kekerasan fisik lebih menonjol, sementara di RS Panti
Rapih, kekerasan seksual lah yang lebih dominan. Hampir 20% responden mengalami
kekerasan berganda. Namun hasil ini perlu dicermati lebih lanjut untuk melihat ketidak
konsistenan data. Banyak kasus perkosaan yang hanya dicatat sebagai kekerasan seksual
saja, padahal jelas-jelas terjadi pemaksaan, perlawanan, dan intimidasi. Kekerasan
ekonomi tidak banyak ditangkap dalam kartu status, kecuali jika merupakan bagian dari
kekerasan lainnya.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa tidak ada satupun responden yang
mengalami kekerasan tunggal. Pada umumnya mereka mengalami kekerasan berganda,
bahkan beberapa responden mengalami semua jenis kekerasan baik fisik, psikologis,
seksual dan ekonomi (A101, A105, B102, B103, C101).
Tabel 5.2. Persentase Frekuensi kerasan yang dialami
Frekuensi RS Sukanto Panti Rapih Total
N 121 173 294
Pertama kali 30.6 42.7 37.7
Berulang kali 38.0 22.2 28.8
Tidak diketahui 31.4 35.1 33.6
Di dalam kartu status tidak tidak selalu dicantumkan berapa kali kekerasan itu
terjadi. Hanya sekitar 60% yang mencantumkan frekuensi kekerasan, dan separuh lebih
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
34
mengaku baru pertama kali mengalami kekerasan. Hal ini bertentangan dengan hasil
wawancara dengan para responden lain yang pada umumnya enggan memeriksakan diri
ke dokter pada awal kekerasan dan mengalami kekerasan berulang kali.
Kekerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti yang tergambar pada
tabel 5.3 berikut.
Tabel 5.3: Persentasi cara melakukan kekerasan
Cara melakukan kekerasan RS Sukanto Panti Rapih Total
N 121 173 294
Dipukul, ditampar 57.0 42.8 48.6
Ditendang 9.9 5.2 7.1
Ditusuk 0.8 1.7 1.4
Dibakar 1.7 1.2 1.4
Dicekik 5.0 4.6 4.8
Digigit 0.8 1.7 1.4
Dicakar 3.3 2.9 3.1
Diperkosa 33.9 7.5 18.4
Disodomi 0.8 0.0 0.3
Dibanting 0.8 1.7 1.4
Dijambak 6.6 5.2 5.8
Ingkar Janji / Penelantaran
kehamilan1
1.7 43.9 26.5
Lain-lain 7.4 19.1 14.3
Tidak diketahui 1.0 1.5 1.3
Dipukul, ditampar merupakan cara yang paling sering digunakan, sehingga tidak
mengherankan jika cedera pada muka dan kepala paling banyak ditemukan. Pemerkosaan
terjadi 33,9 % di RS Sukanto sedangkan di Panti Rapih persentase perkosaan hanya 7.5%
namun banyak kasus kehamilan terjadi dan pacar tidak bertanggungjawab.
Dari wawancara responden, semua responden mengalami kekerasan berganda dan
terjadi beulang kali dalam waktu yang lama. Kekerasan fisik berupa pemukulan dialami
oleh hampir semua responden. Pemukulan pun ada yang dilakukan dengan tangan kosong
maupun dengan benda tumpul sepert ibu A101 yang dipukuli dengan helm. Dicekik
pernah dialami oleh ibu B102 seperti penuturannya berikut ini:
Tubuh saya dihempaskan ke kasur kemudian ditindihnya hingga tak bergerak
sedikitpun. Punggung saya pun penuh cakaran hingga mengucurkan darah segar.
Setiap saya berusaha untuk berteriak dan meronta, justru semakin bernafsu dan
mencekik leher saya. (B102, Jakarta)
Kekerasan fisik juga dilakukan dengan menggunakan senjata tajam seperti yang
dialami oleh ibu A108.
1 Kasus kehamilan yang terjadi bukan karena perkosaan, namun pihak laki-laki tidak mau
bertanggungjawab. Pada kartu status, kasus seperti ini biasanya dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Beberapa LSM mengkategorikan kasus-kasus seperti ini sebagi ingkar janji. Peneliti mengkategorikan
kasus-kasus seperti ini sebagai penelantaran. Penelantaran termasuk dalam batasan kekerasan terhadap
perempuan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
35
Pedang itu sudah pernah menempel di leher saya sampe luka ini, ini bekas
lukanya ini (A108, Jogyakarta)
Kekarasan fisik juga dilakukan pada saat responden sedang hamil seperti yang
dialami oleh A101, A108, B102 dan B103. Tidak peduli berapapun usia kehamilan
tersebut, perut menjadi sasaran langsung kekerasan.
Kandungannya sudah besar itu dia baru pulang, belum ada satu minggu kita
sudah kena pukul. Gara-gara apa? Kambing! kambing orang lain makan
tanaman di depan itu. Mana kita tahu kalau kambing masuk, kerja kita sibuk di
belakang, ya kan? Ditampar itu pipi kita ini (A108, Jogyakarta)
...Gue lagi hamil, 5 bulan gitu ya, gue didorong dari tangga, gue inget banget
perut gue ditonjok..sempet ditonjok ditonjok dari pacaran kekerasan itu udah
banget-banget, iye! Ditonjok, ditendang, nyungsep gue, dari atas sampe bawah
nyungsep gue! Ya Allah! Tuhan mati deh gue! Anak gue!, tapi anak gue tuh kuat
banget ye..(B103, Jakarta)
Kekerasan seksual juga dialami oleh beberapa responden. Pemerkosaan dialami
oleh A105 , A102, A103, pemerkosaan dalam perkawinan dialami oleh A 101, B102.
Selain pemerkosaan kekerasan seksual juga berupa pelecehan seksual. Suami ibu A101
bahkan menelanjangi tubuh istrinya dan meneliti setiap titik di tubuhnya, kalau-kalau ada
tanda atau ada hal-hal yang berubah.
kecemburuannya pada diri saya yang membuat diri saya malu, saya ini kesannya
kayak pelacur gitu oh mbak. Jadi setiap mau berhubungan seksual dia teliti
badan saya dari atas sampai kebawah (A101, Yogyakarta)
Tampak jelas bahwa selain mengalami pelecehan seksual, ibu A101 juga
mengalami kekerasan psikologis. Hal serupa terjadi pada Ibu C101 yang dipaksa anal
seks oleh suaminya sehingga ia merasa sangat tertekan dan berdosa.
Saya malu mengungkapkan ada...(sambil menangis), dia melakukan seks tidak
normal yaitu lewat lubang anus... Kalau saya nolak dia akan bilang “ kamu tuh
gak ini sih sama saya” akhirnya dia nuntut kalau saya tidak melakukan yang dia
mau, saya dianggap tidak sayang sama dia. Padahal sih saya tahu dalam agama
itu kan sangat dilarang dan dilaknat untuk melakukan hal itu... (C101, Jakarta)
Kekerasan psikologis juga terjadi pada beberapa responden. Kekerasan ini mulai
dari ancaman, makian, hinaan, bahkan hinaan terhadap agama dan kepercayaan yang
dianut seperti yang dialami oleh ibu B102. Gambar Tuhan Yesus diturunkan dari dinding,
dan makian seperti “persetan dengan Kristen” sering diucapkan oleh suami. Ibu A101
selalu dihina oleh suaminya, dengan mengatakan “untuk apa kamu berkerudung kalau
kelakuanmu kayak gitu!”. Kerudung atau jilbab ternyata juga dapat digunakan sebagai
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
36
alat kekerasan, seperti yang dialami oleh responden A108. Jilbab yang dikenakannya
ditarik dari belakang oleh suami hingga ia tercekik.
Bentuk kekerasan psikologis lain yang banyak ditemui adalah diselingkuhi. Dari
penuturan para responden, perselingkuhan yang dilakukan suami mulai dari sekedar
berkencan sampai dengan menikah tanpa seijin istri bahkan memiliki anak dari
perkawinan tersebut. Ibu B101, bahkan sampai mengalami gangguan mental karena
suami menikah dengan perempuan lain, memiliki 2 anak dan lebih memilih tinggal
dengan istri barunya.
Responden A108, mengalami bentuk kekerasan yang berbeda. Pakaiannya
dibakar oleh suami, kamar sengaja dikunci. Padahal sebagai seorang pengajar, ibu A108,
perlu berpenampilan rapi, akibatnya ia terpaksa berdandan di luar kamar dan
menggunakan pinsil warna sebagai pinsil alisnya. Responden juga terpaksa memanjat
tembok dan masuk rumah melalui ventilasi sepulang mengajar, karena rumah di kunci
dari dalam oleh suami.
Pengekangan dialami oleh ibu A101 yang selalu dikuntit oleh suami kemanapun
dia pergi, bahkan kilometer motor pun selalu diperiksa sebelum ke kantor dan sesudah
sampai di rumah. Padahal ibu A101 adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. A107,
dilarang pergi kemanapun tanpa didampingi suami, sehingga ia sulit berhubungan dengan
teman-temannya, apalagi bekerja. Responden A 107, juga mengalami pengekangan dari
suami. Ia tidak boleh pergi tanpa pengawalan dari suami.
Kekerasan ekonomi dialami beberapa responden. Selain harus mencari nafkah
masih diperas oleh suami untuk memenuhi kebutuhan suaminya. Kekerasan ekonomi
juga terjadi dalam bentuk penguasaan aset seperti mobil, motor yang dibeli oleh
responden tetapi dikuasi sepenuhnya oleh suami. Responden tidak mendapatkan
kesempatan untuk menggunakan aset yang dibelinya, bahkan aset tersebut diatasnamakan
suami. Dibeberapa kasus ditemukan, aset responden dijual oleh suami, dan responden
tidak menikmati hasilnya.
ATM ibu B102, bahkan dirampas oleh suami, sehingga ia tidak memiliki kontrol
atas penghasilannya. Ibu C101 hanya mendapatkan Rp.300.000 untuk memenuhi
kebutuhan seluruh keluarga. Padahal gaji suaminya mencapai Rp. 5.000.000,- dan
sebagian besar digunakan untuk hobi suami mengutak atik mobil.
Bentuk kekerasan ekonomi lainnya adalah, reponden dilarang bekerja atau suami
mengganggu pekerjaan responden dengan memaksa pindah pekerjaan atau bikin onar di
kantor istri seperti yang dialami ibu A101. Karena sama-sama pegawai negeri suami ibu
A108, membujuk responden untuk mengalihkan semua tunjangan ke dalam struktur gaji
suami, dengan alasan supaya mendapat lebih besar. Namun ternyata, responden tidak
menikmati tunjangan apapun, karena semua dikuasai oleh suami.
2. PELAKU DIBALIK KEKERASAN
Berdasarkan laporan kartu status yang ada, sebagian besar pelaku kekerasan yang
menyebabkan masalah kesehatan pada perempuan adalah orang-orang yang dikenalnya
dengan baik seperti suami, pacar, ayah atau anggota keluarga lainnya (tabel 5.4)
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
37
Tabel 5.4. Persentase pelaku kekerasan
Pelaku kekerasan RS Sukanto Panti Rapih Total
N 121 173 294
Suami 33.9 37.0 35.7
Ayah 1.7 0.6 1.0
Kakak, adik - 0.6 0.3
Famili lain 3.3 1.2 2.0
Pacar, tunangan 12.4 48.0 33.3
Mantan suami 1.7 - 0.7
Orang dikenal lainnya 28.1 7.5 16.0
Orang tak dikenal 9.9 1.2 4.8
Tidak diketahui 9.1 4.0 6.1
Semua responden yang diwawancara juga mengalami kekerasan dari orang yang
mereka kenal dengan baik yaitu suami, pacar dan ayah, ibu tiri. Bahkan ditemukan empat
responden yang sudah mengalami kekerasan sejak masih kanak-kanak. Kekerasan
tersebut berupa pengabaian anak. Dari kecil mereka sudah hidup terpisah dari orang tua,
dititipkan pada kerabat, tanpa mendapatkan perhatian dan dukungan financial yang
memadai dari orang tua kandungnya. Pengabaian ini memaksa mereka untuk hidup
dijalanan. Hidup dalam lingkungan yang sangat beresiko, membuat mereka mengalami
kekerasan dari lingkungannya diusia dini. Diperkosa oleh pacar / teman ( A 105, A102),
menjadi PSK (A102, A103) untuk membiayai hidup atau terjerat narkoba (A106) diusia
yang sangat muda, 15 tahun.
Responden A105 juga mengalami kekerasan dari komunitas ditempat ia tinggal.
Mempunyai anak tanpa ayah diusia 17 tahun, menggegerkan seluruh kampung.
Masyarakat pun memberikan stigma bermacam-macam. Para perempuan terutama para
istri mencap nya sebagai “perempuan penggoda”, “pengganggu suami orang”,
“perempuan gatel”.
... dekat pertigaan itu lho mbak, itu nuduh saya nyelingkuhin suaminya, waduh
parah mbak itu mbak. Aku dikatain macem-macem, diseret, ditamparin lho
mbak.!Bayangke saya sudah punya anak dikirain selingkuh. Dibilangi gatel
ngene ngene, padahal saya tu nggak pernah…(A105, Jogyakarta)
Sementara para laki-laki, baik yang beristri maupun yang belum, menganggapnya
sebagai perempuan kesepian, perempuan yang bisa “diajak” kencan, apalagi karena
mereka mengetahui bahwa responden, secara ekonomi tidak mampu.
... Pernah kok mbak, saya dibilang gini “yo, dolan karo aku” tetangga saya guru
lagi, dah punya anak dua gede gede kuliah lagi. Ngajakin saya kaya gitu “kowe
kan butuh duit nggo nguripi anakmu, nguripi mbahmu, penghasilanmu kan ora
cukup”. Pernah juga pas malem-malem ada yang gedor jendela kamar saya
sambil ngomong gini “butuh temen nggak? kademen to!” (A105)
Ketika responden A105, merelakan anaknya diadopsi oleh sebiah keluarga di
Jakarta pun, masyarakat menuduhnya menjual anak. Tuduhan semakin tajam karena
setelah itu responden berusaha menyelesaikan sekolahnya untuk mendapatkan ijasah
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
38
SMA di sebuah sekolah swasta. Responden dianggap tega ‘menjual’ anak supaya dapat
menyelesaikan sekolah.
Kekerasan juga terjadi di institusi dengan kebijakan yang tidak berpihak pada
korban. Kebijakan sekolah yang mengeluarkan siswinya karena hamil seperti yang
dialami oleh responden A105 dan A107, justru menambah beban bagi korban.
3. TEMPAT KEJADIAN
Kekerasan itu sebagian besar dilakukan di rumah (41%). Tempat yang seharusnya
menjadi yang paling aman bagi perempuan. Sangat disayangkan, 43,2% kartu status tidak
mencantumkan dimana lokasi kekerasan terjadi. Sehingga data ini kurang dapat
mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.
Tabel 5.5. Persentase tempat kejadian kekerasan
Tempat Kejadian RS Sukanto Panti Rapih Total
N 121 173 294
Rumah 62.0 27.2 41.5
Hotel 5.0 0.6 2.4
Tempat kerja 4.1 1.2 2.4
Tempat hiburan 0.8 0.6 0.7
Area pertanian 3.3 1.7 2.4
Tempat komersial 4.1 1.2 2.4
Kendaraan 0.8 0.3
Lainnya 3.3 2.9 3.1
Tidak diketahui 16.5 64.8 44.9
Dari hasil wawancara dengan responden, kekerasan juga sebagian besar terjadi di
rumah, namun ada pula responden yang mengalami kekerasan di luar rumah. Responden
A101, mengalami pemukulan oleh suami di jalan, suami juga sering kali membuat onar
di kantor responden. Responden B 107 mengalami pemukulan bertubi-tubi di sebuah
mall. Kekerasan yang dilakukan di tempat umum, dan disaksikan oleh banyak orang
dirasakan lebih menyakitkan bagi responden.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
39
Bab VI:
KEBIJAKAN SEKTOR KESEHATAN DALAM
PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN
Penelitian ini juga melakukan wawancara dan penelusuran dokumen mengenai
kebijakan sektor kesehatan dalam penangannan masalah kesehatan yang terkait dengan
kekerasan terhadap perempuan. Bab ini merupakan rangkuman dari hasil wawancara
dengan Kepala Subag Usia Produktif, Departemen Kesehatan RI serta Dinas Kesehatan
DI Yogyakarta.
KEBIJAKAN PAYUNG
Sampai saat ini, surat keputusan bersama tiga Menteri dan Kapolri tentang
Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak masih menjadi
satu-satunya kebijakan yang menjadi payung bagi pelayanan terpadu. Kepolisianlah yang
paling konsisten dalam melaksanakan kebijakan ini. Sistem komando yang berlaku dalam
institusi ini, mendukung terlaksananya sistem layanan terpadu korban kekerasan di semua
rumah sakit kepolisian di seluruh Indonesia.
Departemen kesehatan, justru mengalami banyak kendala dalam melaksanakan
kebijakan ini. Kendala yang banyak diungkapkan oleh pejabat berwenang adalah
diberlakukannya Otonomi daerah (OTODA). Kebijakan OTODA menyebabkan
umumnya rumah sakit dan puskesmas tidak lagi menjadi tanggung jawab departemen,
melainkan menjadi milik Pemda, sehingga kebijakan rumah sakit dan puskesmas
tergantung dari pemda masing-masing. Di beberapa daerah hal ini diperparah dengan
dijadikannya rumah sakit dan puskesmas sebagai sumber pendapatan daerah, dengan kata
lain, “orang sakit” justru mensubsidi “orang sehat”
Departemen Kesehatan sendiri sebenarnya juga telah membuat kebijakan
desentralisasi kesehatan ini dalam Kepmenkes RI No. 004/ Menkes/ SK/2003 mengenai
Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan. Di dalamnya terdapat 29
langkah kunci yang menentukan keberhasilan desentralisasi bidang kesehatan
Dalam desentralisasi kesehatan, tugas pemerintahan kabupaten/kota adalah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat di bidang kesehatan menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pengorganisasian upaya kesehatan di kabupaten/kota didasarkan pada
pembagian kewenangan yang telah ditetapkan dimana pemerintah kabupaten/kota
memiliki kewenangan desentralisasi yang luas.
Pelimpahan wewenang di bidang kesehatan dari pemerintah pusat kepada daerah
juga terjadi dalam bentuk dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Untuk melindungi segenap rakyat Indonesia agar dapat mendapatkan pelayanan
kesehatan yang terstandar di antara kabupaten-kabupaten/kota yang ada, maka
pemerintah telah menetapkan Urusan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan yang ditetapkan melalui SK Menkes RI No. 1457/Menkes/SK/X/2003.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
40
Standar Pelayanan Minimal adalah suatu standar dengan batas-batas tertentu
untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan
dengan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Beberapa karakteristik SPM adalah :
1. Menjamin akses dan kualitas pelayanan dasar kepada masyarakat
2. Diberlakukan untuk seluruh daerah kabupaten/kota
3. Merupakan indikator kinerja dan bukan standar teknis
4. Bersifat dinamis
5. Ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan dasar pada kewenangan
wajib.
UW-SPM ini terbagi 2 jenis yakni UW-SPM yang wajib diselenggarakan oleh
seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia dan UW-SPM yang hanya diselenggarakan
oleh kabupaten/kota tertentu sesuai dengan keadaan setempat.
UW-SPM yang wajib meliputi :
a. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar
b. Penyelenggaraan perbaikan gizi masyarakat
c. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan rujukan dan penunjang
d. Penyelenggaraan pemberantasan penyakit menular
e. Penyelenggaraan kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar
f. Penyelenggaraan promosi kesehatan
g. Pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif (Napza)
h. Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian
i. Penyelenggaraan pembiayaan dan jaminan kesehatan.
UW-SPM yang bersifat lokal spesifik, adalah UW-SPM yang disesuaikan dengan
keadaan setempat, misalnya : pelayanan kesehatan kerja dan pencegahan dan
pemberantasan penyakit tertentu (malaria, filariasis, dan kusta). Pemerintah
kabupaten/kota kemudian hendaknya menjabarkan UW-SPM ini di dalam kebijakan
pembangunan kesehatan di daerahnya.
Melihat hakekatnya, maka masalah kesehatan perempuan (termasuk di dalamnya
kekerasan terhadap perempuan) dapat ditempatkan dalam seluruh kegiatan UW-SPM
wajib. Pemerintah kabupaten/kota wajib memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi
perempuan korban kekerasan, wajib memberikan perbaikan gizi bagi perempuan,
menyediakan pelayanan kesehatan rujukan dan penunjang bagi perempuan korban
kekerasan, dan sebagainya.
SISTEM INFORMASI KESEHATAN
Dicatat dan dilaporkan merupakan salah satu kegiatan kunci yang mampu
meletakkan kekerasan terhadap perempuan sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Dengan masuknya kekerasan terhadap perempuan dalam sistem pencatatan dan pelaporan
resmi dari departemen kesehatan, maka besarannya akan terlihat dan kaitannya dengan
kesehatan perempuan dan anak dapat dijelaskan. Departemen Kesehatan sendiri
mempunyai sistem pencatatan dan pelaporan secara nasional yang disebut Sistem
Informasi Kesehatan.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
41
Sistem Informasi Kesehatan didefinisikan sebagai suatu sistem yang menyediakan
dukungan informasi bagi proses pengambilan keputusan di setiap jenjang administrasi
kesehatan, baik di tingkat unit pelaksana maupun upaya kesehatan, di tingkat
kabupaten/kota, di tingkat propinsi, maupun di tingkat pusat.
SIK merupakan bagian dari sistem kesehatan. SIK Nasional (SIKNAS) dibangun
dari himpunan atau jaringan sistem-sistem informasi kesehatan propinsi dan sistem
informasi kesehatan propinsi dibangun dari himpunan atau jaringan-jaringan sistem
informasi kesehatan kabupaten/kota. Hal ini sesuai dengan lampiran dari kepmenkes
No.468/2001 tentang kebijakan dan strategi pengembangan sistem informasi kesehatan
nasional (SIKNAS) yang menyebutkan bahwa SIKNAS pada hakekatnya merupakan
agregat dari semua SIKDA.
Pada awal-awal desentralisasi muncul berbagai keluhan mengenai lumpuhnya
sistem pencatatan dan pelaporan kesehatan. Banyak daerah yang tidak merasa wajib lagi
untuk mengirimkan laporan kegiatan kesehatan ke tingkat propinsi dan pusat. Disamping
itu, otonomi daerah dan UW-SPM bidang kesehatan memungkinkan daerah memiliki
format laporan yang berbeda-beda sesuai dengan masalah lokal yang dihadapi. Saat ini
Depkes tengah berupaya untuk mengembangkan SIK.
Pelaporan kesehatan di kabupaten/kota dimulai dari laporan bidan desa, pustu dan
posyandu. Di puskesmas, data-data ini kemudian di rekapitulasi bersama sama data dari
fasilitas kesehatan dan data cakupan kegiatan lainnya (dalam gedung dan diluar gedung).
Laporan ini kemudian sebelum tanggal tertentu tiap bulannya sudah harus dikirim ke
dinas kesehatan kabupaten/kota. Format pelaporan puskesmas menggunakan format
pelaporan SP2TP (Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Tingkat Puskesmas/SP3).
Di tingkat kabupaten/kota, rumah sakit umum juga mengirimkan laporan ke dinas
kesehatan kabupaten/kota setiap bulannya. Untuk laporan tiap triwulan dan semester juga
dikirim ke Dirjen Yanmed dan Dinas Kesehatan Propinsi. Sistem pencatatan dan
pelaporan di RS di sebut SP2RS.
Keseluruhan laporan ini kemudian direkap oleh dinas kesehatan kabupaten/kota
dan dalam periode waktu tertentu di kirim ke dinas kesehatan propinsi. Untuk laporan
program, selain dikirim ke propinsi juga dikirim ke tiap program di Depkes Pusat. Rumah
sakit propinsi disamping mengirimkan laporan ke Ditjen Yanmed Depkes juga
mengirimkan laporan ke dinas kesehatan propinsi.
Walaupun sudah ada kesepakatan bersama tiga menteri termasuk Menteri
Kesehatan, kenyataannya data kasus kekerasan terhadap perempuan tidak masuk dalam
sistem pelaporan rumah sakit, sehingga juga tidak terekam di dalam sistem informasi
kesehatan.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
42
Bab VII:
KESIMPULAN
• Kekerasan terhadap perempuan, berada dibalik ‘kesakitan’ perempuan
yang diteliti. Kekerasan pun terjadi dalam berbagai bentuk dan derajat. Mulai dari
pemukulan hingga percobaan pembunuhan. Tidak semua kekerasan terdeteksi oleh
petugas kesehatan, sehingga masalah “kesakitan” perempuan dilihat sebagai kejadian
tunggal.
• Organ vital seperti kepala, wajah dan organ genital merupakan organ
tubuh yang paling sering menjadi sasaran kekerasan. Bagian wajah yang paling sering
mengalami kekerasan adalah mata padahal mata adalah jaringan lunak penuh dengan
pembuluh darah dan pembeluh syaraf yang paling tidak terlindungi. Penyerang
mempunyai kecenderungan untuk menyerang bagian tubuh yang paling melemahkan
dan atau bagian tubuh yang paling penting bagi identitas atau citra diri perempuan.
• Kehamilan tidak membuat perempuan menjadi terhindar dari kekerasan.
Hampir semua responden yang mengalami kekerasan fisik, mengalami kekerasan
fisik juga di masa kehamilannya. Sasaran kekerasan langsung pada perut responden.
• ‘Kesakitan’ perempuan muncul dalam berbagai derajat, dari yang paling
ringan hingga yang fatal seperti HIV/AIDS. ‘Kesakitan’ perempuan muncul dalam
bentuk akut maupun kronis. Kesakitan kronis sering kali luput dari pengamatan
petugas kesehatan karena tidak adanya program “follow up”. ‘Kesakitan’ perempuan
dapat berupa kesakitan fisik maupun psikplogis.
• Kesakitan perempuan baik fisik maupun fisik, secara nyata menurunkan
kualitas hidup perempuan. Secara fisik menimbulkan kelainan bahkan kecacatan yang
menghambat dalam melakukan kegiatan atau pekerjaanya, bersosialisasi dengan
lingkungan, bahkan tidak mampu menjalankan hobinya.
• Instrumen yang saat ini dipergunakan di kedua rumah sakit, masih belum
mampu mendata semua masalah kesehatan yang ada dan kekerasan yang
melatarbelakanginya. Hal ini menyebabkan kaitan masalah kesehatan dengan
kekerasan tidak mampu diangkat dan disuarakan.
• Penelitian ini menemukan kesakitan perempuan akibat kekerasan yang
tidak pernah dilaporkan, tidak pernah meminta pertolongan medis, sehingga secara
resmi kasus-kasusnya tidak tercatat. Ini merupakan indikasi “puncak gunung es”.
Banyaknya kasus yang masih terbenam di masyarakat menunjukkan tidak adanya
sistem yang mampu memberdayakan perempuan untuk mengungkapkan peristiwa
kekerasan yang dialami, mencari pertolongan atas masalah kesehatan yang dihadapi,
mendapatkan akses ke pelayanan yang dibutuhkan. Di sisi lain tidak ada kebijakan
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
43
hingga tingkat pelayanan yang mampu mendorong pelayanan bagi perempuan korban
kekerasan.
• Belum ada sistem pencatatan dan pelaporan yang komprehensif baik dari
sektor kesehatan maupun dari sektor lain. Sehingga angka kesakitan dan angka
kematian akibat tindak kekerasan terhadap perempuan tidak dapat tercatat dengan
baik.
• Adanya institusi yang menolak untuk melakukan kerjasama dalam
penelitian ini menunjukkan belum ada kesamaan paham dan kebutuhan mengenai
pentingnya mengangkat masalah kesehatan dan kekerasan terhadap perempuan demi
kepentingan kelompok yang selama ini didampingi.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
44
Bab VIII:
Rekomendasi
1. Diperlukan strategi untuk mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan sebagai
isu kesehatan masyarakat. Penelitian ini sudah bisa menjadi data dasar yang
mengungkapkan masalah kekerasan dibalik ‘kesakitan’ perempuan. Namun perlu
dilakukan surveilans yang mencakup wilayah kerja, dan jumlah kasus, sehingga
dapat memberikan gambaran secara nasional. Kerjasama dengan berbagai pihak
seperti Departemen Kesehatan, Kepolisian, BPS dan LSM bisa dibangun untuk
mendapatkan gambaran yang lebih luas mengenai masalah ini.
2. Selain angka kesakitan (morbiditas), perlu juga dicari angka kematian akibat
kekerasan. Kedua angka ini penting untuk menunjukkan derajat keseriusan suatu
masalah kesehatan masyarakat. Maka perlu dibangun sistem pencatatan dan
pelaporan yang komprehensif dari semua pihak yang menangani kasus kekerasan
terhadap perempuan. Perlu dibangun pemahaman antar lembaga yang bergerak
dalam pendampingan korban kekerasan mengenai masalah kesehatan yang
ditimbulkan, sehingga data kesehatan tidak terabaikan, bisa dimanfaatkan dan
dibangun pusat data terpadu.
3. Perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai dampak ekonomi bagi negara akibat
menurunnya kualitas kesehatan perempuan akibat kekerasan
4. Perlu dibangun kerangka stretegi advokasi untuk mendorong terjadinya produkproduk
kebijakan yang memperhatikan hak korban termasuk penanganan masalah
kesehatan yang dialaminya.
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
45
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, 2003
Indonesia Demographic and Health Survey, Badan Pusat Statistik, Jakarta
Bradley C, 1997
Why Male Violence against Women is a Developmet Issue : Reflection from
Papua New Guine. Dalam Davies M. Women and Violence, 1997. Zed Book,
London: hlm. 10 – 27
Brasse V. Et al., 2000
Conference Report: Domestic Violence, A Health Response: Working in a Wider
Partnership. Department of Health United Kingdom, London: 60 hlm
Creswell J.W., 1994
Research Design: Qualitative and Quantitative Approachs. SAGE Publication,
USA: xix + 228 hlm
Davies M, 1997
Women and Violence, Zed Book Ltd, London: 264 hlm
Draucker C.B, 2002
Domestic violence: the challenge for nursing, Online Journal of Issues in Nursing,
Vol. 7, No. 1, January, 2002,
http://www.nursingworld.org/ojin/topic17/tpc17_1.htm
Dyarsi M, 2001
Layanan Yang Berpihak. Komnas Perempuan, Jakarta: xii + 90 hlm
Hakimi M, et al, 2001
Membisu Demi Harmoni, “Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan
di Jawa Tengah, Indonesia”.LPKGM-FK-UGM, Yogyakarta: xvi + 106 hlm.
Heise L.L., et al., 1994
Violence Against Women: The Hidden Health Burden. World Bank, Washington
D.C.: ix + 72 hlm.
_______, 1999
Violence against women, Population Report, Vol. XXVII, Number 4, Desember,
1999
Indonesia, Departemen Kesehatan , 2000
Informasi Kesehatan Reproduksi : Pedoman Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta : iii + 31 hlm
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
46
Indonesia, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial , 2000
Profil Kesehatan Reproduksi: Pengarus-utamaan Jender dalam Bidang
Kesehatan. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta : v + 49 hlm
Krug E.G, 2002
World Report on violence and health, WHO, Geneva
Komnas Perempuan, 2002
Peta kekerasan, pengalaman perempuan Indonesia. Komnas Perempuan, Jakarta:
344 hlm.
Miles M., Huberman A.M., 1992
Analisis Data Kualitatif. terj. Rohidi T.R. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta:
xvi + 491 hlm.
Rifka Annisa WCC, 2002
Laporan Data Kasus tahun 2001, Rifka Annisa WCC, Yogyakarta
Semler V, et al, 2001
Hak-hak Asasi Perempuan, Sebuah panduan konvensi-konvensi utama PBB
tentang hak asasi perempuan, terj. Embun, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta:
xii + 153 hlm
Surjadi Charles, 2000
Aplikasi kesehatan masyarakat pada masalah kekerasan rumah tangga, Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Universitas Katolik Atmadjaya
United Nation,_______
Strategies for confronting domestic violence : a resource manual, United Nation,
New York
UNFPA, 2001
A Practical Approach to Gender-Based Violence: A Programme Guide for Healt
Care Provider & Manager, UNFPA, New York
WHO, 1993
Strategies for domestic violence : a resource manual, United Nation
_____, 1996
Privention of violence : a public health priority, WHA49.25,WHO
_____, 1997
Violence against women : apriority helath issue, WHO
Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan
47
_____, 1997
Prevention of violence, WHA50.19, WHO
_____, 2002
Violence and health, EB109/15, WHO
_____, 2002
World Report on Violence and Health, WHO
_____, 2003
Suggestion for participating in the global campaign for violence prevention,
WHO
Alamat korespondensi peneliti :
Ririn Habsari drg, Mkes
harsa_ririn@yahoo.com
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt