watch sexy videos at nza-vids!




24/04/24
[ 1: 1: 807 ]
Mobilize your web site

misteri dibalik kesaktian perempuan
mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt MENGUAK MISTERI DI BALIK KESAKITAN PEREMPUAN KAJIAN DAMPAK KEKERASAN TERHADAP STATUS KESEHATAN PEREMPUAN DI PROPINSI DKI JAKARTA DAN PROPINSI DI JOGYAKARTA 2005 RIRIN HABSARI, drg, MKes HARIMAT HENDARWAN, dr, MKes KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2006 Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan i DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii BAB I : Pendahuluan ................................................................................... 1 BAB II : Kajian Literatur ................................................................................ 3 BAB III : Menemukan Perempuan Yang Tersakiti ....................................... 10 BAB IV : Mendengarkan kesakitan Perempuan ............................................. 18 BAB V : Ada Apa Di Balik “Kesakitan” Perempuan? .................................. 33 BAB VI : Kebijakan Sektor Kesehatan Dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan ....................................................... 39 BAB VII : Kesimpulan ...................................................................................... 42 BAB VIII : Rekomendasi ..................................................................................... 44 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45 Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan ii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Penunjukan dari Komnas Perempuan Lampiran 2 : Etical Clearance Lampiran 3 : Surat untuk responden Lampiran 4 : Formulir informed concent Lampiran 5 : Formulir Responden untuk LSM Lampiran 6 : Formulir data responden Lampiran 7 : Panduan wawancara survivor Lampiran 8 : Panduan wawancara DPR /DPRD Lampiran 9 : Panduan wawancara Kepolisian Lampiran 10 : Panduan wawancara Depkes Lampiran 11 : Panduan wawancara Dinkes Lampiran 12 : Instrumen data kartu status RS Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 1 Bab I : Pendahuluan Akhir-akhir ini masalah kekerasan terhadap perempuan telah mulai banyak diungkapkan. Beberapa perempuan telah berani melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak yang berwajib. Sebagian kecil lagi berani menampilkan dirinya secara terbuka di hadapan publik dan memberikan testimoni mengenai kekerasan yang dialaminya. Beberapa publik figur menjadi “ikon” dan juru bicara kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, karena mereka mengalami kekerasan secara langsung. Namun jika diamati dengan seksama, walaupun media dengan gencar memberitakan kekerasan terhadap perempuan, masalah ini masih ditempatkan sebagai masalah kriminal saja, tidak terlihat keberpihakan pada korban, malah cenderung melakukan eksploitasi pada korban. Sampai saat ini, media sangat jarang menyajikan kajian yang cerdas mengenai kekerasan terhadap perempuan yang berpihak pada korban dan melihat keterkaitannya terhadap masalah-masalah sosial lainnya. penerimaan masyarakat dan media terhadap masalah kekerasan Hal tersebut juga merupakan gambaran dari masyarakat kita yang melihat kekerasan hanyalah masalah kriminal saja, bagi keluarga yang tertimpa seringkali malah dianggap sebagai aib yang perlu ditutupi. Para pembuat kebijakan juga tidak luput dari cara pandang ini. Kekerasan terhadap perempuan dilihat sebagai kejadian tunggal, seolah-oleh tidak ada kaitannya dengan hal-hal lain, seperti sosial, ekonomi, politik dan budaya. Padahal kenyataannya tidak lah demikian. Kekerasan terhadap perempuan sangat terkait dengan banyak hal, dan dapat memberikan dampak buruk baik bagi perempuan itu sendiri, keluarga, masyarakat dan negara. Dampak buruk bagi perempuan yang secara langsung dan segera terjadi salah satunya adalah kesehatan perempuan. Laporan WHO tahun 2002 mengenai “Violence and Health” menunjukkan bahwa kualitas kesehatan perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya (WHO, 2002). Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di berbagai negara yang mengakibatkan menurunnya status kesehatan perempuan WHO sendiri mengeluarkan beberapa dokumen yang berkaitan dengan kekerasan dan kesehatan diantaranya : - World Health Assembly Resolution 49.25 yang menyatakan bahwa : o Kekerasan adalah masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh dunia o Pencegahan kekerasan adalah prioritas kesehatan masyarakat (WHO,1996) - World Health Assembly Resolution 50.19 mengenai Pencegahan Kekerasan. Dalam dokumen ini mendorong untuk segera dibuatnya Rencana Aksi yang terintegrasi untuk pencegahan kekerasan dan kesehatan (WHO, 1997). - EB109/15 yang merupakan agenda WHO untuk menindaklanjuti WHA 49.25, WHA50.19 untuk membuat Laporan tentang kekerasan dan kesehatan (WHO,2001). Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 2 - Di tahun 2002, WHO secara khusus mengeluarkan laporan mengenai kekerasan dan kesehatan. Kekerasan terhadap perempuan dapat berdampak fatal berupa kematian, upaya bunuh diri dan terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan juga dapat berdampak non fatal seperti gangguan kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan mental, perilaku tidak sehat serta gangguan kesehatan reproduksi. Baik dampak fatal maupun non fatal, semuanya menurunkan kualitasa hidup perempuan. ( Heise, 1999) Penelitian ini dilakukan untuk membuat kekerasan terhadap perempuan dan masalah kesehatan yang diakibatnya menjadi ber’wajah’ bukan hanya asumsi, tetapi secara nyata menunjukkan keterkaitan antara kekerasan dan masalah kesehatan yang diakibatkan. Data mengenai kekerasan terhadap perempuan tersebar di berbagai lembaga yang mendampingi perempuan, data mengenai kesehatan perempuan juga banyak ditemui di pusat pelayanan kesehatan. Tetapi seolah-olah kedua data tersebut tidak terkait satu sama lain. Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan keterkaitan antara kesehatan dan kekerasan. Dalam penelitian ini, peneliti sengaja menggunakan terminologi ‘kesakitan’ daripada kesehatan, karena memang kesakitanlah yang ditemui, selain kesakitan juga bermakna sebagai morbiditas. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 3 BABAB II: KAJIAN LITERATUR: “Kesakitan” Perempuan dan Kekerasan Terhadap Perempuan Batasan sehat dan sakit Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992 memberikan batasan tentang kesehatan sebagai : Keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi Batasan itu diadopsi dari batasan kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu : Kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial dan tidak hanya terbebas dari penyakit dan cacat. Jika kedua batasan tersebut dibandingkan, batasan kesehatan di UU Kesehatan No. 23 tahun 1992, lebih luas dan lebih dinamis. Jika batasan kesehatan menurut WHO hanya mencakup 3 dimensi yakni fisik, mental dan sosial, batasan kesehatan dalam UU Kesehatan RI mencakup 4 dimensi yakni fisik (badan), mental (jiwa), sosial dan ekonomi (Soekidjo, 2000) Itu berarti bahwa kesehatan seseorang tidak dapat diukur hanya dari kondisi fisik, mental dan sosialnya saja, namun juga harus diukur produktifitasnya, dalam arti apakah ia mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Bagi anak dan remaja yang belum memasuki usia kerja, dan mereka yang telah memasuki masa pensiun atau usila, produktifitas yang diukur adalah produktifitas secara sosial. Produktifitas sosial yang dimaksud adalah bersekolah bagi anak dan remaja usia sekolah dan kegiatan layanan sosial bagi usila. Keempat dimensi kesehatan ini saling kait mengkait dalam mewujudkan tingkat kesehatan individu, kelompok ataupun masyarakat. Jadi kesehatan bersifat holistik yang mencakup keempat dimensi tersebut (Soekidjo, 2000). Indikator dari keempat dimensi kesehatan tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain adalah: 1. Kesehatan Fisik : seseorang tidak merasa sakit dan secara klinik terbukti tidak sakit, tidak ada gangguan fungsi tubuh, dan seluruh organ-organ tubuh berfungsi normal 2. Kesehatan Mental: mencakup 3 komponen yaitu pikiran, emosional dan spiritual: a. Pikiran yang sehat dapat dilihat dari kemampuan untuk berpikir logis dan koheren b. Emosional seseorang dapat dikatakan sehat jika ia mampu mengekspresikan emosinya c. Spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang mengekspresikan rasa syukur, pujian dan mampu menjalin relasi dengan Sang Pencipta Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 4 3. Kesehatan Sosial: seseorang mampu menjalin relasi dengan orang lain ataupun kelompok tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama atau keperayaan, status sosial, ekonomi, politik, saling menghargai dan toleransi. 4. Kesehatan dari aspek ekonomi: jika seseorang (usai kerja) produktif, mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong secara financial terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya. Bagi anak, remaja dan usila, setidaknya mereka mempunyai kegiatan yang bermanfaat nantinya seperti bersekolah (anak dan remaja) atau berkegiatan sosial (usila) Batasan kesehatan menurut Undang – Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 inilah yang dipakai dalam penelitian ini. Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatan kesehatan melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat. Paragraf di atas adalah sebuah definisi yang sudah sangat kuno dari Winslow (1920) tetapi masih relefan dan masih dipergunakan sampai sekarang. Dalam definisi ini kekhasan dari kesehatan masyarakat adalah adanya “unsur pencegahan” dan “pengorganisasian masyarakat”. Kedua hal tersebutlah yang membedakannya dengan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran lebih menitik beratkan pada kesehatan individu, menyembuhkan penyakit, bersifat kuratif. Keberhasilan seorang dokter dinilai dari kesembuhan pasien yang ditangani, sedangkan keberhasilan kesehatan masyarakat adalah bila kesejahteraan masyarakat meningkat. Indikator kesehatan masyarakat adalah morbiditas (angka kesakitan penduduk) dan mortalitas (angka kematian penduduk). Kesehatan masyarakat lebih memfokuskan pada pencegahan masalah kesehatan dan pengembangan untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik dan aman bagi seluruh rakyat, tanpa mengabaikan pelayanan kesehatan individual. Pencegahan masalah kesehatan dimulai dari membuat gambaran besaran dan dampak dari masalah tersebut pada masyarakat. Kesehatan perempuan dalam visi Indonesia Sehat 2010 Departemen Kesehatan telah menetapkan Indonesia Sehat 2010 sebagai visi yang hendak dicapai. Untuk itu telah ditetapkan pula berbagai indikator kesehatan yang mengacu pada pencapaian visi tersebut. Terdapat 50 indikator Indonesia Sehat 2010 yang rinciannya dapat dilihat pada tabel berikut : Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 5 Tabel 2.1: Indikator Indonesia Sehat 2010 INDIKATOR TARGET 2010 MORTALITAS 1. Angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup 40 2. Angka kematian balita per 1000 kelahiran 58 3. Angka kematian ibu melahirkan per 100.000 KH 150 4. Angka harapan hidup waktu lahir 67,9 MORBIDITAS 5. Angka kesakitan malaria per 1000 penduduk 5 6. Angka kesembuhan penderita Tb paru BTA (+) 85 7. Prevalensi HIV (persentase kasus terhadap penduduk beresiko) 0,9 8. Angka ”Acute Flaccid Paralysis” (AFP) pada anak usia < 15 tahun per 100.000 anak 0,9 9. Angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) per 100.000 penduduk 2 STATUS GIZI 10. Persentase balita dengan gizi buruk 15 11. Persentase kecamatan bebas rawan gizi 80 KEADAAN LINGKUNGAN 12. Persentase rumah sehat 80 13. Persentase tempat-tempat umum sehat 80 PERILAKU 14. Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat 65 15. Persentase posyandu purnama dan mandiri 40 AKSES DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN 16. Persentase penduduk yang memanfaatkan puskesmas 15 17. Persentase penduduk yang memanfaatkan RS 1,5 18. Persentase sarana kesehatan dengan kemampuan laboratorium kesehatan 100 19. Persentase RS yang menyelenggarakan 4 pelayanan kesehatan spesialis dasar 100 20. Persentase obat generik berlogo dalam persediaan obat 100 PELAYANAN KESEHATAN 21. Persentase persalinan oleh tenaga kesehatan 90 22. Persentase desa yang mencapai „Universal Child Immunization“ (UCI) 100 23. Persentase desa terkena Kejadian Luar Biasa (KLB) yang ditangani < 24 jam 100 24. Persentase ibu hamil yang mendapat tablet Fe 80 25. Persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif 80 26. Persentase murid sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah yang mendapat pemeriksaan gigi dan mulut. 100 27. Persentase pekerja yang mendapat pelayanan kesehatan kerja 80 28. Persentase keluarga miskin yang mendapat pelayanan kesehatan 100 SUMBER DAYA KESEHATAN 29. Rasio dokter per 100.000 penduduk 40 30. Rasio dokter spesialis per 100.000 penduduk 6 31. Rasio dokter keluarga 1000 keluarga 2 32. Rasio dokter gigi per 100.000 penduduk 11 33. Rasio apoteker per 100.000 penduduk 10 34. Rasio bidan per 100.000 penduduk 100 35. Rasio perawat per 100.000 penduduk 117,5 36. Rasio ahli gizi per 100.000 penduduk 22 37. Rasio ahli sanitasi per 100.000 penduduk 40 38. Rasio ahli kesehatan masyarakat per 100.000 penduduk 40 39. Persentase penduduk yang menjadi peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan 80 40. Rata-rata persentase anggaran kesehatan dalam APBD kabupaten/kota 15 41. Alokasi anggaran kesehatan pemerintah perkapita pertahun (ribuan rupiah) 100 MANAJEMEN KESEHATAN 42. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai dokumen sistem keluarga 100 43. Persentase kabupaten/kota yang memiliki ”Contingensi Plan” untuk masalah kesehatan akibat bencana. 100 44. Persentase kabupaten/kota yang membuat profil kesehatan 100 45. Persentase propinsi yang melaksanakan surkesda 100 46. Persentase propinsi yang mempunyai ” Provincial Health Account” 100 KONTRIBUSI SEKTOR TERKAIT 47. Persentase keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih 85 48. Persentase Pasangan Usia Subur yang menjadi akseptor Keluarga Berencana 70 49. Angka kecelakaan lalu lintas per 100.000 penduduk 10 50. Persentase penduduk yang melek huruf 95 Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 6 12 Indikator Indonesia Sehat yang terkait langsung dengan kesehatan perempuan 1. Angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup 2. Angka kematian balita per 1000 kelahiran 3. Angka kematian ibu melahirkan per 100.000 KH 4. Angka harapan hidup waktu lahir 5. Persentase Pasangan Usia Subur yang menjadi akseptor Keluarga Berencana 6. Persentase ibu hamil yang mendapat tablet Fe 7. Persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif 8. Persentase persalinan oleh tenaga kesehatan 9. Persentase balita dengan gizi buruk 10. Persentase kecamatan bebas rawan gizi 11. Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat 12. Prevalensi HIV (persentase kasus Dalam konsep kesehatan berbasis keluarga, perempuan khususnya ibu menjadi tonggak utama yang memegang peranan penting bagi tercapainya kehidupan keluarga yang bersih dan sehat. Setidaknya ada 12 indikator Indonesia Sehat 2010 yang terkait langsung dengan keberadaan perempuan, khususnya 4 indikator mortalitas (angka kematian bayi, angka kematian balita, angka kematian ibu melahirkan dan angka harapan hidup waktu lahir). Keempat indikator tersebut juga merupakan indikator penting dalam menentukan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks) yang menentukan tingkat kemakmuran suatu bangsa. Batasan kekerasan terhadap perempuan a. Kekerasan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), kekerasan adalah: Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, kekerasan juga dapat berarti paksaan. (Balai Pustaka,1995:485) Dapat disimpulkan bahasa Indonesia mengartikan kekerasan hanya sebatas fisik saja. b. Kekerasan berbasis gender / kekerasan terhadap perempuan Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) pada sidangnya yang ke 11 tahun 1992 mengeluarkan Rekomendasi Umum No.19 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Dalam rekomendasi ini dinyatakan bahwa “kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan wanita untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas suatu dasar kesamaan hak dengan laki-laki” (LBH APIK, tanpa tahun). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 7 Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women,1979) dengan UU No.7. tahun 1984. Pada saat diselenggarakannya Konferensi Dunia tentang HAM di Wina tahun 1993, masalah kekerasan terhadap perempuan muncul kembali ke permukaan. Enam bulan kemudian, masih di tahun 1993, PBB mengeluarkan Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (The Declaration on the Elimination of Violence Against Women) Pasal 1 Deklarasi menyatakan : Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. Pasal 2 Deklarasi menyatakan : “kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada: tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), perusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya. Definisi ini juga disepakati dalam suatu pertemuan kelompok ahli WHO, pada bulan Februari 1996 untuk diadopsi sebagai kerangka acuan kegiatan organisasi (WHO Fact Sheet No.239, 2000: 1) Komnas Perempuan memberikan batasan kekerasan perempuan sebagai : Segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat, atau berkecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan secara fisik, seksual maupun psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk di dalamnya ancaman, pemaksaan maupun secara sengaja mengungkung kebebasan perempuan. (Dyarsi dkk, 2001) Pada tahun 2004, Indonesia mensahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam UU itu disebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 8 ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawa hukum dalam lingkup rumah tangga. Penyebab kekerasan Guna menjelaskan penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri, para peneliti menggunakan “model ekologi” yang diadaptasi dari Heise (1999). Model ini menggambarkan keterkaitan antara faktor individu, situasional, dan sosial budaya yang menyebabkan terjadinya kekerasan. Pada model ini, kekerasan terhadap istri merupakan hasil dari interaksi faktor-faktor di tingkatan lingkungan sosial yang berbeda (Heise,1999: 8). Model ekologi digambarkan sebagai 4 lingkaran konsentrik. Lingkaran terdalam menggambarkan riwayat biologis dan personal tiap individu yang mempengaruhi perilaku dalam menjalin hubungan. Lingkaran kedua menggambarkan lokus kejadian kekerasan, seringkali di dalam keluarga atau hubungan intim lainnya. Lingkaran ketiga mewakili institusi dan struktur sosial baik formal maupun informal, di mana ikatan terjalin seperti tetangga, tempat kerja, jaringan sosial, atau kelompok sebaya. Lingkaran keempat atau lingkaran terluar mewakili situasi ekonomi sosial, termasuk norma budaya (Heise, 1999: 8). Diagram 2.1 Model ekologi dari faktor-faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan Sumber : Heise , 1999: 8 Individu Masyarakat Lingkungann Hubungan -Norma yang menerima perilaku pria dalam mengendalikan perempuan -Norma yang menerima kekerasan sebagai suatu cara untuk menyelesaikan konflik -Anggapan bahwa kejantanan berhubungan dominasi dan agresi - Peran gender yang kaku -Kemiskinan, sosek rendah dan pengangguran - Kelompok sebaya yang berperilaku menyimpang - Pengasingan perempuan dalam keluarga dan lingkungannya - Konflik perkawinan - Kontrol pria dalam harta dan pengambilan keputusan dalam keluarga -Kebanggaan sebagai laki-laki -pernah menyaksikan kekeran terhadap perempuan di masa kecilnya -Tidak ada figur ayah -Mengalami kekerasan di masa kanak-kanak -Penggunaan alkohol IV III II I Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 9 Dampak kekerasan terhadap kesehatan perempuan Dampak kekerasan terhadap perempuan dapat dikategorikan menjadi fatal dan non fatal. Kekerasan dianggap berdampak fatal jika terjadi kematian, bunuh diri serta inveksi HIV/AIDS (diagram 2.4.) . Dampak kekerasan pada kesehatan fisik, mental, reproduksi, serta kondisi kronis dan perilaku tidak sehat yang tidak menimbulkan kematian dimasukkan dalam non fatal (Heise,1999: 18). Diagram 2.1. :Dampak kekerasan terhadap Perempuan Kekerasan terhadap perempuan Fatal Non-fatal -Bunuh diri -Kematian Ibu -Inveksi HIV/AIDS Kesehatan Fisik Kondisi Kronis Kesehatan mental -Luka -Gejala fisik -Kecacatan -Obesitas lanjut -Nyeri kronis -Gangguan gastrointestinal -Keluhan somatik -Fibromialgia -Stres pasca trauma -Depresi -Kecemasan -Phobia -Gangguan pola makan -Disfungsi seksual -Rendah diri Perilaku tidak sehat Kesehatan Reproduksi -Merokok -Alkohol -Obat terlarang -Seks bebas -Makan berlebihan -Malas bergerak -Kehamilan tdk diinginkan -IMS/HIV -Gangguan genekologi -Aborsi tdk aman -Komplikasi kehamilan -Keguguran / BBLR -PID Sumber: Heise, 1999:18 Berdasarkan laporan WHO, di tahun 2000, diperkirakan 1.6 juta orang di seluruh dunia atau 28,8 orang per 100.000 populasi, meninggal karena kekerasan. Separuh dari jumlah itu meninggal akibat bunuh diri, sepertiganya karena homicide dan seperlimanya akibat peperangan. (WHO, 2002) Beberapa penelitian yang dikutip dalam laporan WHO juga disebutkan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan menjadi lebih sering berkunjung ke layanan gawat darurat, mengeluarkan biaya untuk pengobatan, lebih jarang memeriksakan kehamilan. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 10 BABAB III: Tujuan dan Metode: MENEMUKAN PEREMPUAN YANG TERSAKITI Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menggambarkan berbagai macam masalah kesehatan yang disebabkan oleh kekerasan terhadap perempuan 2. Menggambarkan kontribusi kekerasan perempuan terhadap status kesehatan perempuan 3. Menggambarkan perkiraan biaya dan kerugian yang ditanggung perempuan akibat kekerasan yang dialaminya 4. Menggambarkan faktor yang terkait dengan penurunan status kesehatan perempuan akibat kekerasan yang dialaminya Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di propinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Propinsi DKI Jakarta dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan ibu kota negara dengan penduduk yang sangat heterogen dan terdapat rumah sakit yang memberikan pelayanan pada perempuan korban kekerasan. Diharapkan data yang terkumpul dari kota ini akan cukup bervariasi. Dari dua rumah sakit yang dipilih untuk mengikuti penelitian hanya satu rumah sakit yang bersedia yaitu Rumah Sakit Kepolisian RS Sukanto, Kramat Jati. Propinsi DI Yogyakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena LSM perempuan di propinsi inilah yang mempelopori layanan kepada perempuan korban kekerasan bekerja sama dengan rumah sakit dan lembaga-lembaga lain. Rumah Sakit Panti Rapih, merupakan rumah sakit pertama di Yogyakarta dan juga di Indonesia yang pertama kali mendirikan layanan khusus bagi korban kekerasan pada perempuan. Rumah sakit ini dipilih dan bersedia untuk turut serta dalam penelitian ini. Waktu Penelitian Penelitian ini dimulai sejak bulan Juni 2005 sampai dengan Februari 2006. Ethical Clearance Subyek penelitian ini adalah perempuan dan mengangkat isu yang sangat sensitif yaitu kekerasan dan masalah kesehatan. Sesuai dengan etika penelitian, semua penelitian yang melibatkan manusia sebagai subyek penelitian wajib mendapatkan ethical clearance, maka peneliti mengajukan permohonan ethical clearance ke Komite Etik Riset Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan sebagai institusi yang paling berwenang. Pada tanggal 14 Nopember 2005, melalui surat No: KS.02.01.2.1.3140 yang ditandatangani oleh Dr. Liliana Kurniawan, M.Sc., DTMH, selaku Kepala Komite Etik Penelitian Kesehatan, penelitian ini mendapatkan ethical clearance. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 11 Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam pada perempuan yang mengalami masalah kesehatan serta didukung pendekatan kuantatif dari analisi kartu status dari pusat layanan korban kekerasan di Rumkit RS Sukanto (Jakarta) dan Rumkit Panti Rapih. Pendekatan kualitatif 1. Inklusi kriteria responden Responden dalam penelitian ini dibatasi dengan inklusi kriteria sebagai berikut: - Perempuan usia produktif antara 15 – 49 tahun - Mempunyai minimal salah satu dari masalah kesehatan di bawah ini :  Positif HIV/AIDS  Gangguan kesehatan fisik : (Luka-luka, cacat, obesitas lanjut)  Gangguan kesehatan reproduksi : (kehamilan tidak diinginkan , aborsi tidak aman, infeksi menular seksual, keguguran, komplikasi kehamilan, BBLR, infeksi panggul)  Gangguan kesehatan mental : (stress pasca trauma, depresi, kecemasan, phobia, gangguan pola makan, disfungsi seksual, rendah diri)  Kondisi kronis : (Nyeri kronis, gangguam gastrointestinal, keluhan somatik, fibromalgia)  Perilaku tidak sehat : ( kecanduan rokok, alkohol dan obat terlarang; seks bebas; makan berlebih, malas bergerak) - Pernah mengalami kekerasan 2. Pemilihan responden Strategi awal pemilihan responden adalah dengan melakukan pendekatan pada LSM-LSM yang selama ini dikenal melakukan pendampingan – pendampingan pada korban kekerasan. Setelah melakukan pendekatan informal dan formal dengan mengirimkan surat, proposal, panduan wawancara dan surat penunjukkan dari Komnas Perempuan, ternyata peneliti tidak mendapatkan ijin untuk mewawancara langsung para survivor. Dua LSM di Yogyakarta yang dihubungi, mempunyai kebijakan yang sama mengenai akses kepada korban. Dikatakan bahwa LSM mempunyai kebijakan untuk tidak memberikan ijin mewawancara survivor. Beberapa alasan dikemukakan diantaranya: survivor biasanya tidak mau terbuka terhadap orang asing, memberikan akses wawancara langsung kepada survivor berarti melanggar asas kerahasiaan yang harus dijaga. Ke dua LSM itu memberikan jalan keluar dengan menawarkan para konselornya sebagai pewawancara dengan menggunakan panduan wawancara yang telah disusun oleh peneliti. Peneliti diperkenankan untuk melatih para konselor tentang penggunaan panduan wawancara tersebut. Namun proses ini pun tidak dapat berjalan dengan cepat. Sambil menunggu proses yang terjadi di LSM-LSM tersebut, peneliti berinisiatif untuk merekrut langsung responden tanpa melalui LSM. Peneliti menghubungi seorang informan yang selama ini aktif disalah satu LSM kesehatan reproduksi untuk merekrut Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 12 responden yang sesuai dengan kriteria penelitian. Informan ini kemudian mulai bekerja dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki. Informan ini pula yang melakukan pendekatan dengan para pembuat kebijakan sepeti anggota DPRD, Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan, Kepolisian, dan Dinas Kesehatan. Informan ini pulalah yang membantu peneliti membuatkan jadwal wawancara, sehingga selama peneliti di Yogyakarta dapat memanfaatkan waktu secara efisien. Walaupun demikian, pada saat kunjungan pertama ke Yogyakarta untuk mewawancara, tidak semua responden berhasil diwawancara. Calon Responden pertama yang diduga melakukan aborsi akibat kekerasan, gagal diwawancara karena tiba-tiba suami responden pulang ke rumah lebih awal dan ikut berbincang-bincang dengan peneliti. Melihat situasi yang tidak memungkinkan, peneliti membatalkan rencana untuk mewawancara responden, dan akhirnya sore itu diisi dengan ramah tamah dengan responden, suami dan ibu responden.. Efek bola salju berlangsung pada saat merekrut responden. Peneliti mendapatkan informasi dari mulut ke mulut mengenai keberadaan responden yang sesuai dengan penelitian ini. Tabel 3.1: Daftar responden yang diwawancara No ID Umur Dugaan Masalah kesehatan Propinsi Status ANAK PENDIDIKAN PEKERJAAN 1 A101 46 Luka-luka fisik DIY Menikah 3 SLTA PNS 2 A102 24 Gangguan mental DIY Belum menikah AKADEMI KARYAWAN 3 A103 25 PMS DIY Belum menikah SLTA PSK 4 A104 38 Luka-luka fisik DIY Cerai 1 SD PEMULUNG 5 A105 22 KTD DIY Belum menikah 1 SLTA LAIN 6 A106 17 HIV/AIDS DIY Belum menikah SLTA TDK BKJ 7 A107 22 KTD, luka fisik DIY Menikah 1 SLTA TDK BKJ 8 A108 46 Luka-luka fisik DIY Menikah 3 S1 PNS 9 A109 37 Gangguan mental DIY Cerai 1 SLTA BURUH 10 B101 42 Gangguan mental DKI Pisah rumah 1 S1 PENJAHIT 11 B102 39 Luka-luka fisik DKI Cerai 3 S1 KARYAWAN 12 B103 27 HIV/AIDS DKI Cerai mati 1 AKADEMI LSM 13 B104 31 HIV/AIDS DKI Cerai mati 2 SLTA IRT 14 C101 41 Aborsi tidak aman DKI Pisah rumah 4 AKADEMI IRT 15 C102 38 Gangguan mental DKI Menikah 2 SD TDK BKJ 16 C103 38 Luka-luka fisik DKI Cerai 3 SLTA IRT Hal yang sama juga terjadi pada saat melakukan rekrutmen responden untuk wilayah Jakarta. LSM yang selama ini dikenal banyak menangani kasus kekerasan terhadap perempuan tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, satu LSM perempuan lainnya bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini tetapi tidak dapat memberikan ijin pada peneliti untuk mewawancara langsung dampingannya. Wawancara dilakukan oleh para konselornya. Dari LSM ini kami mendapatkan 3 responden dengan masalah kesehatan. Responden lainnya, peneliti dapatkan berdasarkan informasi dari mulut ke mulut. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 13 Akhirnya semua responden yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat terpenuhi. Di Propinsi DI Yogyakarta terpilih 10 orang responden dan dari Propinsi DKI Jakarta terpilih 6 orang responden dengan berbagai macam dugaan masalah kesehatan sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam penelitian ini. 3. kerahasian responden dan informed consent Dalam penelitian ini identitas responden dijaga kerahasiaannya. Setiap responden yang diwawancara langsung oleh peneliti, memiliki nomor identitas berdasarkan propinsi dan nomor urut, nomor identitas inilah yang dipakai dalam pengolahan data dan penulisan laporan, sementara identitas lain hanya diketahui oleh peneliti utama yang sekaligus juga menjadi pewawancara. Identitas responden yang diwawancara oleh para konselor, disimpan oleh LSM yang bersangkutan, peneliti hanya memiliki nomor identitas responden. Peneliti menyediakan formulir daftar responden dari LSM (Lampiran 5). Dalam formulir tersebut terdapat kolom nomor identitas, nama,alamat dan nomor kontak responden, nama pewawancara dan waktu wawancara. Formulir ini disimpan oleh LSM yang bersangkutan. Jika sewaktu-waktu peneliti membutuhkan data tambahan atau klarifikasi data, peneliti cukup menyebutkan nomor identitas, dan LSM yang bersangkutan yang akan menghubungi responden atau pewawancara yang bersangkutan berdasarkan daftar yang ada. Dengan cara seperti ini, LSM tidak perlu khawatir identitas responden akan terbuka. Persetujuan responden yang didahului dengan pemberian informasi yang cukup (informed consent) juga dilakukan dalam penelitian ini. Sebelum dilakukan wawancara, bahkan pada waktu dilakukan pendekatan awal, calon responden sudah diberikan informasi mengenai penelitian ini. Peneliti membekali informan dan konselor, sebuah surat untuk calon responden yang berisi informasi penelitian, tujuan penelitian, apa saja yang akan dilakukan dalam penelitian ini, apa saja yang diharapkan dari responden, identitas dan nomor kontak peneliti, termasuk informasi bahwa responden mempunyai kebebasan untuk mengundurkan diri kapan saja dari penelitian ini walaupun wawancara sudah selesai dilakukan (Lampiran 3). Jika calon responden setuju, calon responden diminta untuk menandatangani formulir informed consent yang terdiri dari 2 copy, satu untuk peneliti satu lagi untuk responden (Lampiran 4). Demi keamanan responden, ada beberapa responden yang tidak bersedia menyimpan formulir informeded consent, dan menitipkannya pada peneliti atau LSM tempatnya bernaung. 4. Pengumpulan data Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan mewawancara responden secara mendalam berdasarkan panduan wawancara yang telah disetujui (Lampiran 7). Responden yang menentukan waktu dan tempat wawancara yang paling nyaman untuk dirinya. Koordinator dimasing-masing propinsi membantu peneliti untuk menyusun jadwal wawancara agar tidak saling berbenturan. Percakapan sepanjang wawancara direkam dengan menggunakan alat perekam suara. Setiap kaset hasil wawancara diberi kode responden, nama pewawancara, waktu wawancara. Semua kaset dibuat duplikatnya dan diberi kode yang sama dengan aslinya. Kaset duplikat dipergunakan untuk membuat transkrip oleh para transkiper, sedangkan Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 14 kaset original disimpan oleh peneliti utama. Hal ini untuk mencegah hilang atau rusaknya kaset yang merupakan data penting dalam penelitian kualitatif ini. 5. Pengolahan dan analisis data Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara diolah dengan cara sebagai berikut: a. Penulisan verbatim Hasil rekaman wawancara diketik secara lengkap sesuai kata per kata seperti apa adanya. Penulisan verbatim ini dilakukan oleh 2 tim, di Yogya dan Jakarta. Tim Yogya menuliskan verbatim untuk hasil wawancara dengan responden Yogya dan tim Jakarta menulis verbatim untuk responden Jakarta. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kesalahan dalam penulisan verbatim, karena sebagian responden Yogya menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. b. Pembuatan matriks Setelah verbatim wawancara seluruh responden diselesaikan, maka dilakukan pengkategorian data dengan membuat matriks berdasarkan variabel yang sudah ditentukan. c. Analisis Data kualitatif dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis isi. 6. penyajian data Data kualitatif disajikan dalam bentuk narasi dan kutipan. Beberapa kasus dengan data yang lengkap diangkat menjadi cerita serta divisualisasikan dalam presentasi power point yang dimuat dalam keping CD. Visualisasi kasus-kasus ini dapat digunakan sebagai salah satu media advokasi dan pembelajaran. Pendekatan kuantitif 1. inklusi kriteria Kriteria kartu status yang laik diikutsertakan dalam penelitian ini adalah: - Kasus terjadi antara tahun 2003 – 2005 - Umur klien 15 – 49 tahun - Kartu status memiliki Nomor identitas yang jelas dan tidak terdapat duplikasi - Masalah kesehatan yang dialami klien disebabkan oleh kekerasan bukan oleh sebab lain Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 15 2. Persiapan Lapangan Persiapan lapangan meliputi pendekatan pada pihak rumah sakit yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu RS Cipto Mangunkusmo, Rumah Sakit Kepolisian RS Sukanto dan Rumah Sakit Panti Rapih. Pendekatan dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara informal menemui penanggungjawab masing-masing pusat krisis. Kepada para penanggungjawab tersebut, peneliti menjelaskan mengenai penelitian ini. Penjelasan tersebut mencakup latar belakang penelitian, metode penelitian yang akan dilakukan, data-data yang diperlukan, bantuan yang diperlukan serta biaya-biaya yang akan ditanggung oleh peneliti. Dari 3 rumah sakit yang dihubungi, ternyata hanya 2 rumah sakit yang bersedia untuk berpartisipasi pada penelitian ini. Kedua rumah sakit tersebut adalah RS RS Sukanto dan RS Panti Rapih. RS Panti Rapih memberikan persyaratan bahwa peneliti tidak diijinkan untuk mengakses langsung kartu status para korban, tetapi rumah sakit akan menyediakan data-data yang diperlukan oleh peneliti. Berdasarkan diskusi lebih lanjut dengan penanggung jawab pusat krisis maka ditetapkan metode pengumpulan data yang tidak melanggar kerahasian dan hak-hak korban namun tetap didapatkan data yang memadai sebagai berikut: a. Pihak Rumah sakit memfotocopy kartu status dengan menutup variable yang memungkinkan untuk menelusuri identitas korban yaitu: • Nomor Kartu • Nama • Alamat Guna memudahkan klarifikasi dan recall data, pihak rumah sakit mencantumkan nomor baru disetiap foto copy kartu status. Hanya penanggungjawab pusat krisis di rumah sakit yang mengetahui daftar nomor baru dan nomor kartu status korban. Dengan demikian kerahasian korban tetap terjaga, namun peneliti masih dapat menghubungi penanggungjawab pusat krisis jika terdapat data yang tidak jelas, tidak terbaca atau tidak lengkap untuk dicocokan kembali dengan kartu status asli. b. Pada waktu yang telah disepakati antara peneliti dengan pihak RS, maka peneliti mengambil foto copy kartu status, memeriksa kelengkapan data serta mengklarifikasi data yang tidak jelas. Metode pengumpumpulan data ini disepakati untuk dilakukan di kedua rumah sakit. Setelah kesepakatan untuk hal-hal teknis dicapai dengan para penanggungjawab pusat krisis, barulah surat resmi diajukan ke pimpinan ke dua rumah sakit untuk mendapatkan ijin melakukan penelitian di rumah sakit tersebut. Prosedur perijinan dilakukan berdasarkan hasil konsultasi dengan PJ pusat krisis, karena masing-masing institusi memiliki tatacara yang berbeda. Disamping itu, PJ Pusat Krisis menjadi ikut terlibat dan turut memantau jalannya proses perijinan. Sehingga proses perijinan menjadi cepat dan tanpa hambatan. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 16 2. Pengumpulan Data Pengumpulan data dimulai dari RS Panti Rapih. Pengumpulan data dilakukan oleh pihak Panti rapih di bawah Koordinasi PJ Pusat Pelayanan. Pada hari yang telah ditentukan, peneliti mengadakan pertemuan dengan PJ Pusat Pelayanan dan tim-nya untuk melakukan klarifikasi data. Peneliti memeriksa kelengkapan informasi dari kartu status yang telah di fotocopy dan melakukan klarifikasi data yang tidak jelas ataupun yang tidak terisi. Kartu status asli tetap di tangan PJ Pusat Pelayanan beserta timnya, walaupun kami bekerja dalam satu ruangan, namun kerahasiaan kartu status yang berisi identitas korban tetap dijaga. Jika ada hal-hal yang memerlukan klarifikasi, peneliti akan menanyakannya pada PJ Pusat Pelayanan dan tim, kemudian mereka akan mencocokkannya dengan kartu status asli. Beberapa kali mereka juga menghubungi sentral bank data pasien untuk mendapatkan data yang diperlukan. Data yang seringkali tidak lengkap dan memerlukan klarifikasi adalah data mengenai pendidikan dan pekerjaan. Setelah semua data selesai diklarifikasi, barulah semua fotocopy kartu status tersebut di bawa oleh peneliti untuk diolah. Pengumpulan data di RS Kepolisian RS Sukanto dilakukan setelah pengumpulan data di RS Panti Rapih. Pengumpulan data di rumah sakit ini juga menggunakan metode yang sama dengan yang peneliti lakukan di RS Panti Rapih. Pengumpulan data di rumah sakit ini relatif lebih cepat, karena sudah ada pembelajaran dari pengalaman pengumpulan data di RS Panti Rapih. Semua kartu status yang sesuai dengan inklusi kriteria diikut sertakan dalam penelitian ini. Setelah melalui proses penapisan terkumpul 294 kartu status yang layak untuk diikut sertakan dalam penelitian ini. Tabel 3.1: Jumlah sampel kartu status Jumlah Kartu Status Panti Rapih RS Sukanto Total 173 121 294 3. Pengolahan data Data kuantitatif yang ada merupakan kumpulan kartu status dari 2 rumah sakit yang berbeda dengan variabel yang berbeda pula. RS Panti Rapih menggunakan satu macam kartu status untuk semua jenis kasus, sedangkan RS Sukanto menggunakan kartu status yang berbeda untuk kasus KDRT, kasus kekerasan seksual, kasus kekerasan fisik lainnya. Kartu-kartu status yang berbeda-beda dengan data yang berbeda-beda pula, tidak dapat langsung diolah menggunakan program pengolahan data yang ada. Hal lain yang menyulitkan pengolahan data, tidak semua kartu status terisi. Tim peneliti melakukan beberapa strategi untuk mengatasi persoalan tersebut. a. Pembuatan instrumen baru Instrumen baru disusun setelah tim peneliti setelah mencermati model kartu status yang ada di kedua rumah sakit serta data yang tersedia. Tim peneliti mendisain instrumen baru dengan memperhatikan data yang ada di ke-empat jenis kartu status. Instrumen baru Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 17 ini juga mengadaptasi instrumen survei injury yang dikembangkan oleh UNICEF, yang sudah dilakukan di beberapa negara di Asia termasuk Indonesia (Lampiran 12) b. Uji coba instrumen Sebelum dipergunakan, instrumen ini diujicoba untuk melihat validitas dan reliabilitasnya. Beberapa kali tim peneliti melakukan penyesuaian terhadap instrumen ini, terutama pada pertanyaan untuk variabel masalah kesehatan yang dialami serta lokasi / jejas luka yang dialami. Sampai akhirnya instrumen ini siap dipergunakan. c. Pemindahan data kartu status ke dalam instrumen Instrumen yang telah siap dipergunakan, diperbanyak sesuai dengan jumlah responden yang ada. Peneliti merekrut dan melatih tiga orang peneliti pemula alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat, untuk membaca semua kartu status, menapis, dan memindahkan data kartu status ke kolom-kolom yang tersedia di lembar instrumen. Proses ini tidak selalu mudah, para peneliti sering kali kesulitan membaca tulisan tangan petugas kesehatan yang tidak jelas dan sulit dimengerti. Jika ditemukan hal-hal yang tidak jelas, maka para peneliti muda ini berkonsultasi dengan koordinator masingmasing. Kartu-kartu status yang tidak jelas kemudian dikumpulkan, diberi catatan, dan dibuat rekapitulasinya kemudian ditanyakan langsung ke petugas di rumah sakit yang bersangkutan. Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, lembar instrumen dilengkapi dengan data yang baru. Semua lembar instrumen yang telah diisi dikoreksi peneliti dan co-peneliti sebelum diserahkan kepada petugas pengolah data statistik. d. Pembuatan template Pada saat bersamaan dengan pemindahaan data kartu status ke dalam lembar instrumen, template pengolahan data dibuat oleh petugas pengolah data statistik. Pembutan template ini juga untuk mengontrol ketidak konsistenan data e. Data entry Semua data lembar instrumen yang telah diisi, dipindahkan ke dalam template yang telah disiapkan. Data-data yang tidak konsisten, tidak lengkap atau yang tidak masuk dalam inklusi kriteria akan langsung dapat terdeteksi. f. Analisis data Analisi data dilakukan baik secara univariat Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 18 Sebagian besar perempuan korban kekerasan yang dilayani di kedua rumah sakit berumur di bawah 35 tahun (83.7%), belum menikah (51.7%), dan berprofesi sebagai pelajar/mahasiswa (32.7%) atau ibu rumah tangga (20.7%) Bab IV MENDENGARKAN ”KESAKMENDENGARKAN KESAKITAN” PEREMPUAN 1. Karakteristik responden Penelitian ini memiliki dua jenis data, kuantitatif dan kualitatif. Sumber data kuantitatif adalah kartu-kartu status dari PPT Rumah Sakit Kepolisian RS Sukanto Jakarta dan Rumah Sakit Panti Rapih Jogyakarta. Setelah melakukan penapisan data, maka jumlah kartu status yang laik untuk diolah adalah 294 kartu status dengan karakteristik seperti pada tabel 4.1. Berdasarkan karakteristik responden, tampak bahwa perempuan yang mecari pertolongan kesehatan di kedua rumah sakit, berasal dari kelompok umur yang relatif muda, di bawah 35 tahun. Di RS Sukanto bahkan terbanyak dari kelompok umur 15-19 tahun sedangkan di RS Panti Rapih terbanyak dari kelompok umur 20 – 24 tahun, usia yang masih masuk kelompok remaja. Kekerasan sudah dialami perempuan-perempuan muda ini pada saat pertumbuhan fisik, mental dan sosial belumlah selesai. Pendidikan perempuan yang mengalami kekerasan yang dilayani oleh RS Sukanto relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang dilayani RS Panti Rapih. Sekitar 25% perempuan korban kekerasan yang dilayani RS Sukanto berpendidikan SLTP – SD dan 26% berpendidikan SLTA. Sedangkan di RS Panti Rapih, 38% perempuan korban kekerasan yang dilayani berpendidikan SLTA, 40.5% bahkan berpendidikan S1, hanya sekitar 10% berpendidikan SLTP – SD. Namun angka ini tidak dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya karena 41,3% kartu status dari RS Sukanto tidak mencantumkan pendidikan korban. Variabel pendidikan korban memang tidak ada di dalam format kartu status ‘kekerasan fisik lain’ yang dipergunakan oleh RS Sukanto, padahal variabel pendidikan pelaku tercantum dalam kartus status tersebut. Perempuan korban kekerasan yang datang ke dua tempat pelayanan ini ternyata 51,7% berstatus belum menikah. Kondisi yang sama juga terjadi di kedua tempat pelayanan, sebagian besar korban masih berstatus belum menikah. Sebagian besar korban yang dilayani di Panti Rapih ternyata tidak mempunyai penghasilan sendiri karena masih berstatus pelajar dan mahasiswa (41.6%) atau ibu rumah tangga (19.1%). Hal yang sama juga terjadi di RS Sukanto, sebagian korban tidak mempunyai penghasilan sendiri, hanya saja persentasi ibu rumah tangga (23.1%) sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pelajar /mahasiswa (19.8%). Namun secara menyeluruh, persentase korban kekerasan yang mecari pelayanan di kedua rumah sakit ini 50%nya tidak mempunyai penghasilan sendiri ( 32% adalah pelajar dan mahasiswa, 20,7% adalah ibu rumah tangga) Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 19 Tabel 4.1: Persentase Karakteristik responden Kartu Status Rumah SakiKarakteristik t responden RS Sukanto Panti Rapih Total Wawancara N 121 173 294 16 Umur 15-19 33.1 13.9 21.8 6.3 20-24 9.1 41.0 27.9 18.8 25-29 20.7 16.2 18.0 12.5 30-34 20.7 12.7 16.0 6.3 35-39 11.6 8.7 9.9 31.3 40-44 3.3 6.9 5.4 12.5 45-49 1.7 0.6 1.0 12.5 Pendidikan SD 11.6 2.9 6.5 12.5 SLTP 14.0 8.1 10.5 - SLTA 26.4 38.2 33.3 50 Diploma 3.3 6.4 5.1 18.8 S1 2.5 40.5 24.8 18.8 S2 0.6 0.3 - Tidak diketahui 41.3 2.3 18.4 - Lain-lain 0.8 1.2 0.5 - Status Pernikahan Belum menikah 42.1 58.4 51.7 25 Menikah 39.7 35.8 37.4 25 Cerai hidup 2.5 0.6 1.4 18.8 Cerai mati - - - 12.5 Pisah rumah - - - 18.8 Tidak diketahui 15.7 5.2 9.5 - Pekerjaan Ibu Rumah Tangga 23.1 19.1 20.7 31.3 Petani/Nelayan - 0.6 0.3 - PNS 0.8 1.7 1.4 12.5 TKW 8.3 0.6 3.7 - Pelajar/mahasiswa 19.8 41.6 32.7 - TNI/Polisi 0.8 - 0.3 - Profesional - 1.2 0.7 - Wiraswasta 7.4 4.6 5.8 6.3 Karyawan swasta 14.0 15.6 15.0 18.8 Tidak bekerja 6.6 2.3 4.1 12.5 Lain-lain 9.1 7.5 8.5 18.8 Tidak diketahui 9.9 5.2 6.8 - Selain menganalisis kartu-kartu status yang terdapat di layanan khusus bagi korban kekerasan dikedua rumah sakit tersebut, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan mewawancarai secara mendalam 16 responden di kota Jakarta dan yogya yang mengalami masalah kesehatan akibat kekerasan yang dialaminya 2. “kesakitan” perempuan Kekerasan terhadap perempuan baik fisik, seksual maupun psikologis memberikan dampak kepada kesehatan dan kualitas hidupnya. Data bisu dari kartu-kartu status serta hasil wawancara dengan para responden memberikan gambaran mengenai Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 20 “kesakitan” yang mereka alami, yang selama ini jarang diungkapkan. “Kesakitan” perempuan akibat kekerasan yang dialaminya tampak beragam, mulai dari luka-luka fisik yang paling mudah diidentifikasi, sampai kesakitan lain yang sulit dideteksi, sehingga diabaikan. Penelitian ini hanya mampu menguak sedikit dari kesakitan yang sesungguhnya terjadi. Tabel 4.2. Persentase Masalah kesehatan yang dialami responden Masalah kesehatan RS Sukanto Panti Rapih Total N 121 173 294 Kecacatan Kehilangan Pendengaran - 1 0.3 Kehilangan penglihatan - - - Kelumpuhan - - - Tidak dapat menggerakkan tangan 2 1 1 Gangguan reproduksi KTD 2 43 27 IMS 2 - 1 Gangguan genekologi - 3 2 Aborsi tidak aman - 6 3 Komplikasi kehamilan - 2 1 Keguguran/ Lahir meninggal - 4 2 PID - 1 - HIV/AIDS - - - Gangguan mental Stress 4 3 3 Depresi 1 1 1 Kecemasan 2 2 2 Phobia - - - Gangguan pola makan - - - Disfungsi seksual - - - Rendah diri - - - Lain-lain - 2 1 Perilaku tidak sehat - - - Gangguan kronis Nyeri - - Gastrointestinal 1 1 1 Keluhan somatik 1 - - Fibromialgia - 1 1 Kematian / Bunuh Diri - - - 2.1. cedera fisik ... kalau ada yang dia nggak suka, dia selalu mukul. Punggung saya pun penuh cakaran dan mengeluarkan darah segar. Mata dan telinga sering jadi sasaran, sampai mata saya lebam, biru-biru, dan menarik perhatian teman-teman sekantor. Saya tahu kalau dia sedang marah, muka saya selalu jadi sasaran. Jadi saya berusaha nunduk, tapi nanti semua malah kena,... dada, tangan, perut... Saya hobi nyanyi, kadang-kadang menggubah lagu. Semenjak telinga saya sering dipukuli, suara saya jadi sengau. Jangankan membuat lagu, menangkap nada Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 21 saja sudah nggak bisa, peach controlnya udah rusak... setiap malam telinga saya bunyi koprok-koprok. (Mbak B 102, 40 tahun, Jakarta) Mbak B102, ibu 3 anak, sarjana, dan perempuan karir yang hobi menyanyi tidak pula luput dari luka-luka akibat pukulan dan cakaran suami. Hal yang sama terjadi juga pada B103, ibu A101, dan B 103. Tubuh mereka menjadi pelampiasan dan sasaran kemarahan suami. Saya pulang dari kantor dibonceng temen. Tiba-tiba motor dicegat suami saya. Saya ya turun... Suami saya marah-marah, nuduh saya selingkuh... Saya ‘dikepruki’ pake helm. Saya jerit-jerit minta tolong, tapi suami saya terus aja mukulin saya. Akhirnya saya lari ke tempat jualan bensin, saya ditolong. Pulangnya saya diantar polisi. Kepala saya ‘benjut-benjut’. Waktu itu saya malu sekali jadi tontonan orang di jalan mbak... (Ibu A101, 46 tahun, Jogya) Luka-luka fisik, memang paling mudah diidentifikasi, namun seringkali juga dipungkiri oleh perempuan yang mengalami kekerasan. Luka-luka fisik dimulai dari derajat yang paling ringan seperti lebam, kebiruan, luka terbuka / perdarahan, patah / retak, sampai dengan kecacatan, ditemui dalam penelitian ini. Lokasi cedera pun beragam, mulai dari kepala, muka, badan hingga organ yang sensitif seperti organ genital, dubur dan payudara. (Tabel 4.3). Muka atau wajah adalah bagian tubuh yang paling sering menjadi sasaran kekerasan (56%) dan 21% mengalami cedera di kepala. Bagian wajah yang paling sering menjadi sasaran kekerasan adalah pipi (11%) dan mata (10%), seperti yang dialami oleh mbak B102 dan juga B 103 yang mengalami perdarahan di mata karena tinju suaminya. Mata adalah organ yang paling sensitif di daerah wajah. Pemukulan pada daerah mata dapat menyebabkan lebam kebiruan, pendarahan, gangguan penglihatan hingga resiko kebutaan. Pemukulan di daerah ini biasanya akan langsung melemahkan korban, karena rasa sakit dan pandangan terganggu. Secara naluri tampaknya penyerang mencari titik lemah dari perempuan yang paling mudah dijangkau, mata adalah sasaran yang paling tepat. Kenyataannya cedera di mata cukup banyak dialami oleh korban yang memeriksakan diri di kedua RS. Wajah adalah sebuah identitas dan citra yang unik bagi seseorang, tidak ada seorang pun yang mempunyai wajah yang identik, sama persis satu dengan lainnya. Bagi perempuan, wajah adalah salah satu bagian tubuh yang dirawat, dijaga melebihi bagian tubuh lainnya. Lebam dan luka pada wajah, selain menyakitkan juga mengganggu pencitraan diri perempuan terutama pada saat ia harus bersosialisasi dengan linkungannya. Ibu B 102 dan A101 terpaksa harus menutupi lebam-lebam di matanya dengan kacamata, atau terpaksa harus menguatkan hati karena menjadi perhatian, menjawab pertanyaan tentang mata yang berarti harus menguraikan kembali kejadian yang dialami, atau berbohong menjadi pilihan yang aman. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 22 Muka atau wajah adalah bagian tubuh yang paling sering menjadi sasaran kekerasan (56%) dan 21% mengalami cedera di kepala. Bagian wajah yang paling sering menjadi sasaran kekerasan adalah pipi (11%) dan mata (10%) Tabel 4.3. Persentase Lokasi Cedera Lokasi Cedera RS Sukanto Panti Rapih Total N 121 173 294 Kepala 18 23 21 Muka 75 42 56 Leher 7 6 6 Bibir 11 6 8 Pipi 12 9 11 Hidung 8 2 5 Dahi 5 4 4 Pelipis 9 2 5 Mata 13 8 10 Telinga 7 2 4 Dagu 2 3 2 Badan 13 10 11 Dada 3 3 3 Pinggang 4 5 5 Punggung 5 1 3 Tulang Belakang 1 1 1 Ekstremitas 25 24 24 Lengan, tangan 17 17 17 Tungkai, kaki, jari 8 8 8 Organ intim 39 6 19 Organ Genital 36 6 18 Dubur 2 0 1 Payudara 0 0 0 Bagian tubuh lain yang sering mengalami cedera adalah lengan (17%) dan organ genital (18%). Tangan dipergunakan para responden untuk melindungi diri terutama melindungi bagian muka. Pada saat itulah cedera pada tangan sering terjadi. Cedera pada tangan meliputi lebam, luka, perdarahan dan patah atau retak. Tingginya cedera pada organ genital terkait dengan tingginya pemaksaan seksual. Pemaksaan seksual menyebabkan lecet, perdarahan dan sobeknya hymen. Luka-luka fisik dapat terjadi dibeberapa tempat sekaligus akibat dari serangan yang bertubi-tubi. Salah satu kasus yang ditangani oleh RS Sukanto pada tahun 2005 dapat memberikan gambaran dari luka-luka fisik yang hampir terdapat disekujur tubuh korban. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 23 Gambar 4.1: Lokasi cedera fisik di beberapa tempat yang dialami seorang gadis usia 24 tahun Mata kiri bawah memar 3x2 cm Pipi kiri bawah memar 6x7 cm Telapak tangan kiri sobek 1x1 cm dan 1x5 cm Bahu kiri belakang memar 10x5 cm Lengan kiri atas memar 5x5 cm Punggung kiri memar 5x3cm Pinggang kanan belakang 5x5 cm Lutut kanan Memar 2x2 cm Kaki kiri Luka 5x7 cm Pinggang kiri belakang Memar 6x7 cm Sumber : Kartu status no. 1008 2.2. Gangguan kesehatan reproduksi Gangguan kesehatan reproduksi atau kesakitan reproduksi dalam skema Heise, meliputi kesehatan yang tidak diinginkan, HIV/AIDS, gangguan genekologi, aborsi tidak aman, komplikasi kehamilan, keguguran atau BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), infeksi panggul. Kesakitan reproduksi sebenarnya beresiko terhadap terjadinya kematian bayi dan juga kematian ibu melahirka. Dalam penelitian ini ternyata banyak kasus kesakitan reproduksi yang dialami responden, Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 24 Gambar 4.1: Rangkaian “kesakitan reproduksi” yang dapat berujung pada kematian ibu melahirkan Dari berbagai macam kesakitan reproduksi, kehamilan yang tidak diinginkan merupakan kesakitan reproduksi yang terbanyak ditemui. Di RS Panti Rapih, kehamilan tidak diinginkan (KTD) berjumlah 75 kasus selama tahun 2003 sampai pertengahan tahun 2005. Kehamilan tidak diinginkan ini dialami oleh perempuan usia muda dan rata-rata mereka belum menikah. Dari hasil wawancara, penelitian ini menemukan ada 4 perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. A 105 adalah salah satunya. KTD pada perempuan yang belum menikah, apalagi jika mereka masih bersekolah, memberikan sanksi sosial yang tidak ringan. A 105 dan A 107 terpaksa harus berhenti sekolah karena KTD. A 105 memutuskan untuk tidak menikah, tetap melahirkan bayinya. Pada saat puteranya berusia 1 tahun, ia terpaksa menerima tawaran dari keluarga yang ingin mengadopsi anaknya. Sampai saat ini, A105 masih selalu menerima pelecehan seksual, intimidasi, diskrimikasi dari para tetangga, baik itu laki-laki atau perempuan, karena status nya yang tidak jelas. A107 memutuskan untuk menikah, dan mengalami kekerasan fisik, serta ekonomi terus menerus dari suami, bahkan ia sempat menggugurkan kandungannya. Kasus KTD juga terjadi pada B103 dan B104. Mereka mengambil solusi yang berbeda pada saat itu. B103 memutuskan untuk menggugurkan kandungan, dan mendapat dukungan dari ibunya. B 104 memilih untuk menikah. Keduanya mengalami kekerasan fisik seksual dan ekonomi selama perkawinan, bahkan tertular HIV/AIDS dari suami mereka yang pecandu. Puteri B 103 yang cantik dan lucu, bahkan sudah terdeteksi HIV/AIDS positif pada saat masih bayi. Gangguan saluran reproduksi - IMS Kehamilan tidak diinginkan Aborsi tidak aman Gangguan kehamilan Keguguran Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) Bayi lahir meninggal Kematian Ibu “KESAKITAN” REPRODUKSI Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 25 Kisah A 105, melahirkan sendiri tanpa bantuan siapapun di usia 17 tahun Awalnya saya Cuma diajak ke rumah temennya.Tapi ternyata itu rumah oomnya dan saya nggak boleh pulang. Dia nggak mau nganter aku pulang. Pokoknya aku disuruh tinggal 3 minggu di sana. Semua pintu dikunci mbak… saya ditaruh di kamar terus,.. terus saya disuruh nglayani seks dia selama 3 minggu. Semua kebutuhan saya dia yang beli. Mau mandi juga ditungguin. Si mbah saya sampai sakit, dipikirnya saya mati. Kejadian itu terulang lagi, saya disekap lagi. Disuruh ngelayani seks dia lagi, saya nolak, saya dipukuli. Celana saya yang resletingnya sobek, karena dipaksa masih saya simpen mbak… Bulan Nopember atau Desember, saya udah 2 bulan nggak mens, saya tes ternyata saya hamil. Dia suruh saya gugurin kandungan, tapi nggak mau kasih biayanya. Saya nggak berani nggugurin kandungan, takut resikonya, saya udah bikin dosa tho mbak… mosok saya tambah dosa lagi… A105, masih kelas 2 SMA pada waktu mengalami kejadian tersebut. Tinggal di suatu desa dipinggir selatan kota Yogyakarta. Ia hidup hanya berdua dengan si mbah (nenek)nya di sebuah rumah berdinding bambu dan tidak berlistrik, sangat kontras dengan rumah tetangganya yang berdinding batu. Si mbah sudah sakitsakitan, A105 tidak mungkin menceritakan masalahnya pada si Mbah. Kehamilannya disembunyikan dibalik baju gombrong. Tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa ia sedang hamil. Selama kehamilan A105 tidak pernah memeriksakan diri ke bidan, selain takut juga karena tidak ada biaya. Pada suatu malam, A105 merasakan sakit luar biasa di sekitar perutnya, dia tidak tahu bahwa ia akan melahirkan. Akhirnya bayi itu lahir... bocah umur 17 tahun itu melahirkan sendiri tanpa ada yang menolong ataupun mendampingi... dia bahkan tidak tahu harus diapakan tali pusat yang menghubungkan antara rahimnya dan pusar bayinya Kehamilan yang tidak diinginkan juga terjadi di dalam suatu perkawinan. Sedikitnya 3 responden mengakui bahwa kehamilannya sebenarnya tidak direncanakan, karena situasi perkawinan tidak kondusif untuk pertumbuhan anak. Tetapi mereka tidak mampu menolak untuk melayani kebutuhan seksual suami yang tetap menggebu sebagaimana disampaikan ibu A101 dan B102. ...saya lepas spiral ketika harus mengikuti pendidikan di Bandung, untuk mencegah suami menuduh yang macam-macam. Tapi hampir setiap minggu saya ditelpon dan diancam, intinya saya musti pulang, kalau tidak anak-anak akan dia bawa pergi. Jadi saya sering bolos, pulang ke Yogya. Setiap kali pulang, suami saya selalu minta dilayani kebutuhan seksualnya. Akhirnya saya hamil... dan suami tidak mau mengakui anak saya, malah saya dituduh ‘main’ dengan orang lain. Jadi sebenarnya yang dia akui sebagai anaknya hanya anak kami yang pertama (Ibu A101) Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 26 Kehamilan yang tidak diinginkan juga terjadi di dalam suatu perkawinan Aborsi menjadi pilihan untuk mengatasi KTD. Namun karena layanan aborsi yang legal sulit ditemukan, maka mereka cenderung melakukan aborsi dengan cara yang tidak aman ...terus terang kehamilan anak ke dua dan ketiga itu kecelakaan...sebenarnya itu perkosaan...(Mbak B102) Pada saat terjadi KTD, aborsi seringkali menjadipilihan penyelesaian. Masalahnya tidak semua responden mengetahui bagaimana dan dimana aborsi yang aman dapat dilakukan. Hanya B103 yang melakukan aborsi secara aman di sebuah klinik di Jakarta dengan didampingi ibunya. Sementara responden lain melakukan aborsi dengan datang ke dukun urut. Ibu C103 bahkan mencoba menggugurkan kandungannya sendiri dengan berbagai cara. ...sudah tiga kali saya coba untuk menggugurkan. Diurut di dukun di Jawa barat. Perut saya diurut, ditekan..sakitnya minta ampun, sampai berbekas biru-biru.. tapi bayinya nggak keluar. Terus diinjek sama suami saya, dia masih pake sepatu dinasnya.. tetap nggak keluar. Saya juga minum jamu, tapi nggak keluar juga, sampai saya minum bir setengah gelas... tetap bayinya nggak keluar... (C103, Jakarta) Aborsi tidak aman mempunyai resiko yang tinggi, yaitu kematian. Jika aborsi itu gagal dilakukan bayi yang dilahirkan pun mempunyai resiko cacat. Komplikasi aborsi dialami oleh ibu C101. Ibu C101 positif hamil setelah 10 bulan menikah, namun suami tidak menghendaki kehamilan tersebut, ia memaksa untuk menggugurkan kandungan. Suami membawa ibu C101 ke dokter kenalan di bilang Cikini untuk menggugurkan kandungan. Ternyata, sesudah itu, ibu C101 mengalami pendarahan terus menerus dan rasa sakit yang luar biasa. Ia pun memeriksakan diri ke dokter, dan untuk ke dua kalinya kandungannya harus di kuret, karena aborsi pertama tidak dilakukan dengan sempurna. Kita kan sebagai istri yang sah, wajar kalo kita tuh mengandung, tapi nyatanya kandungan saya tidak diinginkan oleh suami sampai saya dipaksa menggugurkan, kalau tidak saya akan dicerai. Dengan sangat terpaksa saya menggugurkan untuk kedamaian rumahtangga. Sampai saat ini, kalau mengingat itu saya merasa sangat.. sangat bersalah dan rahim saya masih sering terasa sakit (C 101, Jakarta) Masalah reproduksi yang terpotret dalam penelitian ini bukan hanya KTD dan aborsi yang tidak aman, masih ada beberapa masalah lain seperti aborsi spontan ( keguguran), perdarahan hebat pada saat melahirkan seperti yang dialami ibu A 101. Keputihan yang terus menurus seperti dialami oleh ibu C103 atau penyakit menular seksual yang dialami oleh B 102, B 103. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 27 badan panas terus, vaginanya kering, dibibir nya kering, kuning, tapi gak bau. Sampe pipis aja sakit. Aku bingung mau ngomong sama siapa. Sama keluarga gak mungkin. Malu kan mbak... ( B 103, 25 tahun) B103 berprofesi sebagai PSK karena ditelantarkan oleh orangtuanya. Awalnya ia mangkal di depan kantor pos besar di Yogya. Belakangan ini, ia “mempromosikan” diri melalui internet. Menurutnya cara ini lebih aman, dia terhindar dari resiko kekerasan di jalan, terhindar dari ‘penggarukan”oleh aparat yang harus ditebus dengan biaya Rp 51.000,- (dan saya setuju dengan pendapat itu, peneliti). Biasanya jika sudah ada kesepakatan di jalur internet, ia akan mengajak pelanggan untuk bertemu, memberi kesempatan pelanggan untuk melihat dirinya. Jika kedua belah pihak ‘OK’, maka B103 akan meminta uang muka, serta membuat janji, kapan kegiatan akan dilakukan. Namun tetap saja, tidak semua pelanggan bersedia menggunakan kondom, dan B 103 tidak mempunyai posisi tawar yang baik. Jangan dibayangkan bahwa B 103, berdandan menor dan berpakaian seronok. Penampilannya sederhana, pakaian dan cara bicaranyapun sangat sopan. Menurutnya justru itulah “nilai tambah” yang dimiliki, sehingga pelanggan lebih memilihnya, walaupun menurutnya dia tidak cantik. Mencari pelanggan melalui internet juga dilakukan oleh B 102. 2.3. gangguan psikologis (mental) Gangguan psikologis atau kesehatan mental yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah, stress, depresi, kecemasan, phobia, disfungsi seksual, dan rendah diri. Ternyata tidak banyak kasus gangguan psikologis yang ditemukan dalam kartu-kartu status yang dikumpulkan dari RS Sukanto dan Panti Rapih. Hal ini menjadi pertanyaan bagi peneliti, karena kasus perkosaan tinggi, KTD juga tinggi, luka-luka fisik dengan berbagai derajat keparahan juga sangat tinggi. Mungkinkah ada ketidak telitian dalam melakukan anamnesa, atau ketidaklengkapan dalam menuliskan laporan, atau pada saat dilakukan pemeriksaan gejala psikologis belum muncul atau sudah hilang. Hal ini berbeda dengan temuan dari hasil wawancara. Seorang responden, Ibu B101 mengalami gangguan psikologis yang cukup serius, ... mungkin sudah mau mengarah ke gila atau gimana, karena saya tiap hari telanjang tidur tergeletak, menangis dan menangis, menyanyi, menangis menyanyi, saya tutup korden dan saya nggak mau buka korden. nggak tahu bicara, nggak bisa menyapa orang, takut melihat orang... Mata dan telinga saya sedikit terganggu, mungkin karena terlalu tegang (B 101, 42 tahun, Jakarta) Ibu B 101, sarjana ilmu pendidikan, guru di salah satu lembaga di Papua. Awalnya masih mencoba untuk bertahan dan menerima dengan lapang dada bahwa suaminya memiliki perempuan simpanan. Ia berusaha keras untuk ”memperbaiki diri”, mengubah dandanan, diet ketat untuk melangsingkan bandan, namun semua itu runtuh setelah ia mengetahui bahwa suami telah menikah dan memiliki anak dari perempuan itu. Ia bahkan dikucilkan, dikontrakkan rumah jauh dipinggir kota, dipisahkan dari anak, bahkan suami tinggal dengan istri barunya di tengah kota. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 28 Berdasarkan wawancara dengan teman dekat sekaligus pendamping di masa-masa sulit, Ibu B101 tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain, hanya menangis, dan menyanyi-nyanyi sendiri. Tidak mampu merawat dirinya, tidak sadar bahwa tidak berpakaian atau berpakaian tidak lengkap. Kondisinya semakin buruk, karena dibiarkan sendirian di sebuah rumah di pinggir kota tanpa telepon, tidak kenal tetangga kiri kanan. Walaupun suami tetap datang berkunjung tetapi tidak ada upaya untuk pemulihan sehingga kondisi ibu B 101 tidak mengalami perubahan. Ibu C101, setelah mengalami penyiksaan dari suami dan anak tirinya serta pemaksaan menggugurkan kandungan, mengalami stres sehingga mendapatkan obat penenang dari dokter. Berat badan turun drastis, sakit-sakitan, sering menangis dan terus menerus dihantui rasa takut. Kalo ketemu dia tuh bawaannya deg-degan sama lemes... ...dulu kan anaknya juga ikut mukul, pokoknya kalo udah denger nama dia tuh, dada rasanya bergetar gitu deh... deg-degan aja deh takut...(C 101, Jakarta) Gangguan psikologis lain juga dialami oleh ibu A101, kehamilannya diingkari oleh sang suami, bahkan ia dituduh berselingkuh dengan orang lain. Berat badannya menurun drastis. Setelah mengalami perdarahan hebat, kandungannya terpaksa dikuret dan ia dirawat di rumah sakit. ... Ngga bisa, dia ngga mau menerima. Sampai hamil saya kurus... mungkin karena terlalu banyak pikiran...saya mengalami pendarahan banyak mbak! Tapi setelah saya tes urine, kok ternyata masih positif hamil padahal gumpalannya dah keluar. Saya periksa ke dokter Amin di desa, katanya kegguran tapi sisa-sisa jaringannya masih ada didalamnya akhirnya saya dikirim ke Panti Rapih... (Ibu A 101, Jogyakarta) ... rasa takut, saya kan pernah cerita, saya ketakutan luar biasa di rumah, ya itu rasa takut apalagi toh! (C102) 2.4. gangguan perilaku Gangguan perilaku meliputi ganngguan pola makan, merokok, penyalah gunaan obat, penggunaan obat-obatan terlarang serta perilaku seksual tidak aman. Gangguan perilaku ini tidak terlaporkan dalam kartu status dari ke dua rumah sakit, namun beberapa responden yang diwawancara ternyata mengalami gangguan perilaku ini. Ibu A101, berusaha melupakan semua masalah yang dialami dengan makan. Ia memuaskan keinginannya untuk makan enak dan banyak. Berat badannya pun terus bertambah. Pada saat ia harus dirawat di rumah sakit karena hepatitis, diketahui pula bahwa kadar kolesterol dalam darah tinggi. Merokok dan minum alkohol adalah dua kebiasaan yang dilakukan oleh A105 dan A107. Kebiasaan itu dilakukan juga pada saat mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 29 2.5. gangguan kronis Rasa nyeri yang berkepanjangan, gangguan pencernaan, dan keluhan-keluhan somatik yang ditemukan dari laporan kartu status di kedua rumah sakit walaupun persentasenya sangat kecil. Gangguan kronis juga dikeluhkan oleh beberapa responden yang diwawancara. B 102 misalnya, mengalami gangguan tidur. Seringkali dia tidak dapat tidur dan harus mengkonsumsi diazepam agar dapat memejamkan mata. Ibu C 102 mengeluh sering merasa mual, apalagi jika mengingat hal-hal yang menyakitinya. Ia juga sering diserang pusing-pusing, badan terasa sakit semua tanpa sebab yang jelas. ...sembuhnya agak susah, udah diobatin kadang gak sembuh gitu lho kadang sembuhnya harus dikerok jadi seperti masuk angin, itu kayanya ada apa ya hubungannya antara masuk angin, sakit kepala, sakit gigi dan itu terus-menerus. Dalam seminggu saya kerokan bisa 4x, 5x. Bukan pusing saja, jadi badan juga rasanya sakit-sakit, bukan sakit apa ya pokoknya kayanya enggak enak itu. sampai pernah parah hingga saya seperti orang kedinginan terus rasanya , saya sendiri merasakan seperti orang mau mati. (C102, Jakarta) 2.6. hiv/aids HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan yang fatal, karena sampai saat ini belum dapat disembuhkan. Pada awalnya HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh perilaku seksual yang beresiko, namun dalam perkembangannya, jumlah perempuan dan anak yang terinfeksi HIV/AIDS bukan dari perilaku yang beresiko justru terus meningkat. Istri terinfeksi dari suami yang pengguna jarum suntik dan anak yang terinfeksi dari ibu nya, ditemukan dalam penelitian ini. Bulan Januari, anak gue masuk rumah sakit. Baru umur sebulan udah diare terus, kalo berak burr-burr seperti keran. Mulutnya sariawan banyak banget. Gue pikir “wah anak gue mau pinter, masih 1 bulan kok udah mau jalan ya?” Ya ampun, di rumah sakit dikasih infuse sepuluh botol. Besoknya dia udah boleh pulang, tau gak... dia ga bisa ngapa-ngapain! Diem aja, balik ke kiri gak bisa, balik kanan juga nggak bisa. Ya Allah sadis banget... Akhirnya dia sakit lagi mbak, tapi nggak diare, napasnya kenceng, sesek napas! Masuk rumah sakit lagi, dirawat selama 6 bulan. Diambil darahnya, dipasang selang dimana-mana. Harus ditransfusi karena dia anemia. Gue bingung sebenernya anak gue sakit apa? Sampai akhirnya dokter tanya “ apa ada yang ibu belum ceritakan ke saya?”. Gue jawab kalau suami gue pecandu. Dokternya kaget, langsung dia minta persetujuan gue untuk mengetes anak gue. Pas nerima hasilnya, ternyata positif.. gue cuma duduk di tangga, nangis “Ibu juga positif...”, aku liatin lagi hasilnya... “bener dok?” Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 30 Gue nangis melukin tante, melukin ayah, melukin semuanya,...ancur-ancur banget. Kalo Cuma gue yang kena sih masih mending mbak...tapi ini anak gue, kasian sama anak gue (suaranya bergetar, dan airmatanya mengalir..) Perasaanku ancur banget... nggak bisa terima... (B103, Jakarta) B103 menikah dengan pengguna NARKOBA suntik yang selalu menyangkal bahwa dirinya positif HIV/AIDS. B 103 Percaya pada ucapan suaminya, mereka tidak menggunakan kondom. Ia melahirkan secara normal dan menyusui bayinya. Pernikahan dengan pecandu bukanlah pernikahan yang mudah, selain selalu dipukuli, disiksa, dimaki, barang-barang rumah tanga pun habis dijual, uang simpanan dicuri bahkan anting-anting anak pun dijual. Kini sang suami sudah meninggal, dan B103 masih harus berjuang untuk memperpanjang hidup anak dan dirinya sendiri. Menanggung sendiri biaya obat dan suplemen gizi untuk mereka berdua. 2.7. kematian Angka kematian menunjukkan derajat keparahan yang tinggi dari suatu penyakit. Kematian merupakan masalah kesehatan yang paling fatal. Namun dari 294 kasus yang dihimpun dari dua rumah sakit, tidak ada satupun catatan tentang kematian. Berdasarkan pengamatan dari laporan RPK Polda Yogyakarta, juga tidak ditemukan kematian perempuan akibat kekerasan, laporan tahunan beberapa organisasi perempuan juga tidak menyebutkan adanya kematian perempuan akibat kekerasan. Benarkah tidak ada perempuan yang mati karena kekerasan? Padahal setiap hari media baik cetak maupun Televisi mengungkapkan kematian perempuan akibat tindak kekerasan. Tabel 3.4. menunjukkan kenyataan itu. Tabel 4.4 Kasus kematian akibat kekerasan Tahun Istri Pacar Pekerja 2003 1 8 3 2004 19 1 6 2005 23 10 10 Sumber : Kliping LBH APIK, 2003-2005 3. terapi dan pengobatan Dari wawancara yang dilakukan kepada para responden, pada umumnya mereka tidak datang ke dokter untuk mengobati luka-lukanya jika masih sebatas lebam-lebam. Ibu B102, bahkan sudah sedia obat penghilang bengkak dan lebam di kotak obatnya. Segera sesudah serangan, ia selalu mengoleskan obat tersebut didaerah yang diserang. Beberapa responden juga mencoba mengobati sendiri masalah kesehatannya, misalnya dengan minum obat-obatan yang dibeli di warung untuk mengatasi sakit kepala yang sering diderita. Pada umumnya mereka enggan ke dokter karena malu mengalami kekerasan dari suaminya. Lelah atau bosan bolak-balik ke dokter juga menjadi alasan, karena seringnya luka-luka terjadi atau gangguan kronis yang tidak henti. Masalah keuangan juga menjadi salah satu alasan untuk menghentikan kunjungan ke dokter ini seperti yang diceritakan ibu C101. Ibu C101 mengalami gangguan pada alat Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 31 reproduksinya pasca aborsi yang dikehendaki oleh suaminya. Konsultasi ke dokter spesialis kandungan dihentikannya karena biaya yang mahal. Sekali periksa ke dokter kandungan, ia harus mengeluarkan biaya antar 110 – 160 ribu rupiah termasuk biaya obat. Tidak ada satupun responden yang pernah ditanya oleh dokter mengenai penyebab luka-luka atau gangguan kesehatan yang dialaminya. Layanan dokter biasanya digunakan jika luka atau gangguan kesehatan yang dilami sudah tidak dapat ditahan lagi. Ibu C101, akhirnya ke dokter setelah ia tidak dapat lagi menahan rasa sakit di dada akibat pukulan dari suami dan anak tirinya. Layanan dokter juga dibutuhkan karena kebutuhan visum. Untuk aborsi, dukun atau tukang urut masih menjadi pilihan para responden. Hal ini karena mereka tidak mengetahui keberadaan layanan aborsi yang aman dan legal. Pada umumnya mereka melakukan aborsi di tempat ilegal tersebut setelah mendapatkan informasi dari mulut ke mulut. Berarti makin tinggi resiko yang harus ditanggung para perempuan ini. Dokter baru dicari setelah aborsi gagal dilakukan atau terjadi komplikasi. Orang pintar juga dicari oleh salah seorang responden karena kayakinan bahwa masalah kesehatan yang dialaminya karena guna-guna dari suami. 4. kerugian ekonomi, psikologis dan sosial Tidak mudah menghitung kerugian yang dialami oleh para responden. Kerugian ekonomi mencakup pula kerugian psikologis dan sosial. A105, terpaksa harus putus sekolah karena KTD akibat perkosaan yang dialami. Ia tidak mampu menghidupi anak yang dilahirkan sehingga terpaksa direlakan untuk diadopsi sebuah keluarga di Jakarta. Kini anak tersebut sudah berusia 4 tahun, dan memanggil ibunya dengan tante. Ia sama sekali tidak ingat bahwa A105 adalah ibunya. Kenyataan ini berat untuk A105. Walaupun akhirnya ia berhasil mendapakan ijasah SMA, namun sampai saat ini masih belum mendapat pekerjaan. Dulu waktu masih ada anakku, aku nerima cucian dari tetangga. Sekarang setelah anakku diadopsi orang di Jakarta nggak ada lagi orang yang cuciin ke aku, mungkin dikiranya aku udah gak butuh duit lagi (A105) A 105 juga harus bertanggung jawab atas hidup si Mbah yang sudah sakitsakitan, menyebabkan ia sulit untuk meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan di luar tempat tinggalnya. Mempunyai anak tanpa suami di sebuah desa kecil yang dikenal sebagai desa penganut katolik yang kuat, merupakan masalah yang tidak mudah. Hinaan seringkali dan makian dari tetangga sering kali harus diterima. Dituduh berselingkuh dengan suami orang sudah beberapakali diterima, sampai dengan kekerasan fisik dari para istri. Dilecehkan secara seksual oleh para lelaki di desanya juga seringkali terjadi. Ibu B101 yang mengalami gangguan mental setelah suami mengawini perempuan lain, harus kehilangan pekerjaan sebagi guru. Dalam masa pemulihan seperti sekarang, sulit baginya untuk kembali mengajar, dengan riwayat penyakit yang dideritanya. Akhirnya dengan bantuan dan belas kasihan dari orang-orang yang peduli dilingkungan gerejanya, ibu B101 mendapatkan modal mesin jahit, dibiayai untuk kursus menjahit. Teman-teman yang peduli, membantunya dengan cara menjahitkan baju pada ibu A101. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 32 Hidup nya sehari-hari sebagian besar masih ditopang oleh rekan-rekan sepersekutuannya. Seminggu sekali ia diberi kesempatan untuk siaran program pendampingan keluarga di salah satu radio swasta. Hidupnya memang sedikit demi sedikit berbergulir kembali, tetapi sampai saat ini, ia masih belum mendapatkan anaknya yang ada di bawah pengasuhan mertua. Sulit membayangkan masa depan B103 beserta putrinya dan B104 setelah tertular HIV/AIDS dari suami masing-masing. Mereka berdua saat ini bekerja disalah satu LSM yang bergerak dipendampingan ODHA, dengan honor sekitar Rp. 150.000 sebagai pengganti transport. Pendapatan lain hanya didapat jika menjadi pembicara dalam seminar-seminar atau jika ada program. Padahal mereka adalah orang tua tunggal yang harus menanggung sendiri hidupnya termasuk pengobatan HIV/AIDS. B103 setiap bulannya harus mengeluarkan Rp. 1.600.000 untuk biaya hidup dan pengobatan. B104 yang mempunyai 3 anak, mengeluarkan biaya Rp. 400.000,- diluar biaya makan sehariharii karena masih tinggal di rumah mertua. Pada umumnya para responden membiayai sendiri semua pengobatan dari masalah kesehatan yang dihadapi. Seperti ibu A101, yang harus membayar sendiri biaya rumah sakit. Dalam keadaan seperti itu pun, anak-anak masih datang kepadanya untuk meminta uang belanja harian. Padahal selama ini, gaji ibu A101 tidak lah cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Tambahan biaya keluarga didapatnya dari ‘proyek’ atau berhutang kesana kemari. Pada saat dia harus terbaring, praktis penghasilan yang dia terima hanya gaji saja. Kerugian ekonomi sulit dikuantitatifkan dalam penelitian ini karena kerugian yang diderita responden tidak hanya secara material tetapi juga sosial dan psikologis yang membutuhkan instrumen khusus untuk mengukurnya. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 33 Bab V ADA APA DI BALIK “KESAKITAN’ PEREMPUAN ? 1. PENYEBAB “KESAKITAN” ITU! Berdasarkan data yang diperloeh dari kartu status di kedua rumah sakit, “kesakitan” perempuan muncul akibat kekerasan yang dialaminya. Kekerasan dapat berupa kekerasan fisik, seksual, psikologis, ekonomi. Seringkali kekerasan pun berganda dan dilakukan tidak hanya satu kali seperti yang tergambar dalam tabel 5.1 dan tabel 5.2. Tabel 5.1 : Persentasi Jenis Kekerasan Jenis Kekerasan RS Sukanto Panti Rapih Total N 121 173 294 Fisik 40.5 35.3 37.4 Seksual 28.1 51.4 41.8 Psikologis 0.0 1.2 0.7 Fisik, Seksual 2.5 4.0 3.4 Fisik, Psikologis 14.0 6.4 9.5 Fisik, Ekonomi 3.3 0.6 1.7 Seksual, Psikologis 8.3 0.6 3.7 Psikologis, ekonomi 0.0 0.6 0.3 Seksual, psikologis, ekonomi 3.3 0.0 1.4 Di rumah sakit RS Sukato, kekerasan fisik lebih menonjol, sementara di RS Panti Rapih, kekerasan seksual lah yang lebih dominan. Hampir 20% responden mengalami kekerasan berganda. Namun hasil ini perlu dicermati lebih lanjut untuk melihat ketidak konsistenan data. Banyak kasus perkosaan yang hanya dicatat sebagai kekerasan seksual saja, padahal jelas-jelas terjadi pemaksaan, perlawanan, dan intimidasi. Kekerasan ekonomi tidak banyak ditangkap dalam kartu status, kecuali jika merupakan bagian dari kekerasan lainnya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa tidak ada satupun responden yang mengalami kekerasan tunggal. Pada umumnya mereka mengalami kekerasan berganda, bahkan beberapa responden mengalami semua jenis kekerasan baik fisik, psikologis, seksual dan ekonomi (A101, A105, B102, B103, C101). Tabel 5.2. Persentase Frekuensi kerasan yang dialami Frekuensi RS Sukanto Panti Rapih Total N 121 173 294 Pertama kali 30.6 42.7 37.7 Berulang kali 38.0 22.2 28.8 Tidak diketahui 31.4 35.1 33.6 Di dalam kartu status tidak tidak selalu dicantumkan berapa kali kekerasan itu terjadi. Hanya sekitar 60% yang mencantumkan frekuensi kekerasan, dan separuh lebih Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 34 mengaku baru pertama kali mengalami kekerasan. Hal ini bertentangan dengan hasil wawancara dengan para responden lain yang pada umumnya enggan memeriksakan diri ke dokter pada awal kekerasan dan mengalami kekerasan berulang kali. Kekerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti yang tergambar pada tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3: Persentasi cara melakukan kekerasan Cara melakukan kekerasan RS Sukanto Panti Rapih Total N 121 173 294 Dipukul, ditampar 57.0 42.8 48.6 Ditendang 9.9 5.2 7.1 Ditusuk 0.8 1.7 1.4 Dibakar 1.7 1.2 1.4 Dicekik 5.0 4.6 4.8 Digigit 0.8 1.7 1.4 Dicakar 3.3 2.9 3.1 Diperkosa 33.9 7.5 18.4 Disodomi 0.8 0.0 0.3 Dibanting 0.8 1.7 1.4 Dijambak 6.6 5.2 5.8 Ingkar Janji / Penelantaran kehamilan1 1.7 43.9 26.5 Lain-lain 7.4 19.1 14.3 Tidak diketahui 1.0 1.5 1.3 Dipukul, ditampar merupakan cara yang paling sering digunakan, sehingga tidak mengherankan jika cedera pada muka dan kepala paling banyak ditemukan. Pemerkosaan terjadi 33,9 % di RS Sukanto sedangkan di Panti Rapih persentase perkosaan hanya 7.5% namun banyak kasus kehamilan terjadi dan pacar tidak bertanggungjawab. Dari wawancara responden, semua responden mengalami kekerasan berganda dan terjadi beulang kali dalam waktu yang lama. Kekerasan fisik berupa pemukulan dialami oleh hampir semua responden. Pemukulan pun ada yang dilakukan dengan tangan kosong maupun dengan benda tumpul sepert ibu A101 yang dipukuli dengan helm. Dicekik pernah dialami oleh ibu B102 seperti penuturannya berikut ini: Tubuh saya dihempaskan ke kasur kemudian ditindihnya hingga tak bergerak sedikitpun. Punggung saya pun penuh cakaran hingga mengucurkan darah segar. Setiap saya berusaha untuk berteriak dan meronta, justru semakin bernafsu dan mencekik leher saya. (B102, Jakarta) Kekerasan fisik juga dilakukan dengan menggunakan senjata tajam seperti yang dialami oleh ibu A108. 1 Kasus kehamilan yang terjadi bukan karena perkosaan, namun pihak laki-laki tidak mau bertanggungjawab. Pada kartu status, kasus seperti ini biasanya dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Beberapa LSM mengkategorikan kasus-kasus seperti ini sebagi ingkar janji. Peneliti mengkategorikan kasus-kasus seperti ini sebagai penelantaran. Penelantaran termasuk dalam batasan kekerasan terhadap perempuan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 35 Pedang itu sudah pernah menempel di leher saya sampe luka ini, ini bekas lukanya ini (A108, Jogyakarta) Kekarasan fisik juga dilakukan pada saat responden sedang hamil seperti yang dialami oleh A101, A108, B102 dan B103. Tidak peduli berapapun usia kehamilan tersebut, perut menjadi sasaran langsung kekerasan. Kandungannya sudah besar itu dia baru pulang, belum ada satu minggu kita sudah kena pukul. Gara-gara apa? Kambing! kambing orang lain makan tanaman di depan itu. Mana kita tahu kalau kambing masuk, kerja kita sibuk di belakang, ya kan? Ditampar itu pipi kita ini (A108, Jogyakarta) ...Gue lagi hamil, 5 bulan gitu ya, gue didorong dari tangga, gue inget banget perut gue ditonjok..sempet ditonjok ditonjok dari pacaran kekerasan itu udah banget-banget, iye! Ditonjok, ditendang, nyungsep gue, dari atas sampe bawah nyungsep gue! Ya Allah! Tuhan mati deh gue! Anak gue!, tapi anak gue tuh kuat banget ye..(B103, Jakarta) Kekerasan seksual juga dialami oleh beberapa responden. Pemerkosaan dialami oleh A105 , A102, A103, pemerkosaan dalam perkawinan dialami oleh A 101, B102. Selain pemerkosaan kekerasan seksual juga berupa pelecehan seksual. Suami ibu A101 bahkan menelanjangi tubuh istrinya dan meneliti setiap titik di tubuhnya, kalau-kalau ada tanda atau ada hal-hal yang berubah. kecemburuannya pada diri saya yang membuat diri saya malu, saya ini kesannya kayak pelacur gitu oh mbak. Jadi setiap mau berhubungan seksual dia teliti badan saya dari atas sampai kebawah (A101, Yogyakarta) Tampak jelas bahwa selain mengalami pelecehan seksual, ibu A101 juga mengalami kekerasan psikologis. Hal serupa terjadi pada Ibu C101 yang dipaksa anal seks oleh suaminya sehingga ia merasa sangat tertekan dan berdosa. Saya malu mengungkapkan ada...(sambil menangis), dia melakukan seks tidak normal yaitu lewat lubang anus... Kalau saya nolak dia akan bilang “ kamu tuh gak ini sih sama saya” akhirnya dia nuntut kalau saya tidak melakukan yang dia mau, saya dianggap tidak sayang sama dia. Padahal sih saya tahu dalam agama itu kan sangat dilarang dan dilaknat untuk melakukan hal itu... (C101, Jakarta) Kekerasan psikologis juga terjadi pada beberapa responden. Kekerasan ini mulai dari ancaman, makian, hinaan, bahkan hinaan terhadap agama dan kepercayaan yang dianut seperti yang dialami oleh ibu B102. Gambar Tuhan Yesus diturunkan dari dinding, dan makian seperti “persetan dengan Kristen” sering diucapkan oleh suami. Ibu A101 selalu dihina oleh suaminya, dengan mengatakan “untuk apa kamu berkerudung kalau kelakuanmu kayak gitu!”. Kerudung atau jilbab ternyata juga dapat digunakan sebagai Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 36 alat kekerasan, seperti yang dialami oleh responden A108. Jilbab yang dikenakannya ditarik dari belakang oleh suami hingga ia tercekik. Bentuk kekerasan psikologis lain yang banyak ditemui adalah diselingkuhi. Dari penuturan para responden, perselingkuhan yang dilakukan suami mulai dari sekedar berkencan sampai dengan menikah tanpa seijin istri bahkan memiliki anak dari perkawinan tersebut. Ibu B101, bahkan sampai mengalami gangguan mental karena suami menikah dengan perempuan lain, memiliki 2 anak dan lebih memilih tinggal dengan istri barunya. Responden A108, mengalami bentuk kekerasan yang berbeda. Pakaiannya dibakar oleh suami, kamar sengaja dikunci. Padahal sebagai seorang pengajar, ibu A108, perlu berpenampilan rapi, akibatnya ia terpaksa berdandan di luar kamar dan menggunakan pinsil warna sebagai pinsil alisnya. Responden juga terpaksa memanjat tembok dan masuk rumah melalui ventilasi sepulang mengajar, karena rumah di kunci dari dalam oleh suami. Pengekangan dialami oleh ibu A101 yang selalu dikuntit oleh suami kemanapun dia pergi, bahkan kilometer motor pun selalu diperiksa sebelum ke kantor dan sesudah sampai di rumah. Padahal ibu A101 adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. A107, dilarang pergi kemanapun tanpa didampingi suami, sehingga ia sulit berhubungan dengan teman-temannya, apalagi bekerja. Responden A 107, juga mengalami pengekangan dari suami. Ia tidak boleh pergi tanpa pengawalan dari suami. Kekerasan ekonomi dialami beberapa responden. Selain harus mencari nafkah masih diperas oleh suami untuk memenuhi kebutuhan suaminya. Kekerasan ekonomi juga terjadi dalam bentuk penguasaan aset seperti mobil, motor yang dibeli oleh responden tetapi dikuasi sepenuhnya oleh suami. Responden tidak mendapatkan kesempatan untuk menggunakan aset yang dibelinya, bahkan aset tersebut diatasnamakan suami. Dibeberapa kasus ditemukan, aset responden dijual oleh suami, dan responden tidak menikmati hasilnya. ATM ibu B102, bahkan dirampas oleh suami, sehingga ia tidak memiliki kontrol atas penghasilannya. Ibu C101 hanya mendapatkan Rp.300.000 untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga. Padahal gaji suaminya mencapai Rp. 5.000.000,- dan sebagian besar digunakan untuk hobi suami mengutak atik mobil. Bentuk kekerasan ekonomi lainnya adalah, reponden dilarang bekerja atau suami mengganggu pekerjaan responden dengan memaksa pindah pekerjaan atau bikin onar di kantor istri seperti yang dialami ibu A101. Karena sama-sama pegawai negeri suami ibu A108, membujuk responden untuk mengalihkan semua tunjangan ke dalam struktur gaji suami, dengan alasan supaya mendapat lebih besar. Namun ternyata, responden tidak menikmati tunjangan apapun, karena semua dikuasai oleh suami. 2. PELAKU DIBALIK KEKERASAN Berdasarkan laporan kartu status yang ada, sebagian besar pelaku kekerasan yang menyebabkan masalah kesehatan pada perempuan adalah orang-orang yang dikenalnya dengan baik seperti suami, pacar, ayah atau anggota keluarga lainnya (tabel 5.4) Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 37 Tabel 5.4. Persentase pelaku kekerasan Pelaku kekerasan RS Sukanto Panti Rapih Total N 121 173 294 Suami 33.9 37.0 35.7 Ayah 1.7 0.6 1.0 Kakak, adik - 0.6 0.3 Famili lain 3.3 1.2 2.0 Pacar, tunangan 12.4 48.0 33.3 Mantan suami 1.7 - 0.7 Orang dikenal lainnya 28.1 7.5 16.0 Orang tak dikenal 9.9 1.2 4.8 Tidak diketahui 9.1 4.0 6.1 Semua responden yang diwawancara juga mengalami kekerasan dari orang yang mereka kenal dengan baik yaitu suami, pacar dan ayah, ibu tiri. Bahkan ditemukan empat responden yang sudah mengalami kekerasan sejak masih kanak-kanak. Kekerasan tersebut berupa pengabaian anak. Dari kecil mereka sudah hidup terpisah dari orang tua, dititipkan pada kerabat, tanpa mendapatkan perhatian dan dukungan financial yang memadai dari orang tua kandungnya. Pengabaian ini memaksa mereka untuk hidup dijalanan. Hidup dalam lingkungan yang sangat beresiko, membuat mereka mengalami kekerasan dari lingkungannya diusia dini. Diperkosa oleh pacar / teman ( A 105, A102), menjadi PSK (A102, A103) untuk membiayai hidup atau terjerat narkoba (A106) diusia yang sangat muda, 15 tahun. Responden A105 juga mengalami kekerasan dari komunitas ditempat ia tinggal. Mempunyai anak tanpa ayah diusia 17 tahun, menggegerkan seluruh kampung. Masyarakat pun memberikan stigma bermacam-macam. Para perempuan terutama para istri mencap nya sebagai “perempuan penggoda”, “pengganggu suami orang”, “perempuan gatel”. ... dekat pertigaan itu lho mbak, itu nuduh saya nyelingkuhin suaminya, waduh parah mbak itu mbak. Aku dikatain macem-macem, diseret, ditamparin lho mbak.!Bayangke saya sudah punya anak dikirain selingkuh. Dibilangi gatel ngene ngene, padahal saya tu nggak pernah…(A105, Jogyakarta) Sementara para laki-laki, baik yang beristri maupun yang belum, menganggapnya sebagai perempuan kesepian, perempuan yang bisa “diajak” kencan, apalagi karena mereka mengetahui bahwa responden, secara ekonomi tidak mampu. ... Pernah kok mbak, saya dibilang gini “yo, dolan karo aku” tetangga saya guru lagi, dah punya anak dua gede gede kuliah lagi. Ngajakin saya kaya gitu “kowe kan butuh duit nggo nguripi anakmu, nguripi mbahmu, penghasilanmu kan ora cukup”. Pernah juga pas malem-malem ada yang gedor jendela kamar saya sambil ngomong gini “butuh temen nggak? kademen to!” (A105) Ketika responden A105, merelakan anaknya diadopsi oleh sebiah keluarga di Jakarta pun, masyarakat menuduhnya menjual anak. Tuduhan semakin tajam karena setelah itu responden berusaha menyelesaikan sekolahnya untuk mendapatkan ijasah Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 38 SMA di sebuah sekolah swasta. Responden dianggap tega ‘menjual’ anak supaya dapat menyelesaikan sekolah. Kekerasan juga terjadi di institusi dengan kebijakan yang tidak berpihak pada korban. Kebijakan sekolah yang mengeluarkan siswinya karena hamil seperti yang dialami oleh responden A105 dan A107, justru menambah beban bagi korban. 3. TEMPAT KEJADIAN Kekerasan itu sebagian besar dilakukan di rumah (41%). Tempat yang seharusnya menjadi yang paling aman bagi perempuan. Sangat disayangkan, 43,2% kartu status tidak mencantumkan dimana lokasi kekerasan terjadi. Sehingga data ini kurang dapat mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Tabel 5.5. Persentase tempat kejadian kekerasan Tempat Kejadian RS Sukanto Panti Rapih Total N 121 173 294 Rumah 62.0 27.2 41.5 Hotel 5.0 0.6 2.4 Tempat kerja 4.1 1.2 2.4 Tempat hiburan 0.8 0.6 0.7 Area pertanian 3.3 1.7 2.4 Tempat komersial 4.1 1.2 2.4 Kendaraan 0.8 0.3 Lainnya 3.3 2.9 3.1 Tidak diketahui 16.5 64.8 44.9 Dari hasil wawancara dengan responden, kekerasan juga sebagian besar terjadi di rumah, namun ada pula responden yang mengalami kekerasan di luar rumah. Responden A101, mengalami pemukulan oleh suami di jalan, suami juga sering kali membuat onar di kantor responden. Responden B 107 mengalami pemukulan bertubi-tubi di sebuah mall. Kekerasan yang dilakukan di tempat umum, dan disaksikan oleh banyak orang dirasakan lebih menyakitkan bagi responden. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 39 Bab VI: KEBIJAKAN SEKTOR KESEHATAN DALAM PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Penelitian ini juga melakukan wawancara dan penelusuran dokumen mengenai kebijakan sektor kesehatan dalam penangannan masalah kesehatan yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan. Bab ini merupakan rangkuman dari hasil wawancara dengan Kepala Subag Usia Produktif, Departemen Kesehatan RI serta Dinas Kesehatan DI Yogyakarta. KEBIJAKAN PAYUNG Sampai saat ini, surat keputusan bersama tiga Menteri dan Kapolri tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak masih menjadi satu-satunya kebijakan yang menjadi payung bagi pelayanan terpadu. Kepolisianlah yang paling konsisten dalam melaksanakan kebijakan ini. Sistem komando yang berlaku dalam institusi ini, mendukung terlaksananya sistem layanan terpadu korban kekerasan di semua rumah sakit kepolisian di seluruh Indonesia. Departemen kesehatan, justru mengalami banyak kendala dalam melaksanakan kebijakan ini. Kendala yang banyak diungkapkan oleh pejabat berwenang adalah diberlakukannya Otonomi daerah (OTODA). Kebijakan OTODA menyebabkan umumnya rumah sakit dan puskesmas tidak lagi menjadi tanggung jawab departemen, melainkan menjadi milik Pemda, sehingga kebijakan rumah sakit dan puskesmas tergantung dari pemda masing-masing. Di beberapa daerah hal ini diperparah dengan dijadikannya rumah sakit dan puskesmas sebagai sumber pendapatan daerah, dengan kata lain, “orang sakit” justru mensubsidi “orang sehat” Departemen Kesehatan sendiri sebenarnya juga telah membuat kebijakan desentralisasi kesehatan ini dalam Kepmenkes RI No. 004/ Menkes/ SK/2003 mengenai Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan. Di dalamnya terdapat 29 langkah kunci yang menentukan keberhasilan desentralisasi bidang kesehatan Dalam desentralisasi kesehatan, tugas pemerintahan kabupaten/kota adalah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat di bidang kesehatan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pengorganisasian upaya kesehatan di kabupaten/kota didasarkan pada pembagian kewenangan yang telah ditetapkan dimana pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan desentralisasi yang luas. Pelimpahan wewenang di bidang kesehatan dari pemerintah pusat kepada daerah juga terjadi dalam bentuk dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Untuk melindungi segenap rakyat Indonesia agar dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang terstandar di antara kabupaten-kabupaten/kota yang ada, maka pemerintah telah menetapkan Urusan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan yang ditetapkan melalui SK Menkes RI No. 1457/Menkes/SK/X/2003. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 40 Standar Pelayanan Minimal adalah suatu standar dengan batas-batas tertentu untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Beberapa karakteristik SPM adalah : 1. Menjamin akses dan kualitas pelayanan dasar kepada masyarakat 2. Diberlakukan untuk seluruh daerah kabupaten/kota 3. Merupakan indikator kinerja dan bukan standar teknis 4. Bersifat dinamis 5. Ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan dasar pada kewenangan wajib. UW-SPM ini terbagi 2 jenis yakni UW-SPM yang wajib diselenggarakan oleh seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia dan UW-SPM yang hanya diselenggarakan oleh kabupaten/kota tertentu sesuai dengan keadaan setempat. UW-SPM yang wajib meliputi : a. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar b. Penyelenggaraan perbaikan gizi masyarakat c. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan rujukan dan penunjang d. Penyelenggaraan pemberantasan penyakit menular e. Penyelenggaraan kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar f. Penyelenggaraan promosi kesehatan g. Pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (Napza) h. Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian i. Penyelenggaraan pembiayaan dan jaminan kesehatan. UW-SPM yang bersifat lokal spesifik, adalah UW-SPM yang disesuaikan dengan keadaan setempat, misalnya : pelayanan kesehatan kerja dan pencegahan dan pemberantasan penyakit tertentu (malaria, filariasis, dan kusta). Pemerintah kabupaten/kota kemudian hendaknya menjabarkan UW-SPM ini di dalam kebijakan pembangunan kesehatan di daerahnya. Melihat hakekatnya, maka masalah kesehatan perempuan (termasuk di dalamnya kekerasan terhadap perempuan) dapat ditempatkan dalam seluruh kegiatan UW-SPM wajib. Pemerintah kabupaten/kota wajib memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi perempuan korban kekerasan, wajib memberikan perbaikan gizi bagi perempuan, menyediakan pelayanan kesehatan rujukan dan penunjang bagi perempuan korban kekerasan, dan sebagainya. SISTEM INFORMASI KESEHATAN Dicatat dan dilaporkan merupakan salah satu kegiatan kunci yang mampu meletakkan kekerasan terhadap perempuan sebagai masalah kesehatan masyarakat. Dengan masuknya kekerasan terhadap perempuan dalam sistem pencatatan dan pelaporan resmi dari departemen kesehatan, maka besarannya akan terlihat dan kaitannya dengan kesehatan perempuan dan anak dapat dijelaskan. Departemen Kesehatan sendiri mempunyai sistem pencatatan dan pelaporan secara nasional yang disebut Sistem Informasi Kesehatan. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 41 Sistem Informasi Kesehatan didefinisikan sebagai suatu sistem yang menyediakan dukungan informasi bagi proses pengambilan keputusan di setiap jenjang administrasi kesehatan, baik di tingkat unit pelaksana maupun upaya kesehatan, di tingkat kabupaten/kota, di tingkat propinsi, maupun di tingkat pusat. SIK merupakan bagian dari sistem kesehatan. SIK Nasional (SIKNAS) dibangun dari himpunan atau jaringan sistem-sistem informasi kesehatan propinsi dan sistem informasi kesehatan propinsi dibangun dari himpunan atau jaringan-jaringan sistem informasi kesehatan kabupaten/kota. Hal ini sesuai dengan lampiran dari kepmenkes No.468/2001 tentang kebijakan dan strategi pengembangan sistem informasi kesehatan nasional (SIKNAS) yang menyebutkan bahwa SIKNAS pada hakekatnya merupakan agregat dari semua SIKDA. Pada awal-awal desentralisasi muncul berbagai keluhan mengenai lumpuhnya sistem pencatatan dan pelaporan kesehatan. Banyak daerah yang tidak merasa wajib lagi untuk mengirimkan laporan kegiatan kesehatan ke tingkat propinsi dan pusat. Disamping itu, otonomi daerah dan UW-SPM bidang kesehatan memungkinkan daerah memiliki format laporan yang berbeda-beda sesuai dengan masalah lokal yang dihadapi. Saat ini Depkes tengah berupaya untuk mengembangkan SIK. Pelaporan kesehatan di kabupaten/kota dimulai dari laporan bidan desa, pustu dan posyandu. Di puskesmas, data-data ini kemudian di rekapitulasi bersama sama data dari fasilitas kesehatan dan data cakupan kegiatan lainnya (dalam gedung dan diluar gedung). Laporan ini kemudian sebelum tanggal tertentu tiap bulannya sudah harus dikirim ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Format pelaporan puskesmas menggunakan format pelaporan SP2TP (Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Tingkat Puskesmas/SP3). Di tingkat kabupaten/kota, rumah sakit umum juga mengirimkan laporan ke dinas kesehatan kabupaten/kota setiap bulannya. Untuk laporan tiap triwulan dan semester juga dikirim ke Dirjen Yanmed dan Dinas Kesehatan Propinsi. Sistem pencatatan dan pelaporan di RS di sebut SP2RS. Keseluruhan laporan ini kemudian direkap oleh dinas kesehatan kabupaten/kota dan dalam periode waktu tertentu di kirim ke dinas kesehatan propinsi. Untuk laporan program, selain dikirim ke propinsi juga dikirim ke tiap program di Depkes Pusat. Rumah sakit propinsi disamping mengirimkan laporan ke Ditjen Yanmed Depkes juga mengirimkan laporan ke dinas kesehatan propinsi. Walaupun sudah ada kesepakatan bersama tiga menteri termasuk Menteri Kesehatan, kenyataannya data kasus kekerasan terhadap perempuan tidak masuk dalam sistem pelaporan rumah sakit, sehingga juga tidak terekam di dalam sistem informasi kesehatan. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 42 Bab VII: KESIMPULAN • Kekerasan terhadap perempuan, berada dibalik ‘kesakitan’ perempuan yang diteliti. Kekerasan pun terjadi dalam berbagai bentuk dan derajat. Mulai dari pemukulan hingga percobaan pembunuhan. Tidak semua kekerasan terdeteksi oleh petugas kesehatan, sehingga masalah “kesakitan” perempuan dilihat sebagai kejadian tunggal. • Organ vital seperti kepala, wajah dan organ genital merupakan organ tubuh yang paling sering menjadi sasaran kekerasan. Bagian wajah yang paling sering mengalami kekerasan adalah mata padahal mata adalah jaringan lunak penuh dengan pembuluh darah dan pembeluh syaraf yang paling tidak terlindungi. Penyerang mempunyai kecenderungan untuk menyerang bagian tubuh yang paling melemahkan dan atau bagian tubuh yang paling penting bagi identitas atau citra diri perempuan. • Kehamilan tidak membuat perempuan menjadi terhindar dari kekerasan. Hampir semua responden yang mengalami kekerasan fisik, mengalami kekerasan fisik juga di masa kehamilannya. Sasaran kekerasan langsung pada perut responden. • ‘Kesakitan’ perempuan muncul dalam berbagai derajat, dari yang paling ringan hingga yang fatal seperti HIV/AIDS. ‘Kesakitan’ perempuan muncul dalam bentuk akut maupun kronis. Kesakitan kronis sering kali luput dari pengamatan petugas kesehatan karena tidak adanya program “follow up”. ‘Kesakitan’ perempuan dapat berupa kesakitan fisik maupun psikplogis. • Kesakitan perempuan baik fisik maupun fisik, secara nyata menurunkan kualitas hidup perempuan. Secara fisik menimbulkan kelainan bahkan kecacatan yang menghambat dalam melakukan kegiatan atau pekerjaanya, bersosialisasi dengan lingkungan, bahkan tidak mampu menjalankan hobinya. • Instrumen yang saat ini dipergunakan di kedua rumah sakit, masih belum mampu mendata semua masalah kesehatan yang ada dan kekerasan yang melatarbelakanginya. Hal ini menyebabkan kaitan masalah kesehatan dengan kekerasan tidak mampu diangkat dan disuarakan. • Penelitian ini menemukan kesakitan perempuan akibat kekerasan yang tidak pernah dilaporkan, tidak pernah meminta pertolongan medis, sehingga secara resmi kasus-kasusnya tidak tercatat. Ini merupakan indikasi “puncak gunung es”. Banyaknya kasus yang masih terbenam di masyarakat menunjukkan tidak adanya sistem yang mampu memberdayakan perempuan untuk mengungkapkan peristiwa kekerasan yang dialami, mencari pertolongan atas masalah kesehatan yang dihadapi, mendapatkan akses ke pelayanan yang dibutuhkan. Di sisi lain tidak ada kebijakan Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 43 hingga tingkat pelayanan yang mampu mendorong pelayanan bagi perempuan korban kekerasan. • Belum ada sistem pencatatan dan pelaporan yang komprehensif baik dari sektor kesehatan maupun dari sektor lain. Sehingga angka kesakitan dan angka kematian akibat tindak kekerasan terhadap perempuan tidak dapat tercatat dengan baik. • Adanya institusi yang menolak untuk melakukan kerjasama dalam penelitian ini menunjukkan belum ada kesamaan paham dan kebutuhan mengenai pentingnya mengangkat masalah kesehatan dan kekerasan terhadap perempuan demi kepentingan kelompok yang selama ini didampingi. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 44 Bab VIII: Rekomendasi 1. Diperlukan strategi untuk mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan sebagai isu kesehatan masyarakat. Penelitian ini sudah bisa menjadi data dasar yang mengungkapkan masalah kekerasan dibalik ‘kesakitan’ perempuan. Namun perlu dilakukan surveilans yang mencakup wilayah kerja, dan jumlah kasus, sehingga dapat memberikan gambaran secara nasional. Kerjasama dengan berbagai pihak seperti Departemen Kesehatan, Kepolisian, BPS dan LSM bisa dibangun untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas mengenai masalah ini. 2. Selain angka kesakitan (morbiditas), perlu juga dicari angka kematian akibat kekerasan. Kedua angka ini penting untuk menunjukkan derajat keseriusan suatu masalah kesehatan masyarakat. Maka perlu dibangun sistem pencatatan dan pelaporan yang komprehensif dari semua pihak yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Perlu dibangun pemahaman antar lembaga yang bergerak dalam pendampingan korban kekerasan mengenai masalah kesehatan yang ditimbulkan, sehingga data kesehatan tidak terabaikan, bisa dimanfaatkan dan dibangun pusat data terpadu. 3. Perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai dampak ekonomi bagi negara akibat menurunnya kualitas kesehatan perempuan akibat kekerasan 4. Perlu dibangun kerangka stretegi advokasi untuk mendorong terjadinya produkproduk kebijakan yang memperhatikan hak korban termasuk penanganan masalah kesehatan yang dialaminya. Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 45 Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik, 2003 Indonesia Demographic and Health Survey, Badan Pusat Statistik, Jakarta Bradley C, 1997 Why Male Violence against Women is a Developmet Issue : Reflection from Papua New Guine. Dalam Davies M. Women and Violence, 1997. Zed Book, London: hlm. 10 – 27 Brasse V. Et al., 2000 Conference Report: Domestic Violence, A Health Response: Working in a Wider Partnership. Department of Health United Kingdom, London: 60 hlm Creswell J.W., 1994 Research Design: Qualitative and Quantitative Approachs. SAGE Publication, USA: xix + 228 hlm Davies M, 1997 Women and Violence, Zed Book Ltd, London: 264 hlm Draucker C.B, 2002 Domestic violence: the challenge for nursing, Online Journal of Issues in Nursing, Vol. 7, No. 1, January, 2002, http://www.nursingworld.org/ojin/topic17/tpc17_1.htm Dyarsi M, 2001 Layanan Yang Berpihak. Komnas Perempuan, Jakarta: xii + 90 hlm Hakimi M, et al, 2001 Membisu Demi Harmoni, “Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia”.LPKGM-FK-UGM, Yogyakarta: xvi + 106 hlm. Heise L.L., et al., 1994 Violence Against Women: The Hidden Health Burden. World Bank, Washington D.C.: ix + 72 hlm. _______, 1999 Violence against women, Population Report, Vol. XXVII, Number 4, Desember, 1999 Indonesia, Departemen Kesehatan , 2000 Informasi Kesehatan Reproduksi : Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta : iii + 31 hlm Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 46 Indonesia, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial , 2000 Profil Kesehatan Reproduksi: Pengarus-utamaan Jender dalam Bidang Kesehatan. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta : v + 49 hlm Krug E.G, 2002 World Report on violence and health, WHO, Geneva Komnas Perempuan, 2002 Peta kekerasan, pengalaman perempuan Indonesia. Komnas Perempuan, Jakarta: 344 hlm. Miles M., Huberman A.M., 1992 Analisis Data Kualitatif. terj. Rohidi T.R. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: xvi + 491 hlm. Rifka Annisa WCC, 2002 Laporan Data Kasus tahun 2001, Rifka Annisa WCC, Yogyakarta Semler V, et al, 2001 Hak-hak Asasi Perempuan, Sebuah panduan konvensi-konvensi utama PBB tentang hak asasi perempuan, terj. Embun, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta: xii + 153 hlm Surjadi Charles, 2000 Aplikasi kesehatan masyarakat pada masalah kekerasan rumah tangga, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Katolik Atmadjaya United Nation,_______ Strategies for confronting domestic violence : a resource manual, United Nation, New York UNFPA, 2001 A Practical Approach to Gender-Based Violence: A Programme Guide for Healt Care Provider & Manager, UNFPA, New York WHO, 1993 Strategies for domestic violence : a resource manual, United Nation _____, 1996 Privention of violence : a public health priority, WHA49.25,WHO _____, 1997 Violence against women : apriority helath issue, WHO Habsari R, Hendarwan H, Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan 47 _____, 1997 Prevention of violence, WHA50.19, WHO _____, 2002 Violence and health, EB109/15, WHO _____, 2002 World Report on Violence and Health, WHO _____, 2003 Suggestion for participating in the global campaign for violence prevention, WHO Alamat korespondensi peneliti : Ririn Habsari drg, Mkes harsa_ririn@yahoo.com mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt

HOME | BACK
Tampilan terbaik pada HP dengan resolusi layar 240x320 & menggunakan opera mini v4.2 , dan di malam hari.
online counter
TOP-RATINGMobPartner Counter
Best Wap Sites

PluzTopwapinfoBestTraffic.mobiBestTop.MobiTOP RANK*tswaplogsTraffic Boost Enginexox
Created by: Safikâ„¢
banjarmasin © juli 2010