watch sexy videos at nza-vids!




18/05/24
[ 1: 1: 851 ]
Mobile site builder free

pulung misteri boneka gayung
Bung Smas PULUNG: MISTERI BONEKA GAYUNG E-book oleh: kiageng80 Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1984 PULUNG: MISTERI BONEKA GAYUNG oleh Bung Smas GM 84.084 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All rights reserved Sampul dan ilustrasi dalam dikerjakan oleh Nono. S Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, Jakarta 1984 Anggota IKAPI Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta DAFTAR ISI 1. Duel di Selehraga 2. Sang Jagoan Tidak Datang 3. Seuntai Kalung Berlian 4. Penyelidikan Pulung 5. Musuhan Lagi 6. Dua Misteri 7. Kejutan Si Pol 1 DUEL DI SELEHRAGA CEMARA meliuk-liuk bagai makhluk yang gelisah. Desaunya menggebu. Angin kemarau meluruhkan daun-daun berbentuk jarum itu. Untunglah sembilan pokok cemara tegak di halaman gedung SMP itu. Bila tak ada cemara, betapa panasnya udara pada menjelang jam istirahat kedua ini. Gedung itu cukup tinggi, khas bangunan peninggalan zaman Hindia Belanda. Pintu dan jendela-jendelanya lebar. Maka angin yang masuk ke ruang kelas satu C, adalah sejuk belaka. Si Rambut Kaku terkantuk-kantuk di bangkunya. Perutnya lapar bukan main. Pagi tadi dia bangun kesiangan dan tak sempat makan pagi. Si Rambut Kaku menggigit-gigit bibirnya sendiri, agar kantuknya pergi jauhjauh. Tapi kelopak matanya yang tipis itu betapa sulitnya dibuka. Kelopak mata kiri dihiasi bekas luka tersayat, sehingga mata kiri itu lebih sipit daripada yang kanan. Sebenarnya mata si Rambut Kaku itu sangat indah, bagai mata anak perempuan yang cantik. Tapi bekas luka di kelopak kirinya membuat kesan bahwa dia adalah seorang anak lelaki yang nakal. “Pulung!” Si Rambut Kaku tersentak mendengar panggilan yang diucapkan dengan nada menyentak itu. Ia menoleh-noleh, bingung dan tak tahu siapa yang memanggilnya. “Bego! Kamu dipanggil Pak Son!” bisik Ristiani, teman sebangkunya. “Ya, Pak!” sahut Pulung langsung kepada guru kurus yang bungkuk tubuhnya, yang dagunya menonjol, dan kaca mata putihnya kecil sekali. Pak Son sungguh tidak tampan. Wajahnya aneh, karena sulit dikatakan bagaimana bentuknya. Tapi dia guru yang baik. Sangat baik, dan semua muridnya menaruh hormat sangat tinggi karena dia adalah contoh guru terbaik di SMP itu. Pak Son tidak menyinggung soal kantuk si Rambut Kaku. Padahal dia memanggil Pulung karena dia menyaksikan si Rambut Kaku hampir mendengkur dengan kepala terkulai di atas bangkunya. Pak Son memerintah, “Buatlah kalimat dengan kata ‘dini’.” Pulung bukan murid kesayangan Pak Son. Tapi dia memang sering mendapat pertanyaan guru Bahasa Indonesia itu, terutama kalau dia terkantuk-kantuk di kelas. Biasanya ia menjawab pertanyaan semacam itu lancarlancar saja. Tapi mungkin karena Ristiani sudah nyumpahin ‘bego’, maka jadilah dia bego sungguhan. Dia bingung sesaat. Otak pun rasanya beku, padahal mestinya pada udara sepanas ini otak jadi meleleh! Gruno yang duduk di sudut kanan kelas, merasa tegang karena boss-nya jadi dungu begitu. Tapi dia tak bisa menolong si Rambut Kaku. Mata Pak Son melirik ke arahnya. Gruno membuang muka. Ia bertatapan dengan Gogor yang duduk di bagian tengah ruangan. Gogor mendesah. Dia juga ingin menolong Pulung, tapi dia sendiri tak tahu apa jawaban pertanyaan Pak Son. “Sudah hampir satu menit, Lung,” kata Pak Son mendesak. “Masih memerlukan waktu berapa menit lagi?” “Sssaya... saya kurang mendengar, Pak...,” kata Pulung, berusaha mengulur waktu. “Maksud saya... pertanyaan Bapak kurang saya dengar.” Pak Son mengulangi pertanyaannya, atau lebih tepat disebut, perintahnya. “Waktunya setengah menit lagi. Kalau tidak bisa, angkat tangan saja,” ujar Pak Son setelah menyebutkan perintahnya. “Dini... Dini anak kelas dua A,” Pulung menyebutkan kalimat yang dibuatnya. Kontan saja seisi kelas terbahak-bahak! Pak Son tidak melarang muridnya tertawa. Tetapi dia sendiri tidak pernah tertawa karena kebodohan muridnya. “Jadi tadi kau benar-benar tidur?” tanya Pak Son, nadanya seperti benar-benar kecewa. “Saya mengantuk, Pak.” “Boleh keluar dan meneruskan tidurmu di kantin.” “Ah, tidak, Pak. Saya tidak mengantuk lagi.” “Menyerah? Tidak bisa membuat kalimat dengan kata ‘dini’?” “Dini... dini... Maaf, Pak, dini itu apa?” Pertanyaan yang bodoh itu makin meriuhkan isi kelas. Pak Son sempat melihat Gogor akan membisiki Pulung. Pak Son berseru, “Coba kauterangkan ‘dini’ itu apa, Gor!” Dasar Gogor, beraninya hanya di belakang. Dia masih seperti dulu-dulu juga, mudah gugup dan penakut luar biasa. Mulutnya menjadi macet karena perintah itu. Keringatnya mengalir di ketiak, perut, dan sekitar pusarnya. Dia merasa geli oleh tetesan keringat yang masuk ke lubang pusarnya. Karena itu, perhatiannya beralih pada sekitar pusarnya. Otaknya. jadi macet pula. “Dini adalah kata lain dari ‘awal’,” Pak Son membantu para bego yang terlongoh-longoh saja. “Coba kaubuat kalimatnya, Lung.” Hampir saja Pulung menyebutkan kalimat ‘Awal anak kelas IIA’. Untunglah Ristiani menginjak kaki Pulung. Sehingga kalimat itu tidak sempat keluar. “Saya... saya mengantuk karena sampai dinihari saya baru tidur,” kata Pulung. Sebenarnya kalimat itu untuk Pak Son, menerangkan bahwa dia mengantuk karena tidur sangat terlambat. Tetapi Pak Son menganggap itu adalah kalimat jawaban Pulung. Kebetulan kalimat itu benar. Maka Pak Son mengacungkan ibu jarinya. Seratus untuk si Rambut Kaku! Tapi rasa lapar itu tidak hilang hanya karena mendapat pujian Pak Son. Bahkan makin melilit. Tambah parah lagi setelah bel jam istirahat kedua berdentang. Kalau dia punya uang, dia bisa makan bubur kacang hijau di kantin. Tapi kapankah dia ke sekolah membawa uang? Bapak bukan orang berada. Kerjanya pun hanya sebagai kebayan desa, pegawai kantor kelurahan di desanya. Pekerjaan itu tidak membuatnya kaya. Hanya membuatnya terhormat sedikit, karena semua penduduk desa memanggilnya Pak Bayan. Orang semacam Bapak itu, bukanlah seorang ayah yang suka memberi uang jajan kepada anaknya. Bapak tak pernah memanjakan anaknya. Apalagi terhadap si sulung yang rambutnya kaku dan matanya sipit sebelah! Gogor menghampiri Pulung di teras kelasnya. “Lapar, Lung?” bisiknya. “Lumayan.” “Ngompas Ristiani saja, Lung! Dia lagi banyak duit!” “Maunya sih begitu. Tapi apa pantas sih yang namanya Pulung jadi tukang ‘kompas’? Didor penembak misterius, baru tahu!” Gogor tertawa, tapi hatinya sedih bukan main. Dia tak bisa menghitung lagi berapa kali Pulung menolongnya pada saat-saat yang gawat. Yatim piatu yang kurus ini tak punya saudara seorang pun. Ia akan merasa sangat malang bila ia tak punya kawan sebaik Pulung. Tapi pada saat-saat Pulung kelaparan, betapa menyesal Gogor, karena dia tak bisa berbuat apa-apa. Gogor melangkah sambil mengantungi tangannya. Ia menuju ke kantin. Otaknya berfikir keras untuk mencari akal demi semangkuk bubur kacang hijau. Ia berdiri di pintu kantin. Tak ada yang memperhatikan kehadirannya. Dan dia memang tak pernah diperhatikan orang. Ada dia atau tidak, orang tak pernah ribut. Seolah seekor lalat lebih penting daripada Gogor. Coba saja. Seekor lalat yang hinggap di tepi mangkuk Miranda, cukup membuat seisi kantin ribut. Miranda kalang-kabut. Buburnya tumpah. Sebagian menyiram sepatu Gogor. Tapi Miranda tidak meminta maaf. Pikirnya lalatlah yang salah. Atau dia pikir anak desa kurus yang berdiri di pintu kantin itu tak pantas menerima pernyataan maafnya? Gogor menyeka ujung sepatunya dengan kertas yang dipungutnya dari tempat sampah. Ia melihat Jalu, anak kelas satu A yang gagah, tinggi besar, dan konon dia jago silat di kampungnya. Serta merta timbul gagasan bagus di kepalanya. Demi semangkuk bubur kacang hijau buat Pulung, Gogor melakukan ‘politik adu domba’. Dia berkata dengan nada penuh ejekan, “Lu! Kamu dicari Pulung!” Jalu mengangkat wajahnya. Mulutnya penuh. Gayanya mengunyah makanan seperti kerbau jantan memamah biak. Rahangnya tidak saja bergerak ke bawah ke atas, juga ke samping kanan dan kiri. Gerakan itu sengaja dilakukan untuk meyakinkan aksinya yang petantang-petenteng1. “Mau apa dia cari aku?” serunya dengan kalimat tak jelas, karena mulutnya penuh, dan gerakan rahangnya dibuat-buat. “Ngajak sambuk, apa?” Gogor mengangguk. Sambuk adalah istilah untuk pertarungan para pendekar. Jalu tahu, 1 Nengil, sok jago Pulung jago silat di desanya. Sudah lama Jalu ingin sambuk dengan Pulung. Sudah bermacam-macam cara ditempuhnya untuk memancing pertikaian. Tapi Pulung tak pernah meladeninya. Mendapat tantangan yang disampaikan oleh Gogor itu, serta-merta Jalu bangkit. Diseka mulutnya dengan punggung telapak tangan. Gayanya meniru pendekar mabuk dalam film silat Hongkong. “Mana anaknya?” tanyanya seraya melemparkan dua keping uang seratusan ke meja kantin. “Tunggu dulu,” Gogor mencegah. “Taruhan, berani?” “Apa taruhannya?” “Bubur kacang hijau.” “Enteng! Mana anaknya?” “Tunggu dulu.” Gogor mulai kebingungan. “Maksudku... maksudku bukan sambuk sungguhan. Cuma itu... adu kekuatan. Eh, panco. Panco saja.” “Kamu ngomong bagaimana, sih? Kutampar mulutmu mencong!” Gogor makin ketakutan. Berani main-main dengan Jalu Prakosa ini sama juga dengan mengusik macan tidur. Jalu Prakosa memang dididik menjadi jagoan oleh ayahnya. Namanya saja mengandung makna ‘lelaki perkasa’. Ayahnya seorang jagoan pada masa mudanya. “Ta... taruhannya semangkuk bubur kacang hijau, ya?” kata Gogor dengan suara gemetar. “Sepuluh mangkuk pun jadi! Tapi sambuk sungguhan!” “Tapi... tapi Pulung maunya panco saja.” “Kasih tahu dia! Setelah pulang sekolah, kutunggu di Sarean Selehraga!” Sarean Selehraga! Mendengar nama itu disebutkan saja, bulu kuduk Gogor meremang. Sarean adalah kuburan. Dan kuburan Selehraga terletak di tengah tanah persawahan yang terpencil. Dari kejauhan tempat itu tampak hijau penuh misteri. Tak seorang anak pun berani lewat di dekat sana meskipun pada siang hari. Pada masa yang lalu, konon kuburan itu tempat para raja, adipati, dan pejabat tinggi negara dimakamkan. Konon pula angker sekali. Di sanalah kata orang, segala macam jenis hantu bermukim. “Begini, Lu,” Gogor tak bisa tenang lagi. “Terus terang, ya. Sebenarnya... sebenarnya aku belum kasih tahu sama Pulung...” Tiba-tiba, begitu sangat tiba-tiba, tangan Jalu melayang. Gerakannya sulit diikuti oleh pandangan, terutama bagi anak lemah seperti Gogor. Ia tidak tahu bagian mana dari tubuhnya yang terkena pukulan. Rasanya seluruh tulang tubuhnya sakit. Pandangannya menjadi gelap. Dia jatuh terduduk. Saat itulah dia tahu, bahwa yang kena pukul adalah dadanya. Nyata napasnya sesak. Dada sebelah kiri terasa nyeri. Anak-anak menyaksikan peristiwa itu dari semua penjuru. Tapi tak seorang pun berani berkutik. Jalu Prakosa sungguh jagoan. Sering kali terbukti, dia selalu menang bertarung dengan siapa pun juga. Gruno yang paling marah menyaksikan peristiwa itu. Dia tak pernah akur dengan Gogor, terutama karena sifat keduanya yang selalu bertolak belakang. Tetapi menyaksikan teman dekatnya dihantam macam begitu, dia marah sejadi-jadinya. Dia lari dan berdiri dengan gagah di depan Jalu. “Ini tantangan buatku, Lu!” geramnya. “Jangan di sini! Kita ke lapangan stasiun setelah pulang sekolah!” Jalu mendengus dengan bibir digerakgerakkan penuh ejekan. “Aku mau Pulung saja!” katanya. Pulung datang. Tetapi ia tidak menghiraukan Jalu. Diangkatnya Gogor dengan hati pilu. Betapa sedihnya Pulung menyaksikan wajah Gogor yang berkerut-kerut karena menahan sakit. Pulung meraba dada kiri Gogor. “Aduh!” jerit Gogor. “Diam dulu. Tarik napas panjang,” kata Pulung. Nada suaranya datar, menandakan dia cukup tenang menghadapi peristiwa yang memilukan hatinya ini. Pulung membuka kancing baju Gogor. Diperiksanya dada anak itu. Lalu dirabanya. Gogor mengaduh lagi. “Mana yang sakit? Ini?” “Aduh!” “Ini sakit juga?” “Aduh!” “Sampai sini masih sakit?” “Iya... oh... tidak... tidak begitu sakit...” Pulung mengancing baju Gogor dan mendesah. Dengan rabaan jari-jarinya, dia bisa menentukan pukulan macam apa yang dihantamkan oleh Jalu terhadap Gogor. Mudahmudahan Gogor jujur, sehingga ia mengaduh karena sakit ketika dipijit, bukan karena kecengengannya saja. Ditilik dari bagian yang sakit, Pulung bisa menebak bahwa Jalu menggunakan sisi telapak tangan kanannya untuk menghajar Gogor. Dan Pulung pun naik pitam! Dia bangkit. Ditataphya mata Jalu. “Kau memang jagoan,” katanya. Suaranya berdesis, menandakan dia sedang marah sungguhan. “Tapi percuma ayam jantan mematuk anak ayam yang baru keluar dari telur!” “Kau marah, Lung?” “Iya!” “Lalu kau mau apa?” “Mestinya kau jangan menantangku. Akui kesalahanmu, dan mintalah maaf padanya!” “Kalau aku tidak mau?” Gruno yang sudah gemas, berseru lantang, “Hajar, Lung!” Anak-anak berkerumun. Guru pun datang. Mereka digiring ke ruang guru untuk diadili. Rasa pilu di batin Pulung makin menjadijadi setelah tahu duduk persoalannya. Gogor menceritakan semua itu dengan mata selalu basah. Ia menangis karena sakit dan karena hati yang lara. Betapa tak lara? Dia disakiti dan dia tak mampu membela diri! Tetapi di sini, di hadapan para guru, Pulung tak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan Jalu telah mengucapkan pernyataan maafnya. Ia seperti bersungguh-sungguh menyalami tangan Gogor dan meminta maaf. “Kau bisa memaafkannya, Gor?” tanya Pulung ragu. Gogor mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sungguh?” “Ya.” “Dengan tulus kau mengatakannya?” “Ya.” Pulung mendesah. Kalau Gogor sudah memaafkan Jalu, memang tak ada alasan baginya untuk marah. “Ayo, bersalaman!” kata Kepala Sekolah. “Ini peringatan terakhir untuk Jalu. Kalau sekali lagi kau berkelahi di lingkungan sekolah, kau bisa dikeluarkan.” “Iya, Pak. Saya... saya mengaku bersalah,” kata Jalu dengan wajah penuh kesungguhan. Dengan begitu, Pulung menganggap selesai persoalan yang membuat darahnya mendidih. *** Rasa laparnya masih melilit-lilit. Biasanya Pulung mendapat giliran membonceng setiap kali pulang sekolah. Tapi dia mengalah menjadi tukang kayuh karena Gogor masih teler juga. Rupanya hantaman Jalu benar-benar menyakitkan Gogor sampai ke tulang dan sungsumnya. Dia tidak dendam pada Jalu, tapi pasti hatinya sakit bukan main. Setiap kali mengayuh pedal sepeda Kakek Sakeh, Pulung selalu merasa dirinya begitu pendek. Kakinya tak bisa menyentuh pedal sampai ke bawah. Pantat pun terasa sakit karena sadel sepeda itu keras dan sudah rusak. “Pakai sepedaku saja, Lung!” seru Gruno yang mengayuh sepedanya di samping Pulung. “Biar saja, No. Hitung-hitung biar kakiku mulur!” gurau Pulung. Mereka mengayuh sepeda ke arah selatan. Gogor masih mendekap dada kirinya. Dia tampak sedih sekali. Kalau Kakek Sakeh tahu akan peristiwa ini, pasti Gogor kena marah lagi. Kakek Sakeh galak bukan main. Padahal Gogor adalah cucu satu-satunya. Satu-satunya teman hidup, karena Kakek Sakeh yang tua itu tidak punya siapa-siapa lagi. Istrinya sudah lama meninggal dunia. Anaknya yang hanya seorang saja pun telah lama berpulang, sejak melahirkan Gogor pada tiga belas tahun yang lalu. Galaknya Kakek Sakeh bermula karena ia ingin cucunya gagah seperti Pulung. Gagah menurut Kakek Sakeh adalah ‘jantan dan bisa berkelahi’. Karena itulah Kakek Sakeh menamakan cucunya ‘Gogor’. Nama itu sungguh bermutu, sebab Gogor artinya ‘anak harimau’. Tapi sayang, Gogor tumbuh menjadi anak lelaki yang terlalu lembut dan cengeng sekali. Nama bertuahnya seolah tak punya arti lagi. Akan lebih berarti bila Gogor beralih nama menjadi Cemeng, ‘anak kucing’! Menjelang batas kota, ada perempatan jalan yang dihiasi sebuah patung tentara. Tiga orang anak laki-laki menunggu di sana. Lodi, Asep, dan yang tinggi besar itu, Jalu Prakosa! “Lung... dia... dia menunggu kita...,” bisik Gogor. “Tenang saja. Kita terus pulang,” kata Pulung sambil terus mengayuh sepeda. Tetapi Jalu memang sengaja menunggunya. Tangan Jalu melambai seperti polantas menghenti-kan kendaraan. “Kutunggu kau di Selehraga!” seru Jalu kepada Pulung. Selesai berseru, Jalu menunggangi sepedanya dan memacunya ke timur. “Kita sambut, Lung!” seru Gruno seraya mendahului membelok ke kiri menyusul Jalu. “Aduh, jangan, Lung...,” rintih Gogor. Pulung membelokkan sepedanya. Ia mengejar Gruno dan berseru, “Berhenti dulu, No!” Gruno mengerem sepedanya dan turun. Pulung berbuat seperti itu pula. Mereka berdiri bersisian di tepi jalan yang ramai dilalui kendaraan luar kota. “Bagaimana, No?” tanya Pulung. “Kita lawan saja!” “Apa untungnya?” “Demi nama baik kita, Lung. Kalau kita tidak meladeni mereka, Jalu bisa menyebarkan ejekan yang bukan-bukan!” “Apa perlunya mempertahankan nama baik?” “Ah, kenapa hari ini kau jadi bodoh sekali, Lung? Aku juga lapar. Tapi otakku masih bisa bekerja!” Pulung mendengus. Gruno itu jagonya anak kampung di sebelah desa Pulung. Semangat tempurnya boleh juga. Tapi untuk apa semua itu? Mempertahankan nama baik? Ah! Seperti petinju saja. Ketika Pulung masih memikir-mikir, Gruno sudah mengayuh sepedanya ke timur. Selehraga cukup jauh. Lapar pun makin terasa karena harus kerja keras mengayuh sepeda menyongsong angin kemarau. Jalu dan dua orang temannya sudah menunggu di jalan tanah di depan Selehraga. Gaya Jalu bagai jagoan dalam kisah-kisah legenda. Sikap jagoan itu membuat Gruno merasa muak sekali. Tapi Pulung masih tenang. Dia tukang berkelahi, tapi dia tak pernah mengayunkan tinjunya tanpa alasan yang kuat. Dia memahami jurus silat seperti dia memahami ayat-ayat suci Al Quran yang dipelajarinya. Memang bermula ia hanya ingin belajar jurus, maka ia mau belajar mengaji pada Wak Solikun. Satu jurus akan diberikan bila Pulung menamatkan satu juz. Namun kemudian dia menyadari bahwa mempelajari silat bukanlah untuk menjadi tukang berantem seperti yang semula disangkanya. Semakin tinggi jurusnya, dia semakin takut berkelahi. Sebab dengan sekali ayun tangannya, mungkin saja dia bisa membunuh orang! Jurusnya memang maut. Setiap serangan tak boleh dielakkan. Harus dihadang dengan serangan yang lebih mematikan! Karena dasarnya Pulung berhati lembut, maka kemudian ia menciptakan gerakan-gerakan menghindari serangan tanpa membalas. Ia akan selalu teringat akan petuah guru mengaji dan sekaligus guru silatnya, “Seorang pendekar sejati bukan manusia yang pandai berkelahi saja, melainkan seorang manusia yang pandai menghindarkan diri dari pertikaian. Memahami jurus adalah usaha untuk memahami bahaya yang mengancam keselamatan diri sendiri. Maka hindarkan bahaya itu dengan akalmu, bukan dengan okol (otot)-mu.” Petuah itu baginya bukan merupakan ‘larangan untuk berkelahi’. Melainkan ‘perintah untuk menjadi manusia berhati lembut dan berbudi tinggi’. Begitulah, bila di sekolah tadi Jalu menyerangnya, mungkin saja Pulung kalap karena dia menyaksikan Gogor dihantam. Tetapi sekarang, pada saat kepalanya menjadi dingin dan perutnya melilit-lilit, dia sama sekali tak berminat berkelahi. “Kau ini, Lu,” katanya seraya menyerahkan sepedanya kepada Gogor. “Maumu bagaimana, sih? Tadi kau sudah mengajak damai, kan? Kok sekarang menyuruhku ke sini?” “Kau jagoan di kampungmu, kan?” ejek Jalu. “Kata orang sih begitu. Tapi apa iya sih, aku jagoan?” Gaya Pulung berbicara yang merendah seperti itu ditafsirkan keliru oleh Jalu. Pulung sengaja merendahkan diri agar Jalu tidak mencari perkara lagi dengannya. Namun Jalu menganggap Pulung justru meremehkannya! “Kau menantang sambuk, kan? Aku menyambut tantanganmu!” kata Jalu penuh tantangan. “Lho! Tadi kan Gogor sudah menjelaskan persoalannya? Dia hanya ingin aku mengadu panco denganmu. Taruhannya semangkuk bubur kacang hijau. Terus terang, Lu, kalau panco aku pasti menang lawan kamu!” “Alasan! Di depan guru Gogor bilang begitu! Tapi sebenarnya...” “Sungguh, Lu!” sela Gogor seraya menyandarkan sepedanya ke pagar kuburan. “Aku hanya memanasimu untuk adu kekuatan, kok. Soalnya Pulung kelaparan! Demi Tuhan, deh!” “Mulut busuk! Anak laki-laki kayak kamu harusnya pakai rok saja!” bentak Jalu. Gruno tak sabar lagi. Ia juga bertubuh kekar seperti Jalu. Disandarkan sepedanya. Lalu melangkah ke depan Pulung, berhadapan dengan Jalu. “Sama aku saja, Lu!” tantangnya. “Kau masih tanggung lawan Pulung!” “No!” hardik Pulung. “Pakai otakmu!” “Biar saja, Lung! Aku juga sudah lapar. Kalau ngobrol saja di sini, sampai jam tiga nanti aku nggak makan juga!” “Begini saja.” Pulung melangkah ke depan Gruno. Ia meraba pundak Jalu dengan sikap bersahabat. “Kalau mau sambuk, bagaimana jika perguruanmu mengirim surat saja pada perguruanku? Kita adakan di lapangan pada saat bulan purnama. Bagaimana, Lu? Lebih baik begitu, kan? Itu sambuk yang jujur. Guru kita akan menyaksikannya.” “Gila kau, Lung!” desis Gruno. “Wak Solikun bisa nggamparin kamu kalau berani ngomong mau sambuk!” “Kau diam, No! Nanti kau sendiri yang kuhajar!” Gruno tahu, kalau Pulung sudah mengancam begitu, tandanya darah sudah naik ke kepala. Gruno bukannya takut pada Pulung. Melainkan ‘hormat’ dan segan. Ia tak pernah berani mengajak sambuk dengan Pulung, karena ia belum tahu sampai di mana sebenarnya jurus murid Wak Solikun itu. Ia hanya bisa meraba-raba. Sedangkan bila dia yakin silatnya sejajar dengan Pulung, dia pun belum tentu menang. Sebab Pulung sangat terlatih. Bergerak dalam jurus sama juga bergerak dalam berjalan, makan, naik sepeda, berenang, dan kegiatan sehari-hari lainnya. Jurus ibarat pisau yang terbuat dari baja murni. Jurus bisa tajam bila dilatih setiap saat, ibarat pisau diasah setiap waktu. Jurus Gruno tumpul karena dia tak pernah berlatih. Gruno menganggap jurus adalah meriam yang sewaktu-waktu bisa digunakan dalam pertempuran. Meriam sungguh senjata berat. Maka tanpa diasah meriam bisa menghancurkan lawan. Begitu pendapat Gruno. Karena kekeliruan pandangan itu, makin lama jurusnya pun makin tidak ampuh lagi. Dia hanya menang mental. Tapi sering kurang perhitungan. Jalu mengerti, Pulung tak bisa dipancing hanya dengan tantangan saja, harus diserang lebih dulu, baru Singa Kecil itu akan mengamuk. Jalu pun menyerang dengan tangan kanan. Pulung, dalam dua puluh empat jam sehari, adalah pendekar. Meskipun serangan itu sangat mendadak, dia bisa mengelakkannya hanya dengan menggeser kedudukan kaki kanan ke belakang. Tinju Jalu meluncur di depan hidungnya. Anak yang tak bisa jurus semacam Gogor, pasti akan memejamkan matanya begitu tinju meluncur di dekat hidungnya. Seharusnya mengerjap pun tak boleh pada saat harus bersiaga begini. Pulung tak berkedip. Dia tahu persis berapa milimeter jarak ujung hidungnya dengan tinju Jalu. Diam-diam ia merasa kagum juga pada jagoan yang sok jago itu. Tapi kenapa tinju Jalu mengepal? Kenapa tidak berbentuk cakar kucing, atau paruh garuda? Seorang pendekar mestinya pantang menggunakan tinju mengepal. Sebab tinju mengepal tidak akan bisa menyakitkan musuh, bahkan bisa mencelakakan diri sendiri. Jari mungkin terkilir, bahkan bisa patah bila menghantam kepala musuh. Dengan singkat Pulung menduga, mungkin Jalu sengaja menyembunyikan jurusnya, maka dia menggunakan tinju mengepal. Hebatlah Jalu Prakosa itu! Dalam latihan, menerima pukulan begini dilarang melangkah mundur. Seharusnya Pulung melakukan gerakan sekaligus secara bersamaan: melangkah dengan kaki kanan ke depan, mengendap, menangkis serangan dengan tangan kiri, dan mengirimkan pukulan berbentuk cakar kucing ke ulu hati lawan. Gerakan ini disebut Pat Cing Hok (lompat kucing, menohok). Dengan gerakan ini dia bisa membuat lawan pingsan selama setengah jam! Tapi Pulung mewarisi kelembutan dari Ibu. Jurusnya memang bisa membunuh orang di tangan pendekar berhati bengis. Tapi di tangan si Rambut Kaku yang berhati selembut hati Ibu, jurus itu merupakan benteng diri belaka, bukan alat untuk membunuh dan mencelakakan sesamanya. Sayang sekali Jalu Prakosa tidak menyadari akan mautnya jurus Pulung. Ia menyangka jurus itu memang enteng-enteng saja. Tak punya pukulan jitu. Maka ia makin bernapsu. Ia menghajar Pulung dengan gaya seperti dia menghantam Gogor. Pulung tak bergerak di tempatnya. Ia hanya mengangkat tangan kanan menekuk di depan dada. Pukulan Jalu mendarat di hasta tangan itu. Jalu merasakan betapa kerasnya tulang hasta Pulung. Menyadari perkelahian itu sudah menjadi sungguh-sungguh, Gogor gemetar sekali. Ia berseru dan menjerit-jerit agar Jalu menghentikan serangannya. Tapi jago yang tengah bertempur, mana mungkin mengakhiri pertikaian itu hanya oleh jeritan saja? Pulung pun mulai panas. Ia tak mungkin hanya mengelak. Ia harus menyerang agar Jalu tahu, bermain-main dengan anak singa bisa membahayakan dirinya. Pulung mengirimkan pukulan dengan tinju mengepal. Ia sengaja mengepalkan tinjunya, agar Jalu tidak bisa menebak macam apa jurusnya, macam apa pula pukulannya. Jalu mengelak dengan melangkahkan kaki kanan ke belakang dan menarik kepalanya. Inilah yang diharapkan Pulung. Ketika tinjunya berada di depan hidung Jalu, tiba-tiba ia membuka jarijarinya. Pukulan ini bernama ‘cakrok macan’ atau cakar harimau. Cakar itu berputar hingga menghadap ke wajah Jalu. Kalau Pulung mau, dia bisa mencakar mata lawannya. Tapi itu sadis. Dia tak pernah bisa berbuat kejam begitu. Maka yang dicakarnya hanya hidung dan bibir Jalu. Maunya sekedar memberi peringatan. Tetapi cakar itu sudah sangat terlatih. Batang pisang hidup bisa roboh dengan dua puluh lima kali pukulan ‘cakrok macan’ semacam itu. Maka tak ampun lagi, bibir Jalu berdarah. Ia menjerit. Tetapi yang terasa sakit adalah pinggiran lubang hidungnya. Bibir berdarahnya tidak begitu sakit, tetapi hidungnya, duh! Ia merasakan jari manis Pulung telah memasuki lubang hidung dan ditarik dengan gerakan cepat sekali. “Sudah, Lu! Sudah!” seru Pulung. Tapi Jalu sudah kesetanan. Ia malu dipecundangi begitu saja dalam pukulan pertama lawannya. Gerakannya makin nekat. Dengan begitu, ia tidak bisa menguasai jurusnya lagi. Makin panas hatinya, makin kacaulah gerakannya. Bahkan ia melakukan kesalahan besar dalam perkelahian semacam itu. Kesalahan itu adalah mengulangi pancingan dan serangan-serangan yang gagal. Tentu saja Pulung bisa membaca gerakannya. Bisa menebak arah serangan dan tipuantipuannya. Lodi dan Asep merasa tegang menyaksikan jagonya mulai teler. Asep mengepal-ngepalkan tinjunya. Gruno melihatnya. Ia melangkah dan berdiri gagah di hadapan Asep. “Mau ikut, Sep?” tantang Gruno. “Ikut ke mana?” tanya Asep yang tidak memahami maksud Gruno. “Kayak boss kamu! Aku lawanmu!” “Oh, tidak... tidak. Sungguh! Aku tidak ikut-ikutan!” “Kenapa kau mau mengantarnya ke sini?” “Habis... eh, kau kayak tidak tahu watak Jalu saja, No. Kalau aku tidak mau diajak ke sini, dia mengancamku...” Gruno memandangi wajah Asep. Kelihatannya Asep tidak bohong. Gruno mengangkat kedua bahunya dengan sikap meremehkan. Ia menyaksikan perkelahian Pulung lagi. Timbul rasa bosannya. Pulung terlalu bersikap lunak. Tidak ganas seperti dalam latihan di halaman belakang langgar Wak Solikun. “Lung! Jangan buang-buang waktu! Lapar, nih!” seru Gruno. Pulung pun merasakan perutnya makin terasa perih. Ia ingin menyudahi perkelahian itu. Maksudnya akan mengunci gerakan Jalu. Ia berhasil menangkap tangan Jalu. Akan dipuntirnya ke belakang. Untuk itu ia meraba pundak kanan Jalu. Tapi agaknya Jalu punya tipuan yang jitu. Ia mengendap dan melangkahkan kaki kiri memutar, hingga tangannya yang akan dipuntir bisa selamat, sekaligus dia bisa memuntir tangan Pulung. Keadaan jadi berbalik. Senjata makan tuan. Giliran Pulung yang akan dikunci dengan gerakan yang mirip seperti yang dilakukannya tadi. Menghadapi serangan begini, Pulung tak punya pilihan. Ia terpaksa melakukan gerakan yang mengerikan. Ia membungkukkan badannya. Dengan begitu, tangannya tidak terkunci. Sambil membungkuk begitu, ia meraih kaki kanan Jalu yang berada di antara kedua kakinya sendiri. Gerakan ini sebenarnya bersifat untung-untungan. Ia bisa mencelakakan lawan, tetapi dia sendiri menanggung resiko tangan kanannya terkilir. Untunglah Jalu melepaskan cekalannya karena menyadari kaki kanannya sudah diraih oleh tangan kiri Pulung. Ini adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh Jalu. Sebab tangan kanan Pulung jadi bebas. Tangan itu ikut memegangi pergelangan kaki kanan Jalu. Kini kaki Jalu itu berada di antara kedua paha Pulung, terjulur ke depan. Pulung menduduki kaki itu. Celaka musuhnya! Kalau musuh tetap berdiri, kakinya bisa patah. Untuk menghindari kecelakaan itu, terpaksa Jalu mengikuti gerakan Pulung. Maka dia pun masih juga celaka. Sebab dia harus jatuh terduduk dengan kaki kanan terjulur ke depan. Lebih celaka lagi, karena Pulung mendudukinya! Jalu tidak mengaduh. Ia diam. Benar-benar diam. Sebab dia pingsan! Pulung terperanjat menyadari hal itu. Ia meraba-raba dada Jalu. Ditepuk-tepuknya pipi Jalu. “Lu! Lu!” serunya gugup. “Masya Allah!” Gogor bersorak gembira, “Waaa... brutune mangslep !” Kalau tidak sedang panik, Pulung pasti tertawa mendengar seruan Gogor itu. Brutune mangslep, adalah ‘tunggirnya amblas’. Ucapan itu lazim disebut terhadap seseorang yang jatuh terduduk. Tapi dalam keadaan begini, ucapan itu betapa mengerikannya! Siapa tahu tunggir Jalu benar-benar amblas? “Ya, Allah!” desis Pulung. “Kalau dia sampai celaka...” Gruno juga mulai panik. Ia seorang pesilat. Ia tahu benar apa bahayanya jatuh terduduk dan diduduki semacam itu. “Kalau tulang ekornya patah... dia... bisa lumpuh...,” gumam Gruno. Pulung membuka celana pendek Jalu. Lalu membalikkan tubuh anak itu hingga menelungkup di atas jalan tanah berdebu. Gruno membantunya. Pulung menarik celana Jalu dan meraba-raba tulang ekor anak itu. Ia menghitung dari bawah. Satu, dua, tiga, empat... “Tidak ada yang amblas, No! Masih utuh!” serunya agak lega. “Jangan salah hitung!” kata Gruno seraya meraba-raba pula. Ia tidak menghitung, melainkan meraba kalau-kalau ada ruas tulang ekor yang masuk ke ruas lainnya. “Bagaimana, No?” tanya Pulung cemas. “Mudah-mudahan tidak ada yang amblas.” “Ngomong yang benar!” “Kelihatannya... ah, pokoknya mudahmudahan sajalah!” Pulung meraba-raba lagi. Ia melihat Lodi dan Asep hanya diam. Pulung membentaknya, “He! Jangan bengong saja!” Bentakan itu membuat Lodi dan Asep gemetar. Pikir mereka Pulung juga akan ‘mengamblaskan tunggir’ mereka. Padahal Pulung makin marah karena mereka hanya bisa gemetar. “Bego! Kalian jangan bengong saja!” hardik Pulung. “Lihat, nih! Jagoan kalian teler begini!” “Habis harus diapakan?” tanya Asep. Suaranya gemetar, seperti juga lututnya. “Cari minyak angin, balsem, rheumason, atau apa saja! Cepat!” “Di sini mana ada...” “Cari di toko!” “Aku tidak punya uang...” Pulung menarik napas masygul. Karena dia juga tidak punya uang, dia tidak bisa marah terhadap orang yang tak beruang pula. “Terserahlah bagaimana cara kalian mencari minyak angin,” katanya dengan nada pasrah. “Jalu membutuhkan bau-bauan yang bisa menyadarkannya.” Asep dan Lodi hanya bingung. Pulung tersadar, mendapatkan obat gosok atau semacamnya memang tak mungkin tanpa uang. Kecuali Lodi atau Asep mau mengemis, mencuri dan semacam itu. Pulung menoleh ke kanan dan ke kiri. Sarean Selehraga, betapa mengerikan tampaknya. Suasananya teduh sekali. Daundaun pohon trembesi dan beringin saling bertaut. Seperti payung-payung raksasa. Dan nisan-nisan lapuk yang berjajar sungguh penuh lumut karena tak pernah tersorot sinar matahari. Tapi di luar pagar petai cina itu ada ladang bawang. Bawang, ah! Pendekar ini, mengapa melupakan pelajaran silat yang ditekuninya? Dia harus tahu cara menyadarkan orang tanpa obat gosok dan semacamnya. Harus tahu! Bukankah bawang itu juga bisa digunakannya? “Ambil beberapa butir bawang!” teriak Pulung. “Ba... bawang? Untuk apa?” tanya Lodi gugup. “Jangan tanya melulu! Ambil dulu! Cepat! Nanti kepalamu ta’ kepruk!” Duh, betapa kasarnya ucapan Pulung. Ta’ kepruk artinya ‘kuhajar sampai lumat’. Tapi ucapan sekasar itu sebenarnya muncul dari hatinya yang lembut. Kalau tak lembut hatinya, untuk apa dia berpayah-payah merawat lawannya yang bisa juga mencelakakannya? Bawang itu harus dilumatkan. Tapi di sana tak ada batu. Tak ada apa pun juga yang keras, kecuali sederet gigi di mulut Pulung. Maka bawang merah yang diberikan oleh Lodi, segera dikunyah lumat oleh Pulung. Pahitnya tak terkira. Getir dan panas rasanya. Lumatan bawang itu digosokkan ke tunggir Jalu. Sisanya dilambai-lambaikan di dekat hidung anak itu. Bau bawang yang menyengat akan merangsang kesadaran si pingsan. “Kau keliru, Lung,” Gruno berkata. Dia lebih tenang daripada Pulung, karena bukan dia yang mencelakakan Jalu. “Mestinya tubuh Jalu ditelentangkan. Pantatnya diganjal agar kepalanya terletak lebih rendah daripada kakinya.” “Oh... tapi... dia pingsan bukan karena habis lari. Apa begitu cara menyadarkan orang pingsan karena brutune mangslep?” “Jangan debat dulu! Nanti dia keburu mati!” “No, kadang-kadang aku ingin ngemplang kepalamu...” Gruno tak berani bicara lagi. Salah omong bisa kena gampar benar-benar. Pada saat begini Pulung cukup berbahaya. Lebih baik berbuat saja, tanpa berkata. Gruno menelentangkan tubuh Jalu. Pantat anak itu diganjal tas milik Lodi dan Asep. “Pegangi kakinya!” perintah Gruno pada kedua orang anak yang menjadi dungu itu. “Usahakan kakinya lebih tinggi daripada kepalanya! He, jangan pikirkan bajumu yang kotor! Kalian ingin Jalu hidup, atau tidak?” “Ya, ya, ya,” sahut Lodi seraya mengangguk-angguk. Ia menuruti perintah Gruno. “Gor!” sentak Gruno. “Lepaskan sepedamu! Ambil buku gambarmu! Bawa ke sini!” “Buku gambar? Untuk apa?” “Ambil dulu! Kalau banyak mulut...” “Ya! Akan kuambil!” Gogor memberikan buku gambarnya. Ternyata buku berkulit tebal itu digunakan untuk mengipasi tubuh Jalu. Pulung masih melambai-lambaikan kunyahan bawang di depan hidung Jalu. Mulutnya komat-kamit. Dia membaca doa bagi keselamatan bekas lawannya. Doa yang sungguh-sungguh, seperti doanya untuk kesehatan Wak Solikun, dan doa apa saja yang selalu dibaca dengan sungguhsungguh. Jalu mulai siuman. Ia membuka matanya dan bergerak dengan gesit. Pulung menolongnya bangun. Jalu berteriak kesakitan seraya meraba pantatnya. “Jangan banyak bergerak dulu!” Pulung mencegah. “Tunggirmu sakit?” “Uuuh...,” Jalu mengeluh. “Huh...” “Telungkup dulu! Biar kuurut tunggirmu!” Jalu menelungkup di atas jalan berdebu. Tak peduli pakaiannya kotor. Sedangkan wajahnya yang berkeringat pun tak keruan lagi wujudnya. Pulung mulai mengurut-urut. Semua gerakan urutan itu menuju ke arah jantung. Jalu meringis dan sesekali mengaduh. Panas bawang telah mengembangkan otot-otot di sekitar pantatnya. Terasa agak mengurangi rasa sakit. Ia menggeliat bangun. Pulung menolongnya hingga ia berdiri. Tiba-tiba, Jalu tertawa terbahak-bahak! Gogor mundur beberapa langkah. Rasa takut terbayang di wajahnya yang pucat. “Apa kataku...,” desisnya. “Sarean Selehraga angker sekali. Jalu sudah kesurupan...” Pulung juga mencurigai tertawa Jalu. Mirip orang kemasukan setan. Tapi pendekar kecil setingkat dia tentu bisa menguasai perasaannya. Meskipun takut, wajahnya tampak tidak berubah. “Kenapa, Lu?” tanyanya. Nada suaranya pun tidak kentara kalau dia sedang takut dan cemas kalau benar Jalu kesurupan. “Kau hebat, Lung!” kata Jalu dengan tulus. Dijabatnya tangan Pulung. “Aku tidak penasaran sekarang! Sialan! Kalau aku tahu jurusmu begini, aku tidak berani nantang kamu!” “Jurusmu juga hebat,” Pulung memuji sungguhan. “Kalau aku lengah, yang pingsan aku, Iho! Tapi kayaknya kau kurang latihan!” “Modalku memang hanya segitu, kok. Tuh penghasutnya!” Jalu menuding Lodi dan Asep. “Kalau mereka tidak menghasut, aku mikir lima kali lagi untuk nantang kamu, Lung!” “Tapi... tapi...” Asep ketakutan. “Aku tidak menghasut. Aku kan hanya bilang lebih baik mencoba daripada penasaran...” “Kau bilang Pulung hanya besar mulut! Slompret, kau!” dengus Jalu. Pulung tahu, jurusnya memang tak terkalahkan. Tapi dipuji habis-habisan begitu, dia jadi malu. Ia melangkah. “Ayolah!” katanya. “Ke mana, Lung?” tanya Jalu. “Pulang, ah! Perutku sudah payah, nih!” “Di dekat perempatan ada warung bubur kacang hijau, Lung. Aku bawa uang untuk traktir kalian, kok!” “Tidak usah, Lu! Wujud kamu sudah menyeramkan begitu. Pulang saja lalu mandi!” Jalu menyadari wujudnya sudah tak keruan lagi. Ia tertawa, menertawakan dirinya sendiri. “Aku duluan, Lu!” seru Pulung seraya menghampiri sepeda Gogor dan katanya, “Kau yang nggenjot! Aku capek, nih!” Jalu berseru dari dekat sepedanya, “Besok kalian kutraktir di kantin sekolah, ya!” “Oke, Lu!” sahut Gruno. “Kau juga boleh nyoba jurusku! Tapi taruhannya soto ayam, ya?” “Ah, lawan kamu aku geli! Habis badan kamu kayak kuda nil!” “Gila! Sudah teler masih besar mulut juga kau!” Jalu tertawa seraya meringis karena rasa sakit masih hinggap di sekitar tunggirnya. Gruno melambaikan tangan dan melompat ke sadel sepedanya. Betapa besar rasa kagumnya pada Pulung. Kalau dia yang menjungkirbalikkan Jalu, manalah sudi memaafkan begitu saja jagoan teler itu? 2 SANG JAGOAN TIDAK DATANG HEBAT Ristiani. Dia bisa marah-marah begitu pada Pulung. Padahal jika Gruno yang marah setingkat itu, Pulung sudah menggamparinya. Tapi mau apa dia kalau yang mengatangatainya Ristiani? Paling hanya diam. Seperti pagi itu, dia diam saja. Seperti juga pada jam istirahat pertama, Pulung masih diam disemprot Ristiani. Gruno jadi keki melihat boss-nya mengatupkan mulut. Bibirnya seperti sudah lengket saja. Gruno berjalan melintas di depan Pulung dan Ristiani. Kedua makhluk yang marah dan dimarahi itu duduk di bangku panjang di teras kelas. “Lodi mau nraktir kita, Lung,” kata Gruno setengah tak acuh. “Enak juga Iho, punya boss kayak kamu!” Pulung tidak mengacuhkan ucapan Gruno. Ristiani masih berkicau. Makin lama, katakatanya makin seru. Kadang kala kata-kata itu bertubrukan, karena diucapkan dengan sangat cepat. Satu suku kata terakhir sering kali tidak diucapkan, karena disambung dengan suku kata pertama dari ucapan berikutnya. Sulit sekali cara menuliskan ucapan Ristiani. Pulung pun merasa sulit menangkap arti ucapan gadis kecil yang marah itu. “Kecil-kecil kau galak, ya?” kata Pulung meledek. “Badanmu makin kurus. Karena kau suka marah-marah, kau tidak bisa gemuk. Tapi hidungmu kok semakin tinggi, Ris? Rupanya telur ceplok buatan mamamu penuh gizi, ya? Kalau kau sering makan telur ceplok, hidungmu akan semakin tinggi. Tuh, gizinya hanya numpuk di hidung kamu!” Ristiani diam. Mulutnya sudah letih karena marah-marah sejak tadi. Padahal yang dimarahi tenang saja. Malah meledek. Pulung selalu kalah berdebat dengannya. Kata-katanya jadi tak bermutu. “Aku ingin njitak kepalamu, Lung!” sengat Ristiani. Tapi nada suaranya tak segarang tadi. “Kepalamu kayak kentos! Tahu kentos ?” “Ini kentos !” kata Pulung seraya mengetuk kepalanya dengan telunjuk jari. “Mamamu suka bikin sayur kentos, ya? Sebulan yang lalu aku mengambil kelapa di kebun belakang rumahku. Sampai sekarang masih kutaruh saja. Ada yang sudah tumbuh tunasnya. Kalau dipecah, di dalamnya pasti ada kentos -nya. Kau mau? Nanti kubawakan. Memang persis kepala Pulung, kok. Cakep, ya?” Ristiani benar-benar menjitak kepala Pulung. Tapi dia tidak marah lagi. Kini dia malah terharu. Pulung itu siapa baginya? Bukan apa-apanya. Adik bukan, kakak pun bukan. Hanya teman akrab saja. Akrab sekali, sampai kadang kala Ristiani lupa bahwa dia baru mengenal Pulung sejak sama-sama duduk di kelas satu SMP beberapa bulan yang lalu. Keakraban itu sering membuat Ristiani memperlakukan Pulung sebagai adiknya. Tapi kadang kala Ristiani bermanja, seperti Pulung kakaknya saja. Pulung sering mengantarkan Ristiani pulang sekolah. Kalau Ristiani pulang bersama Pulung, dia akan merasa aman. Anakanak berandalan di sekitar stasiun kereta tak akan berani mengganggunya. Sebab jagoan mereka yang bernama Al Kicer pernah dikalahkan Pulung dalam duel satu lawan satu. Sejak saat itu rasanya aman saja tinggal di rumah, di kompleks pegawai stasiun itu. Mangga harum manis di halaman rumah pun tak pernah lagi dicuri orang. Ristiani sering merasa bangga bila dia pulang diantar Pulung. Rasanya dia bagaikan tuan putri dikawal panglima perang yang perkasa. Ah, Ristiani jadi malu karena dia telah mengata-ngatai Pulung sejak pagi tadi. “Kau lapar, ya?” tanyanya sambil menyembunyikan perasaan malu itu. “Tidak, kok. Tadi aku sarapan. Kemarin memang lapar sekali.” “Kalau kutraktir bubur kacang hijau, mau kan?” “Rasanya sih mau juga!” “Tapi janji, ya?” “Janji apa?” “Jangan berantem lagi hanya karena semangkuk bubur kacang hijau.” “Aku juga nggak senang berantem, kok. Pikirmu orang berantem nggak sakit? Kalah atau menang, sama-sama sakit, tahu?” “Tapi kemarin kau berantem!” “Iya, deh! Tapi kau kan sudah marahmarah sejak pagi. Masa mau marah lagi? Dimarahi kamu lebih sakit daripada berantem dengan Jalu, Ris!” Ristiani terhenyak. Ia menatap Pulung. “Jadi kau sakit hati karena kumarahi sejak pagi, Lung?” tanyanya dengan penuh sesal. “Kalau dikasih bubur kacang hijau sih enggak!” Ristiani mendesah. Memang dia keterlaluan. Sejak pagi marah-marah karena anak sekelas ribut bercerita tentang Jalu. Kata anak-anak, Jalu tidak berangkat sekolah karena menderita gegar otak! Ada juga yang bilang Jalu tidak bisa bangun dari tempat tidurnya karena tulang ekornya patah. Macammacamlah kata anak-anak. Ristiani meminta kepada mereka agar soal itu jangan dilaporkan kepada guru. Sementara itu, dia langsung menyerang Pulung dengan kata-katanya yang galak dan pedas. Untunglah Ristiani anak perempuan. Kalau dia anak lelaki, kepalanya sudah benjol sebesar telur bebek karena dijitak Pulung. Kini keduanya berjalan ke kantin. Gruno lagi asyik menyikat bubur kacang hijau. Dia yang pertama kali melihat Pulung dan Ristiani. Ia menyodokkan sikunya ke lambung Gogor di sebelahnya. “Jatah buburmu jangan dimakan, Gor!” bisiknya pada Gogor. “Kalau aku belum telanjur memakannya, aku juga mau ngasih jagoan kita!” Gogor paham akan maksud Gruno. Betapa inginnya ia melahap bubur kacang hijau itu. Tapi tak apalah. Demi Pulung, dia merelakannya. Gruno memesan semangkuk lagi, padahal Lodi bilang jatahnya hanya semangkuk saja. Lodi yang nraktir. Pulung duduk bersebelahan dengan Ristiani di meja, agak jauh dari tempat Gruno dan yang lain-lainnya. Kantin itu cukup luas. Ditata seperti restoran saja. Meja-meja kecil dikelilingi oleh empat buah kursi berukuran kecil pula. Karena keadaan ruangan kantin itu, anak-anak pun sering bergaya bagai orang dewasa di restoran. Gagasan menata kantin begini juga muncul dari otak anak-anak, agar mereka betah di sana. Tidak jajan di luar lingkungan sekolah yang belum tentu bersih dan sehat. Sedangkan kantin ini serba bersih dan sewaktu-waktu diperiksa oleh guru PKK. Ristiani mengacungkan telunjuknya pada Pak Kantin. Tanda minta semangkuk saja. Pak Kantin seorang lelaki setengah baya yang selalu berpakaian putih. Warna pakaian itu seolah untuk membuktikan bahwa dia juga pecinta kebersihan. Memang, belum pernah ada setitik noktah pun yang mengotori pakaiannya. Padahal dia bekerja di kantin itu sejak pagi hingga siang. Bu Kantin juga berpakaian putih. Hanya potongan roknya yang selalu berubahubah setiap hari. Tetapi warnanya tetap seputih kapas. Pak Kantin dan istrinya, kadang kala tampak seperti jururawat pria dan jururawat wanita di rumah sakit saja. Pesanan Ristiani segera disajikan. Ristiani mendorong mangkuk bubur itu ke bawah hidung Pulung. “Makanlah. Aku ingin lihat kau bisa menghabiskan berapa mangkuk,” katanya. Ia menegakkan kedua lengannya di alas meja. Dagunya disangga oleh telapak tangannya yang menghadap ke bawah. Matanya menatap mulut Pulung, seperti hendak menghitung berapa kali rahang Pulung bergerak mengunyah makanan. Pulung mengaduk-aduk isi mangkuknya dengan sendok bebek. Sendok ini terbuat dari aluminium, bentuknya seperti paruh bebek. Maka namanya sendok bebek. Datang lagi semangkuk bubur. Itu jatah Gogor. Pemiliknya sendiri yang menyajikannya. “Makan, Boss!” kata Gogor meledek. Dia berani saja meledek Pulung. Tak pernah takut, meskipun dia sama sekali tak bisa berkelahi. Sebab Pulung sangat mengasihi Gogor, seperti mengasihi Polan, adik tunggalnya sendiri. Bisa begitu karena Gogor anak yang lemah, yang harus selalu dilindungi. Lebih lagi karena mereka telah bersahabat sejak sama-sama kecil dulu. Tinggalnya pun bersebelahan. Kakek Sakeh, kakek Gogor, sudah dianggap sebagai kakek Pulung sendiri. Pulung tak punya kakek lagi, maka baginya Kakek Sakeh sama juga dengan kakeknya. Pulung menengadahkan wajahnya. “Dari mana kau punya uang?” tanyanya pada Gogor. “Nyolong telur bebek kakekmu, ya?” “Sembarangan! Nanti kugampar kamu!” hardik Gogor, seperti benar-benar berani menggampar Pulung. “Makan saja! Kalau nggak mau, nanti kamu kutempeleng sampai teler !” Pulung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan main!” serunya. “Gayamu sudah hebat! Kalau kau bisa jurus, kau pasti lebih hebat daripada Jalu!” Pulung mendekatkan mangkuk bubur kacang hijau pemberian Gogor. Tapi datang lagi semangkuk, berasal dari Gruno. “Makan lagi, Lung! Biar kamu cepat gede!” kata Gruno seraya menyodorkan mangkuk bubur kacang hijaunya. “Kamu kurang gizi, jadi badan kamu kontet!” Pulung memang kontet. Tapi dikata-katai kontet, dia tidak marah. Apalagi yang mengatangatainya ‘anak buah’ sendiri. Dia jadi heran karena para anak buahnya berani-beranian meledeknya dengan bubur kacang hijau. Dari mana mereka punya uang? Sebelum Pulung membuka mulutnya, datang lagi semangkuk bubur kacang hijau. “Tanda persahabatan, Lung,” kata anak yang menyodorkan bubur itu, si Lodi. “Kau tidak musuhan sama aku, kan?” “Brengsek kau, Lod!” Pulung mendengus. “Kaupikir aku jadi galak kalau tidak kausogok dengan bubur ini?” “Ah, ya enggak. Kemarin kukira kau akan menghajar aku juga!” “Kau memang penghasut, ya? Tahu kalau menghasut itu tidak baik, jangan kaulakukan dong! Sini buburnya!” Eh, datang lagi semangkuk! Kali ini dari Asep. Anak itu tertawa dan tidak bisa bilang apa-apa ketika meletakkan mangkuk di meja Pulung. “Kalau tertawa, tampang kamu jelek, Sep!” kata Pulung. “Tuh, kamu nggak pernah gosok gigi, ya?” Asep tertawa lagi. “Mau ngomong takut salah, Lung!” katanya. “Coba deh, ngomong! Jangan-jangan kamu mau bilang aku kontet juga?” “Nggak, kok.” “Ngomong dong!” “Kau... kau... seperti... eh...” “Ngomong saja!” desak Pulung. “Di kampungku pernah ada orang kesurupan. Dia minta bubur merah putih. Sekalinya dikasih, lima piring dihabiskannya. Kau seperti orang itu!” “Jangkrik!” Pulung menyumpah. “Gimana, ya? Kalian ikhlas nggak, ngasih bubur ini?” “Ikhlas nggak ikhlas, Lung!” kata Gogor. “Aku sendiri belum makan!” “Duduk, deh! Makan tuh semangkuk!” Gogor duduk di depan Pulung. Segera saja dia menyambar mangkuk bubur yang tadi disodorkannya untuk Pulung. “Ambil dua mangkuk, Gor! Tapi nanti kau yang nggenjot sepeda, ya?” “Oke!” Tinggal tiga mangkuk yang menganggur. Pulung mendorong semangkuk ke dekat Ristiani. “Makan, nih! Rejeki kamu!” katanya. Pulung menatap Gruno dan katanya, “Kamu pergi dong! Kalau dekat-dekat, kumakan kepalamu! Muka kamu kayak telur ceplok, tahu?” “Iya, deh! Kalau ada Ristiani, lihat aku sebel, ya Lung?” kata Gruno seraya melangkah ke mejanya. Dua mangkuk bubur kacang hijau, cihuy! Pulung melahapnya, Gogor pun melahapnya. Ristiani hanya semangkuk saja. Rasanya enak sekali. Sebab Ristiani lega, ternyata Pulung tidak musuhan dengan Lodi dan Asep. Bukan apa-apa, rasanya sedih kalau Pulung ribut melulu dengan teman-temannya. Pulung memang selalu menang. Tapi Ristiani tidak tega membayangkan Pulung berantem. Kenapa, ya? Ristiani sendiri tidak tahu kenapa. *** Mereka berhenti di perempatan jalan yang ada patung tentaranya. Pulung ragu, akan pulang saja atau menjenguk Jalu Prakosa? “Tadi kenapa kau tidak menjemputnya, Lod?” tanyanya, menyesali Lodi. “Aku buru-buru, Lung. Bangun saja kesiangan!” kata Lodi. “Aku tidak pernah menjemputnya,” kata Asep, kuatir disalahkan pula. “Habis rumahnya kan jauh dari rumahku. Harusnya dia yang menjemputku, karena kalau ke sekolah dia sering lewat di depan rumahku.” Pulung tahu, Asep dan Lodi memang tinggal agak jauh dari rumah Jalu. Desa Jalu bernama Kalitepung. Dinamakan begitu karena desa itu dikelilingi oleh sebuah sungai yang melingkar seperti gelang, hampir saling bertemu. Sungai itu dinamakan Kalitepung. Artinya sungai yang bertemu. Desa di tengah gelang raksasa itu disebut desa Kalitepung. Istimewanya, hanya ada satu jembatan untuk masuk ke desa itu. Keadaan ini membuat desa itu aman dari gangguan penjahat. Setiap penjahat yang masuk ke sana, hampir tak bisa keluar bila jembatan dijaga rapat. Kecuali penjahat berani terjun ke sungai. Tapi dia pun belum tentu selamat. Arus sungai itu sangat deras dan penuh batu bersembulan. “Boleh usul, Lung?” tanya Lodi dengan agak ragu. “Apa usulmu?” sambut Pulung. Ia senang kalau Lodi sudah mau bersikap seperti duludulu lagi, tidak memandangnya sebagai makhluk yang menakutkan. “Sebaiknya kau menjenguknya,” kata Lodi. “Terus terang, aku kuatir Jalu benar-benar...” “Apa?” “Eh... mudah-mudahan sih tidak.” “Kenapa?” “Aku kuatir kalau dia... lumpuh...” “Oh!” “Maaf, Lung. Soalnya kemarin saja dia tidak bisa naik sepeda. Asep menuntun sepeda Jalu sambil mengayuh sepedanya sendiri. Jalu membonceng aku. Yah... aku menyesal juga kenapa tadi tidak menjenguknya.” Pulung menoleh pada Gruno untuk minta pendapat. “Baiknya pulang dulu,” kata Gruno tanpa ditanya. “Bapakmu makin galak saja, Lung. Pergi ke mana-mana tanpa pulang dulu, kau bisa ditendang!” “Iya, Lung,” sahut Gogor. “Kalau nanti aku tidak boleh ikut kau, jangan marah, ya. Di rumah banyak pekerjaan. Tadi saja seekor bebek kakekku mati...” Pulung menuruti saran itu. Ia bingung bukan main. Kalau benar Jalu lumpuh... Di rumah, ia melakukan segala sesuatunya dengan cepat. Urut-urutannya tetap sama: sholat dhuhur, makan siang, dan membantu Ibu bekerjadi dapur, lalu santai sejenak. Tapi begitu akan berangkat ke Kalitepung, datanglah Tante Yan. Wanita itu masih sangat muda. Pantas menjadi adik Ibu. Lebih-lebih karena keduanya sama-sama cantik di mata Pulung. Untuk menilai kecantikan wanita, Pulung sering dipengaruhi oleh kebaikan wanita itu. Ibu sangat cantik, karena dia baik sekali. Tante Yan juga cantik sekali, karena ia tak kalah baik dengan Ibu. Kebetulan kedua wanita itu memang sungguh-sungguh cantik. “Aduuuuuh, enaknya!” seru Tante Yan begitu melihat Pulung duduk santai di serambi rumah papan kayu jati itu. Semula kaki Pulung terangkat sebelah, gaya penarik becak makan di warung kopi pinggir jalan. Begitu melihat Tante Yan, sertamerta ia menurunkan kakinya. Tandanya dia menghormati Tante Yan. Rasanya malu juga duduk mengangkat sebelah kaki begitu. “Siang, Tante!” seru Pulung dengan gembira. “Tante tahu saja Pulung nggak punya duit!” “Ooo...,” mulut Tante Yan membulat, bentuknya seperti lorong kecil. “Sejak kapan Pulung jadi mata duitan begitu?” “Mata duitan sih tidak, Tante. Habis kalau lagi butuh, mau minta siapa? Percuma dong punya tante cakep, tapi pelit!” “Kau curang! Memuji kalau lagi ada maunya!” Pulung tertawa. Tante Yan sahabat Ibu. Sedangkan Pulung sahabat mendiang Nansy, anak Tante Yan. Setelah Nansy tiada, Tante Yan makin bertambah sayang pada Pulung. Ia menjadikan Pulung sebagai pengganti Nansy. Pulung mengerti akan penderitaan Tante Yan. Maka ia pun sering menghibur tante yang tak punya anak lagi itu. “Tante ke sini mau apa, sih?” tanya Pulung meledek. “Mau lihat apa rambutmu masih seperti ijuk!” “Kalau masih, Tante mau ngasih duit, kan?” “Mau, tapi ngambil duitnya di rumah Tante!” Pulung meloncat. Ia berjalan beriringan dengan Tante Yan ke arah selatan. Menuju Gedong Lawang Satus. Di sanalah Tante Yan tinggal. Gedung besar bangunan kuno itu memang sangat dikenal dengan sebutan Gedong Lawang Satus. Orang menyebutnya begitu karena pintunya banyak sekali. Gedong Lawang Satus artinya ‘gedung berpintu seratus’. Pulung mengeluh karena harus berada di Gedong Lawang Satus pada saat dia akan pergi. Tapi di sini menyenangkan juga. Di rumah kuno ini banyak pelayan. Ada juga petugas bagian keuangan, Bu Renti namanya. Pulung juga akrab dengan Bu Renti. Bila Pulung muncul di sana, Bu Renti pasti segera menyajikan es sirop. “Pulung sedang sedih, ya?” tiba-tiba Tante Yan bertanya begitu seraya memandangi Pulung. Gaya Pulung minum es sirop sebenarnya biasa-biasa saja. Tapi entah ya, Tante Yan melihatnya dengan perasaan kagum. Sepertinya semua tingkah Pulung mencerminkan kegagahan jiwanya, kejantanan sikapnya. Itulah gambaran seorang anak lelaki yang dirindukan oleh Tante Yan. Sayang dia tak punya, hanya boleh mengaku anak Pak Bayan belaka. “Pulung mau tanya, Tante,” kata Pulung. “Soal apa? Kau berantem lagi?” “Berantemnya sih sudah selesai. Tapi kayaknya buntutnya panjang juga.” “Musuhmu berniat menyerbu ke sini? Kau belum bosan juga berkelahi? Tante pikir apa sih untungnya berkelahi?” Memang, Pulung harus menceritakan semuanya pada Tante Yan. Dia pun bercerita, dari awal sampai kejadian siang tadi di kantin. Tante Yan mendengarkannya dengan penuh perhatian. Dia merasa, dia pun harus berterus terang pada Pulung tentang akibat tulang ekor yang patah atau salah satu ruasnya masuk ke ruas lainnya. “Memang bisa menimbulkan kelumpuhan,” kata Tante Yan. “Tapi apa temanmu itu benarbenar menderita patah tulang? Mestinya kau menengoknya.” “Pulung memang akan ke sana,” sahut Pulung seraya berjalan ke serambi. Entah kenapa, setiap kali akan meninggalkan rumah itu, ia memerlukan menjenguk serambi. Lalu menatap gambar Nansy sesaat, bagaikan mengucapkan selamat berpisah. Baginya Nansy memang tak pernah mati. Dia masih hidup, terpateri di hati Pulung. Tante Yan mendesah ketika Pulung menatap gambar Nansy. Dia mengerti akan perasaan Pulung. Tiba-tiba dia pun menjadi gelisah. Lalu perasaan sepi menyelinap di hatinya. Rumah besar ini, betapa sunyi bila Pulung meninggalkannya! “Tante ingin jalan-jalan ke kota,” kata Tante Yan. Ia hanya mencari dalih agar Pulung tetap bersamanya. “Mungkin hari ini Oom tidak pulang. Tuh, dia tidak bawa mobil. Mau ikut jalan-jalan?” “Pulung mau ke Kalitepung saja.” “Tante antar ke sana, ya? Pulangnya kita putar-putar ke kota atau ke pantai. Mau?” “Enaknya sih pergi sendirian saja.” “Yah... Tante tahu, deh... kau memang tidak bisa dipaksa.” Jadinya Pulung tidak tega membiarkan Tante Yan kecewa. Dia pun mau diantar naik mobil Landrover. Seperti anak orang kaya saja. Dia duduk bergaya di depan, di sebelah kiri Tante Yan yang mengemudi. Tentu saja Pulung mengenakan celana panjang. Dia menyimpan juga sebagian pakaiannya di Gedong Lawang Satus. Di rumah besar itu dia punya kamar sendiri, punya lemari, meja belajar, tempat tidur, dan semua itu semula milik Nansy. Kalitepung tak jauh bila ditempuh dengan Landrover warna merah hati ayam itu. Apalagi Tante Yan suka ngebut. Jalan berbatu dilalapnya saja. Perut pun terasa enek diguncang-guncang kendaraan itu. Matahari di langit Kalitepung sebenarnya juga matahari di langit desa Pulung, matahari di langit mana pun, sebab hanya satu matahari yang diciptakan Tuhan. Tapi kenapa ya, matahari sore itu tampak begitu indahnya? Kalitepung merupakan dataran yang hijau. Pohon-pohon tinggi menaungi genting-genting rumah dan atap rumbia di beberapa buah gubuk. Sela-sela daun pepohonan itu ditembus oleh sinar kemerah-merahan yang condong ke barat. Pada jam setengah lima sore, berkasberkas sinar memanjang itu bagai lembing yang menghunjam di atas tanah berwarna merah. Indahnya! Dan punggung riak-riak air di permukaan sungai itu, betapa gemerlapan memantulkan sinar matahari. Seolah yang tampak itu bukan sungai belaka. Bila dilihat dari arah timur, permukaan sungai itu bagaikan taburan mutiara layaknya. Tapi bisakah Pulung menikmati keindahan itu? Hatinya sedang gelisah dan cemas. Mobil yang melonjak-lonjak mengocok perutnya pun sudah membuatnya marah. Apalagi pantulan sinar matahari dari permukaan air. Betapa menyakitkan mata. Padahal kata Tante Yan, pantulan sinar matahari itu berwarna-warni indah sekali. Tante Yan mengenakan kaca mata hitam, maka dia tak silau oleh pantulan sinar matahari. Lagi-lagi Pulung marah, sekali ini pada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak mengenakan kaca mata hitam yang disimpannya di lemari pakaian dalam kamar di Gedong Lawang Satus? Padahal dia akan merasa gagah bila mengenakan kaca mata itu. Meskipun sebenarnya itu kaca mata anak perempuan, warisan mendiang Nansy Evangeline pula. “Aha!” seru Tante Yan tiba-tiba seraya mengerem mobilnya dengan mendadak. Pulung hampir terjungkal dari kursinya. Melihat hal itu, Tante Yan tertawa. “Jangan marah! Tante tidak sengaja bikin kau malu begitu!” “Nggak malu, kok.” “Kok cemberut?” “Maunya sih memaki. Tapi apa pantas kalau Pulung memaki Tante?” “Tidak, sama sekali tidak pantas. Tante sedih kalau Pulung tidak bisa menjaga mulut.” “Terus terang, Tante!” Pulung bersungguhsungguh. “Pulung paling benci kalau Tante ingat akan sesuatu pada saat sedang ngebut! Pasti kaki Tante menginjak pedal rem dengan tidak sengaja. Padahal pedal gas juga sedang diinjak. Tadi mobil ini hampir jungkir-balik!” “Sori, deh! Tante memang suka begitu. Habis tiba-tiba Tante ingat Pak Lurah Kalitepung!” “Ingat sama lurah saja, begitu! Apalagi kalau Tante ingat sama jin! Tante sering dengar cerita tentang Jin Kepala Botak yang katanya tinggal di desa ini, kan?” “Ih!” Tante Yan bergidik. “Jangan ngomong yang begituan, ah! Tante jadi serem!” Ini bertele-tele. Pulung tak suka sesuatu yang bertele-tele. Dia diam saja, agar Tante Yan juga diam. Ternyata Tante Yan tidak diam. Ia bilang, “Pak Lurah kan sedang sakit keras! Sudah seminggu ini, malahan! Aduh, Tante jadi lupa! Kita mampir dulu ke rumah Pak Lurah, ya? Habis Pak Lurah sudah baik sama Tante...” Tiba-tiba Pulung meloncat turun dari mobil. Padahal mobil masih melaju. Kalau bukan Pulung, dia pasti sudah terjungkal lima kali. Meloncat dari mobil yang berjalan memang membahayakan. Tapi kalau tahu caranya, itu sebuah olahraga yang menyenangkan. Hitunghitung latihan jadi tentara! “Lung! Aduh! Pulung!” jerit Tante Yan seraya mengerem mobil sampai berhenti kontan. Ia menjenguk ke luar lewat jendela. Pulung melambaikan tangannya seraya berjalan bergegas. “Bisnis kita masing-masing, Tante!” serunya seenaknya. Tante Yan tahu, percuma mencegah Pulung. Dia, membelokkan kendaraannya ke rumah Pak Lurah. Pulung berlari-lari kecil menjauh. Entah ke mana, Tante Yan tak tahu. Rumah Jalu cukup bagus. Tidak besar, tetapi mungil dan rapi. Nyata penghuninya pecinta keindahan. Bunga-bunga ditata di halaman berpagar tanaman beluntas. Tak ada bunga-bunga mahal seperti di rumah Tante Yan. Tetapi karena penataan yang tepat, keindahan terpancar juga dari halaman luas di depan rumah tembok mungil itu. Lagi-lagi Pulung tidak bisa menikmati keindahan di Kalitepung. Pintu rumah Jalu terkunci. Maka keindahan itu makin tak bermakna karena hati Pulung makin gelisah saja. Ada seorang anak perempuan berambut dikucir mirip ekor kuda. Poninya berserabutan. Padahal bila disisir rapi, pasti indah sekali. Poni yang kacau balau itu menandakan si gadis kecil belum mandi, atau baru saja bekerja keras. Entah kenapa, Pulung ingin menyapa gadis kecil itu. Tapi ia kalah cepat. Gadis kecil itu menyapanya lebih dulu, “Mencari Mas Jalu, ya?” “Iya! Tahu saja, kau!” sahut Pulung agak gugup. Ia masih terpana melihat penampilan gadis kecil itu. Anak desa, tapi wajahnya berkesan ngota. Lebih-lebih dandanannya. Ia mengenakan celana pendek. Agaknya itu celana laki-laki. Dan agaknya milik kakaknya, karena nyata kedodorah. Bajunya blus pendek. Maka Pulung mengharapkan gadis kecil itu menggeliat agar dia bisa melihat pusarnya. Tapi gadis kecil itu malah terbungkuk-bungkuk. Mungkin karena dandanan Pulung yang agak hebat, maka gadis kecil itu menghormati Pulung dengan berlebihan. “Mas Jalu tidak ada. Apa Mas... eh... situ yang namanya Mas Pulung, ya?” ujar gadis kecil itu dengan tersipu. “Betul lagi! Kamu kok pinter, sih?” seru Pulung gembira. Dia memang selalu gembira bila seseorang mengenal namanya sebelum ia memperkenalkan diri. Tandanya dia orang top. Kalau tidak, nyamuk pun tak akan sudi menyapanya begitu ramah. “Saya adik Mas Jalu,” kata gadis kecil itu. “Wah! Kamu cakep sekali seperti Mas Jalu! Namamu siapa?” “Malu, ah!” gadis kecil itu tersipu. “Kalau tidak mau nyebutin namamu, kau kupanggil saja Jali. Habis kakakmu bernama Jalu!” Gadis kecil itu tertawa. Rupanya ia tidak keberatan dipanggil Jali. Atau memang namanya Jali? “Mas Jalu di kuburan Ibu,” katanya seraya berlalu. Sikapnya seolah mengajak Pulung untuk mengikutinya. “Kuburan ibu? Masya Allah! Jadi semalam ibu kalian...” “Ibu sudah meninggal sejak setahun yang lalu.” “Oh... kukira baru semalam.” Pulung melangkah bergegas dengan perasaan agak lega. Kalau ibu Jalu meninggal baru semalam, tentu Jalu sedang berkabung. Tapi kenapa dia berada di kuburan ibunya? Letak kuburan itu tak jauh dari rumah Jalu. Hanya kuburan keluarga, bukan kuburan umum. Luasnya sekitar lima ratus meter persegi. Di sekelilingnya, tegak pagar bambu gendani hidup. Tanaman ini sejenis perdu, merupakan tanaman bambu mini yang besarnya hanya sejari. Gerbangnya tak berpintu. Tepat di mulut gerbang itu, berjalur jalan setapak yang lurus membelah tanah kuburan. Di kanan-kiri jalan setapak berkerikil itu terdapat nisan-nisan tua dari kayu sengkulun, sejenis kayu yang kuat dan keras. Jalu berdiri di dekat makam yang beratap dan berlantai tegel. Agaknya itu makam leluhurnya. Ia tampak gembira begitu melihat Pulung memasuki gerbang makam itu. Tapi Pulung terperanjat melihat sebilah golok tersandang di pinggang Jalu! “Apa-apaan kau, Lu? Kayak jagoan saja!” seru Pulung, menyatakan keheranannya. “Kami sedang berjaga, Lung!” kata Jalu seraya menunjuk ke sebuah makam berlantai semen. “Duduk saja di situ. Itu makam ibuku.” Jalu mengatakan ‘kami’. Berarti dia tidak sendirian di sana. Ternyata dia bersama ayahnya. Orang tua itu juga menyandang golok! “Ada perang, ya?” bisik Pulung seraya duduk di lantai makam ibu Jalu. “Sejak kemarin kami di sini,” kata Jalu seraya memandangi sebuah lubang sampah. Di sana sisa-sisa makanan dan daun pembungkus tampak bertumpuk. Tandanya Jalu dan ayahnya menetap di sini sejak kemarin. Makanan dan minuman dikirim dari rumah oleh adik Jalu. “Kau sehat-sehat saja, Lu? Pinggangmu...” “Tidak apa-apa.” “Tulang ekormu?” “Urutanmu hebat, Lung! Hanya tinggal nyeri sedikit. Tapi kata Bapak, uratnya tidak ada yang salah. Belajar mengurut di mana, sih? Kau bisa buka praktek sebagai tukang pijit ahli, Iho!” Pulung tertawa karena merasa geli, juga karena senang melihat Jalu tidak cedera seperti sangkanya. “Kenapa kau tidak masuk?” bisiknya. “Kau budek, ya? Sudah kubilang dari kemarin aku berjaga di sini bersama Bapak!” “Ada apa, sih? Kuburan ini akan digusur?” “Tidak. Kami sedang melawan orang-orang yang akan bikin sembarangan di sini. Kau pernah dengar cerita tentang Mbah Sawunglanang? Kuburannya yang beratap itu.” “Sedikit-sedikit aku pernah mendengarnya.” “Mbah Sawunglanang itu kakek buyutku. Ayahku adalah satu-satunya keturunan langsung Mbah Sawunglanang. Cucu Mbah Sawunglanang lainnya sudah meninggal. Sebagian karena wabah kolera, sebagian karena gugur pada masa revolusi dulu. Pernah dengar kisah tentang bom-bom yang meledak di desa ini, kan? Pada saat itulah banyak keturunan Mbah Sawunglanang tewas. Tinggal ayahku seorang. Sedangkan ayahku hanya punya seorang anak lelaki. Jadi aku satu-satunya cucu buyut keturunan langsung Mbah Sawunglanang...” “Dari tadi kau tidak bilang kenapa kau berjaga di sini,” Pulung memotong karena tak sabar menunggu jawaban yang singkat dan cepat. “Mbah Sawunglanang adalah orang sakti,” Jalu masih berbicara tentang kisah hebat kakek buyutnya. Di wajahnya tampak perasaan bangga yang menggunung. “Kuburan ini dikeramatkan orang. Yah, aku tidak lahu apa ada kuburan keramat apa tidak. Kata guru mengajiku, yang punya keramat adalah para wali. Tapi nyatanya orang mengeramatkan kuburan Mbah Sawunglanang.” “Karena dikeramatkan, maka kau menjaganya? Begitu?” potong Pulung kesal. “Kemarin tersiar kabar ada orang yang akan membuat brendung di kuburan ini.” “Brendung? Hm... aku lupa-lupa ingat brendung itu apa...” “Boneka dari gayung dan merang yang bisa mencari pencuri.” “Oh, ya! Aku pernah mendengarnya. Tapi aku belum pernah melihatnya.” “Nah! Brendung itu akan kesurupan dan bisa bergerak dengan sendirinya setelah dimanterai di kuburan yang keramat. Orangorang memilih kuburan Mbah Sawunglanang untuk membuat brendung. Tentu saja kami tidak mengizinkannya. Pikir mereka apa? Memangnya arwah Mbah Sawunglanang gentayangan menjadi hantu, apa?” Kuburan itu memang tampak bagaikan taman. Banyak bunga ditanam dengan tatanan yang asri. Bunga puspanyidra kuning melambai-lambai dalam kelompok yang saling merapat di dekat gerbang. Sedangkan rumpun melati berhimpitan di sisi kelompok puspanyidra. Dan kenanga yang wangi berpohon tinggi, meliuk-liuk bagaikan cambuk raksasa yang tegak di tanah berumput. Ada juga mawar merah muda di sekitar kuburan beratap. Ah, kuburan ini lebih mirip sebuah taman daripada tanah pemakaman. Namun membicarakan hantu di tempat ini, tak urung terasa mendirikan bulu roma juga. Pulung berusaha menekan rasa takutnya. Dia paling malu bila ketahuan bahwa dirinya masih takut juga pada hantu. Padahal dia tak pernah melihatnya. Padahal dia pun yakin, tak akan ada hantu yang berani mengganggu orang-orang beriman. Apalagi Pulung telah menguasai doa-doa pengusir setan, jin, dan sebangsanya. Ia mempelajarinya dari Pak Gowok, lelaki penjaga kuburan di desanya yang dulu dianggap gila oleh penduduk. Pak Gowok pernah mengajarkan doa Nurbuat. Doa untuk menjaga diri dari gangguan segala macam makhluk jahat.2 Bila doa itu dibaca, dan Tuhan mengabulkan, apa lagikah yang ditakutkan? “Jadi... jadi kau tidak rela kalau kuburan seindah ini diinjak-injak oleh orang yang bukan keturunan Mbah Sawunglanang?” tanya Pulung, berusaha mengalihkan percakapan dari soal hantu. “Kalau mereka bermaksud berziarah, kami 2 Baca: Pulung - Hantu Nansy tidak apa-apa. Tapi mereka bermaksud membuat brendung di sini. Mereka yakin, arwah Mbah Sawunglanang bisa masuk ke tubuh boneka gayung itu dan pergi mencari pencuri. Kau murid terbaik Wak Solikun. Pasti kau tahu sebenarnya arwah itu tinggal di mana. Lung, menurutmu apa benar arwah Mbah Sawunglanang berkeliaran?” “Aku tidak tahu. Tapi kata Wak Solikun, arwah seseorang yang beriman berada di sisi Tuhan.” “Jadi arwah Mbah Sawunglanang mungkin di sisi Tuhan, kan? Atau memang gentayangan?” “Aku tidak tahu. Kalau menurut cerita yang pernah kudengar, Mbah Sawunglanang adalah orang baik-baik. Ia bahkan pernah memimpin penduduk desa untuk menentang penjajahan. Ia dihormati oleh semua orang. Namanya menjadi buah bibir karena keperkasaannya melawan penjajah. Ia meninggal dengan tenang karena usia tuanya. Iya, kan?” “Ya. Kau tidak tahu kan, Mbah Sawunglanang juga pernah memimpin sebuah pesantren pada zaman kolonial dulu? Pesantrennya ditutup oleh Kompeni karena dikuatirkan menjadi sarang orang pergerakan. Sebenarnya para santri Mbah Sawunglanang memang tokoh-tokoh perjuangan. Mereka menghimpun kekuatan untuk ikut merintis kemerdekaan. Pada zaman Jepang, konon pesantren itu diobrak-abrik dan dibakar. Lung, apa orang semacam Mbah Sawunglanang arwahnya gentayangan?” “Aku tidak tahu. Siapa sih yang bisa memastikan apa arwah seseorang gentayangan atau tidak?” “Tapi banyak orang merasa pernah bertemu dengan arwah buyutku itu. Ceritanya macammacam. Ada yang bilang arwah itu suka minum kopi di warung pojok sana. Ada juga yang bilang suka mengisap rokok cerutu. Tapi kata Bapak, mendiang Mbah Sawunglanang anti rokok.” “Cerita macam begitu bisa terjadi di manamana. Kau tak usah percaya begitu saja. Tapi aku boleh tanya, kan?” “Tanya apa?” “Apa keluargamu mengeramatkan kuburan Mbah Sawunglanang? Maksudku, apa keluargamu juga percaya bahwa arwah itu masih berkelana ke mana-mana sehingga kuburannya begitu diistimewakan? Jangan marah, Lu. Aku ingin tanya saja, kok.” “Kami sih tidak mengeramatkan. Tanah kuburan ini dulu milik Mbah Sawunglanang sendiri. Ketika ia meninggal, para murid dan pengikutnya menguburkannya di sini. Tempat ini dibuat seperti taman agar orang tidak takut. Jadi bukan untuk mengeramatkannya. Bahkan sebaliknya, agar orang suka berkunjung ke sini untuk berziarah dan sekedar mengenang perjuangan orang-orang dulu terhadap kemerdekaan. Kata Bapak sih begitu. Tapi nyatanya sekarang orang mengeramatkan makam ini. Banyak yang ke sini untuk minta rezeki, atau minta naik pangkat. Mereka tidak meminta kepada Tuhan, melainkan kepada kuburan. Susah ya, Lung?” Adik Jalu menyajikan teh hangat dari dalam termos. Manis juga. Meskipun tak ada makanan, lumayan untuk pembasah tenggorokan yang kering. “Mari, Mas. Hanya teh saja, kok,” kata anak perempuan itu. Ah, manisnya dial Matanya jernih, serupa mata kakaknya. Wajahnya... bagaimana ya bilang tentang wajah itu? Kelihatan tidak lembut seperti wajah anak perempuan. Tapi dia manis, sungguh! Bibirnya coklat muda dan bentuknya kukuh. Hidungnya bangir, seperti juga hidung Jalu. Jadi anak perempuan ini akan tampak ganteng bila dia berpakaian laki-laki. Namun dia manis dalam pakaian anak perempuan. Termasuk anak perempuan yang gagah, mungkin begitu cara mengatakan tentang dia. “Lung! Kau kok menatap adikku begitu seru? Nanti dia takut!” tegur Jalu setelah dia menyadari sejak tadi Pulung menatap adik perempuannya. “Eh... bukan apa-apa, Lu. Adikmu cakep, ya? Namanya Jali, ya?” “Sembarangan! Semua keturunan Mbah Sawunglanang punya nama yang khas, tahu? Namaku saja Jalu Prakosa. Nama itu bisa berarti ‘lelaki perkasa’, juga bisa berarti ‘taji kukuh’. Hebat, kan? Yang punya taji kan ayam jantan! Kau tahu nama Bapak?” “Nggak.” “Bapak bernama Turanggawulung. Panggilannya Pak Rangga. Arti nama Bapak kautahu, Lung?” “Kuda hitam.” “Ya. Seperti nama orang Indian, ya?” “Kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris, memang seperti nama orang Indian. Kepala suku, lagi! Eh, kamu!” Pulung menunjuk adik Jalu. “Sudah belajar bahasa Inggris, belum?” “Di Balai Desa ada kursus bahasa Inggris untuk anak-anak SD, Iho!” “Kamu ikut kursus?” “Baru sebentar, kok.” “Turanggawulung dalam bahasa Inggrisnya apa?” Adik perempuan Jalu tersipu. Anak Jawa memang begitu. Malu-malu untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya diketahuinya. Kuatir dibilang sombong atau keminter (sok pinter). “Kalau kau tahu, bilang dong!” desak Jalu pada adiknya. Dia bangga kalau adiknya bisa menjawab pertanyaan Pulung. “Kalau salah, jangan diledek, ya?” kata anak perempuan itu pada Pulung. “Nggak, dong. Apa bahasa Inggrisnya Turanggawulung?” “Black Horse. Salah, ya?” “Betul, kok. Namamu siapa, dong? Masa namamu Jali?” “Night Moon.” “Hah?” Pulung terkejut benar. “Wauw! Itu nama gadis Indian anak kepala suku, ya?” Jalu tertawa. “Tahu rasa, Lung! Memang cuma kau yang jagoan? Adikku juga bisa nonjok kamu sampai kamu hampir kelenger, kan?” seru Jalu bangga. “Hebat, ya? Bulan Malam... wah! Baru kudengar Iho, nama yang hebat begitu! Bulan Malam... ah, masa sih nama kamu Bulan Malam?” “Betul, kok,” kata gadis kecil itu, sudah tidak malu-malu lagi. “Nama keluarga kami memang hebat. Nama kakek buyut kami saja Ayam Jantan. Iya, kan Mas Pulung?” “Iya, Adik Bulan Malam. Sawunglanang artinya memang ayam jantan.” “Namaku bukan Bulan Malam!” “Habis apa? Tadi kaubilang Night Moon. Terjemahannya kan bulan malam?” “Wulanratri!” “Oh.” Pulung melongo, menyadari kebodohannya. “Jadi harus diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dulu, ya? Kalian hebat, deh. Nggak sangka, di udik begini ada anak hebat kayak kalian!” “Kamu memuji tetapi sekaligus mengejek, ya?” kata Jalu. Pulung tertawa. Ooo... Wulanratri! Ooo... Bulan Malam! Betapa kau tidak mengejek, betapa kau hanya tersenyum kecil! Tapi senyummu, betapa membuat hati Pulung malu! Seorang anak lelaki melongok di gerbang kuburan. Kelihatannya dia tak berani masuk, tetapi ingin memanggil seseorang. Jalu bangkit dan berjalan menghampiri anak itu. Pulung melirik Wulanratri. “Teh ini manis, ya? Tapi cara manggil kamu bagaimana? Wulan saja atau Ratri saja?” “Terserah.” “Kalau terserah, mendingan kupanggil Bulan Malam.” “Terserah Mas Pulung.” “Nggak marah?” “Nggak.” Jalu berbalik menghampiri Pulung. “Apa kau punya tante, Lung?” tanyanya keheranan. “Punya, dong! Memang aneh kalau aku punya tante?” “Maksudku... anak itu bilang kau dicari tantemu.” “Aku memang bersama Tante, kok. Tadi dia di rumah Pak Lurah.” Jalu tampak keheranan. Setahunya, anak desa Pulung tidak ada yang memanggil adik orang tuanya dengan sebutan Tante. Di sana seorang kemenakan memanggil tantenya dengan panggilan Mak Cilik (Ibu Kecil). Jalu lebih heran lagi ketika Pulung bilang, “Tante bawa Landrover. Mau kenalan sama Tante? Ke sana, yuk! Bulan Malam juga boleh ikut!” Jalu tidak tahu, Landrover itu merek mobil. Pikirnya, Landrover sebangsa kue. Landrover itu sudah menderum. Tante Yan melongokkan kepalanya dan menoleh ke belakang. Ia meloncat turun dari kendaraan itu begitu dilihatnya Pulung bersama Jalu dan Ratri. Tante Yan memang orang ramah dan menyukai anak-anak. Kedua tangannya terentang ke samping seperti orang hendak bersenam. “Halo!” sapanya dengan wajah ceria. “Kau pasti Jalu dan kau pasti adiknya Jalu! Iya, toh?” Jalu terkesan sekali pada penyambutan itu. Ia mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Sikapnya sopan sekali. “Saya Jalu, Tante. Kemarin saya berantem dengan Pulung.” “Ah, Pulung memang suka berantem. Itu sebabnya Tante ikut ke sini. Tante kuatir dia berantem lagi!” Tante Yan menatap Ratri. Sesaat terbayang wajah Nansy di pelupuk matanya. Bila Nansy masih hidup, mungkin dia sebesar Ratri. “Manis sekali,” kata Tante Yan sambil mencubit pipi Ratri setelah ia menyalami tangan gadis kecil itu. “Tante senang deh, kenalan sama... siapa tadi namanya?” “Ratri, Tante.” “Aduh, manisnya namamu! Yuk, main ke rumah Tante, yuk!” “Terima kasih, Tante. Lain kali saja.” “Nanti malam Pulung ke sini lagi, Tante,” Pulung menyela. “Mau nonton brendung !” “E, jangan! Tante nggak mau ngantar, Iho!” “Pulung berani sendirian.” Tante Yan tahu, percuma saja mencegah Pulung. Anak itu memang biasa keluyuran pada malam hari. Tidur di mana pun tak pernah dilarang oleh ayahnya. Asalkan dia tidak melakukan hal-hal yang tercela. Dalam seminggu, paling banyak dua kali Pulung tidur di rumahnya. Lebih sering di langgar Wak Solikun atau, di Gedong Lawang Satus. Pulung meloncat ke mobil. Ia berseru pada Ratri, “Bikin teh manis yang hangat, ya? Nanti malam aku mau nonton brendung !” “Teh saja? Nggak pakai kue?” seru Ratri. “Kalau kau main ke rumahku, pasti kau kuajak makan! Nggak tahu cara orang Kalitepung menerima tamu pakai ngajak makan atau tidak!” Ratri tertawa. Jalu merasa, adiknya lebih menarik perhatian Pulung. Dia tertawa menyadari sejak tadi dirinya sudah tersisih oleh Ratri. 3 SEUNTAI KALUNG BERLIAN PENJAGAAN makam itu sudah cukup kuat. Pak Rangga menyandang golok dengan sikap gagah bagai jagoan di masa lalu. Anaknya tak kurang gagah, juga dengan golok di pinggangnya. Mereka berjaga di gerbang kuburan Mbah Sawunglanang. Pulung di sana, duduk di bawah atap makam yang dikeramatkan itu. Tetapi dia tak bersenjata. Kehadirannya di kuburan itu pun bukan untuk berjaga-jaga, meskipun Jalu menganggap hadirnya Pulung merupakan tambahan kekuatan. Apalagi Gruno juga ada di sana, bersama Gogor pula. Meskipun Gogor hanya anak lelaki yang lemah, lumayanlah kedatangannya untuk menambah jumlah penjaga. Begitu pikiran Jalu. Pulung mereguk teh manis sajian Ratri. Ia teringat akan Wak Solikun, akan nasihatnasihatnya. Tak boleh orang makan dan minum di kuburan, kata Wak Solikun. Tapi tak mau mencicipi sajian Ratri, tentunya akan menyinggung perasaan. Pulung pun menikmati hidangan itu, teh manis dan getuk lindri. Lalu dia menyadari, untuk apa sebenarnya dia berada di kuburan ini? Tidak ada tandatanda orang datang untuk membuat brendung. Ia bangkit dan menghampiri Jalu. “Aku ingin jalan-jalan, Lu,” katanya. “Di sini sumpek rasanya.” “Jangan ke mana-mana, Lung!” cegah Jalu. “Tenagamu kuperlukan di sini!” “Untuk apa?” “Ah, kau masih tanya-tanya juga! Kubilang orang akan datang untuk bikin brendung di sini!” Pulung memanggil Gruno. Karena Gruno menghampiri Pulung, Gogor pun ikut. Dia merasa takut hanya berdua Ratri di dekat makam Mbah Sawunglanang. Padahal Ratri berani sendirian di sana. Toh tak jauh dari tempat itu, ada ayah dan kakaknya. Ada juga teman-teman kakaknya. Lagi pula, apa yang ditakutkan di makam leluhurnya? “Di desa Gruno orang sering membuat brendung,” kata Pulung. “No, kasih tahu bagaimana cara orang membuat brendung itu!” “Aku sudah tahu!” kata Jalu ngotot. “Mereka membuat boneka gayung yang diberi tangan dan kaki dari bilah bambu berbungkus merang3 dan diberi pakaian. Boneka itu dibawa ke kuburan yang dianggap angker. Orang yang bertindak sebagai dukun biasanya wanita. Dukun brendung membakar kemenyan dan menyediakan sesajian berupa makananmakanan kecil. Ia membaca mantera, sedangkan para pembantunya menyanyi diiringi bunyi tetabuhan. Syair nyanyian itu berisi panggilan agar danyang brendung merasuk ke dalam tubuh boneka gayung. Danyang brendung adalah roh halus yang menggerakkan brendung. Tetabuhannya berupa bunyi-bunyian 3 Tangkai padi dari kaleng, alat-alat dapur, batang bambu, dan sebagainya...” “Betul, No?” tanya Pulung. “Betul!” sahut Gruno. “Siapa yang bodoh kalau begini?” sela Pulung kesal. “Tadi kaubilang orang memulai upacara membuat brendung pada menjelang maghrib! Bukan pada malam hari! Ini jam berapa? Sudah jam tujuh, kan? Brendung tidak bisa dibuat pada jam-jam begini. Katamu tadi begitu! Jangan konyol, No! Kasih tahu sama Jalu!” Gruno merasa bersalah. Ia berkata pada Jalu, “Pulung benar, Lu. Orang membuat brendung lazimnya pada menjelang maghrib. Tepat pada saat maghrib tiba, brendung sudah jadi. Artinya boneka gayung itu sudah bisa bergerak dan mencari pencuri.” Jalu memikirkannya. Ia memang tidak tahu bagaimana cara membuat brendung. Ayahnya pun pasti tidak tahu. Mereka hanya mendengar kabar tentang rencana pembuatan brendung sejak di desa sering kali terjadi pencurian. Yang terakhir adalah seuntai kalung berlian milik Pak Jumadi. Pencurian itu terjadi pada lima hari yang lalu. Pencuri membongkar genting dan masuk ke kamar Bu Jumadi, lalu membawa pergi seuntai kalung berlian. Hanya seuntai kalung, barang-barang lainnya tidak diambil. Pak Rangga menghampiri anak-anak itu. Ia mendengar percakapan anaknya dan Pulung tentang brendung. “Terus terang, Bapak juga belum pernah melihat brendung,” katanya tanpa ditanya. “Bapak hanya mendengarnya dan cerita orang. Tradisi membuat brendung itu sudah lama dilupakan orang. Pada masa Bapak kecil dulu, di desa ini orang sering membuat brendung kalau ada pencurian. Tapi Bapak tidak pernah menyaksikannya. Pada waktu itu Bapak tidak pernah keluar dari pesantren Mbah Sawunglanang kecuali untuk keperluan tertentu. Bapak tidak pernah melihat kesibukan orang di luar pesantren. Setelah pesantren itu diobrak-abrik Jepang, barulah Bapak melihat dunia luar. Tapi brendung sudah dilupakan orang.” “Jadi Bapak juga tidak tahu tentang brendung yang sebenarnya, kan?” tanya Pulung. “Tidak.” “Kalau begitu, sebenarnya Bapak bertindak berlebihan. Maaf, Pak. Menurut teman saya Gruno, pada jam-jam begini orang tidak bisa membuat brendung. Jadi percuma saja berjaga di sini pada pagi, siang, dan malam hari.” Pak Rangga menatap Gruno. Kegelapan makam tidak bisa ditembus oleh pandangan matanya yang sudah mulai berkurang sejak belakangan ini. Ia tidak bisa melihat mana Gruno dan mana Pulung. Hanya perbedaan nada suara mereka yang bisa dibedakannya. Gruno berada di arah depan agak ke kiri darinya. Ia menggeser kedudukan kakinya untuk menghadap ke arah Gruno. Dalam kegelapan itu Pulung bisa melihat, karena dia telah terlatih melihat dalam gelap. Latihan-latihan berat sering dialaminya di kegelapan malam seperti itu. Ia sempat melihat gerakan Pak Rangga. Pendekar ini memang lumayan, pikirnya. Semua geraknya mencerminkan kemampuannya menguasai jurus. Ia bergerak dengan biasa, tetapi sepasang kakinya yang beralaskan sandal kulit berdiri kukuh dalam sikap kuda-kuda penuh. Hanya pendekar tangguh yang selalu bersiaga penuh semacam itu. “Jadi penjagaan ini sebenarnya tidak perlu?” tanya Pak Rangga. Pertanyaan itu ditujukan kepada Gruno. “Menurut saya, memang tidak perlu, Pak,” jawab Gruno. “Kalau begitu, kita pulang saja!” “Pulang?” Jalu kecewa. “Jangan-jangan begitu kita pulang, mereka ke sini?” “Rasanya tidak,” kata Gruno. “Aku sering melihat orang membuat brendung. Belum pernah kulihat pada jam-jam begini brendung dibuat.” “Ratri!” Pak Rangga memanggil. “Kemasi barang-barang kita! Huh! Sudah dari kemarin aku berjaga di sini...” Jalu tak berdaya. Ayahnya telah melangkah menuju ke rumahnya. Anak yang paling lega adalah Gogor. Sejak tadi dia tak mampu berkata-kata karena rasa takutnya. Sekarang dia bahkan bisa bersiul-siul sambil berjalan santai. Malah dia berjalan di sisi Ratri. Gruno menjadi geram karenanya. Sejak dulu dia memang tidak akur dengan Gogor. Ada-ada saja tingkah Gogor yang membuatnya keki. Kalau tidak memandang Pulung, ingin rasanya Gruno ngemplang kepala anak cengeng itu. Tiba-tiba ada kegemparan dari kejauhan. Mereka berhenti serempak. Suara-suara orang riuh terdengar dari arah selatan. Obor-obor menyala berpencaran. “Kebakaran?” desis Pulung. “Bukan! Kita tunggu saja di sini!” seru Pak Rangga. Pulung ingin berlari ke arah suara riuh itu. Tetapi ia harus menurut pada Pak Rangga. Di kampung orang dia tak boleh ceroboh. Ternyata rombongan orang yang riuh itu sedang mengarak brendung! Boneka gayung yang didandani dengan kapur sirih dan jelaga berdiri tegak di atas nyiru. Alisnya lurus, merupakan coretan hitam jelaga bercampur minyak kelapa. Bedaknya kapur sirih. Gambar hidungnya tampak mungil, tetapi mulutnya lebar dan menyeringai. Tangan boneka itu lurus ke samping. Kakinya hanya merupakan tonggak berbentuk kerucut. Bagian lebarnya di bawah. Kerucut itu terbuat dari anyaman bilah bambu yang dibungkus dengan merang. Pinggang boneka itu diikat dengan empat utas setagen4. Masing-masing ujung setagen yang panjang itu dipegangi oleh empat orang lelaki. Sedangkan nyiru tempat brendung itu berdiri, dipegangi oleh seorang perempuan yang bertindak sebagai dukun. Brendung itu bagai digerakkan oleh tenaga gaib. Ia melesat di atas nyiru landasannya. Orang-orang yang memegangi nyiru dan setagen 4 Sabuk kain yang lazim dikenakan oleh wanita yang mengenakan kain batik pengikat berlari mengikuti brendung itu. Sedangkan orang-orang lelaki, perempuan, dan anak-anak yang membawa obor, mengiringi dari belakang. Mereka berseru-seru riuh. Tanpa diduga, brendung itu menuju ke arah Pak Rangga! Sejenak Pak Rangga terpana. Ia bersiaga dengan kuda-kudanya. Tapi tangannya tidak meraba hulu goloknya. Sedangkan Jalu sudah mencabut golok itu. Ia mengayun-ayunkannya dengan jurus silatnya! “Jalu! Tahan!” seru Pulung. “Jangan gegabah!” Tetapi Jalu tak peduli. Pulung menoleh pada Gruno. Ternyata Gruno sudah bersiaga pula. Gogor tak ada. Ia berlari-lari sambil menarik tangan Ratri menjauhi keramaian itu. Brendung menyerbu ke arah Pak Rangga. Pulung tidak memasang kuda-kuda, tetapi sikapnya waspada. Ia mengawasi Jalu yang mulai membacokkan goloknya ke arah pembawa brendung. Pulung melompat. Ditangkapnya tangan Jalu. Dipijitnya telapak tangan itu di antara ibu jari dan telunjuknya. Jalu menjerit kesakitan. Goloknya terjatuh. Pulung memungut senjata itu dan memeganginya dengan kedudukan golok rata dengan tangannya ke arah ketiak. Cara memegangnya cukup meyakinkan. Golok itu seperti disembunyikan, tetapi bisa digunakan sebagai senjata penangkis bila dia mendapat serangan senjata pula. “Kembalikan golokku!” jerit Jalu seraya berusaha merebut goloknya. Pulung menggerakkan kaki kanannya serong ke belakang. Ia juga menggerakkan tangan kirinya dengan hasta datar di depan dadanya. Dengan demikian, dada Jalu tertahan oleh tangannya. Pulung mendorong dada Jalu seraya menarik tangan yang membawa golok ke arah punggungnya. “Tenang, Lu! Jangan ngawur!” seru Pulung. Jalu tidak bisa tenang menyaksikan ayahnya diserbu oleh brendung. Ia berusaha mendapatkan goloknya lagi. Pulung terpaksa merunduk dan memutar tubuhnya ke kiri. Kaki kirinya bertumpu, sedangkan kaki kanannya menekuk. Lututnya menghantam perut Jalu dengan telak. Jalu mengaduh dan membungkuk. Pulung meloncat mundur. Gruno menyadari, Pulung akan repot menghadapi amukan Jalu karena tangan kanan Pulung berusaha menyembunyikan golok itu. Gruno tahu apa yang harus dilakukannya. Ia meloncat dan meraih golok itu. “Jangan serang! Aku Gruno!” serunya seraya menarik golok itu dari tangan Pulung. Pulung melepaskan golok itu setelah ia yakin bahwa yang merebut golok adalah benarbenar Gruno. Bukan saja karena ia mengenali suara Gruno. Juga karena ia mengenali gerakan Gruno ketika merebut goloknya. Gruno tidak menjamah hulu golok seperti yang dilakukan oleh Pulung untuk pekerjaan seperti itu. Melainkan meraih bilah golok dari arah punggung senjata itu. Lalu memuntirnya sedikit, dan mencabutnya. Kini Pulung menyergap Jalu. Dilingkarkan tangan kanannya ke leher Jalu. Sedangkan tangan kirinya memegangi tangan kiri Jalu dan didorongnya tangan itu ke arah tengkuk Jalu. Tentu saja Jalu menderita sakit pada sendi bahu kirinya. Ia tahu, sendinya bisa terlepas jika Pulung mengerahkan seluruh tenaganya. Namun Pulung hanya bermaksud membekuk Jalu, tidak akan menyakitinya. Menyadari hal itu, Jalu pun tidak meronta. Jepitan ini mematikan seluruh geraknya, karena Pulung melakukannya dengan sangat tepat dan sempurna. “Lung... ayahku...” desah Jalu. “Tenang! Ayahmu bisa mengatasi keadaan! Lihat!” seru Pulung. Memang Pak Rangga bukan sembarang pendekar yang ringan tangan untuk mencelakai orang. Goloknya tetap terselip di pinggang. Sedangkan kedua tangannya menerkam brendung. Ditariknya boneka gayung itu, lalu dibantingnya ke tanah. Tangan-tangan lelaki yang memegangi setagen terjulur mengikuti gerakan brendung yang terbanting. Kaki Pak Rangga menyapu tangan-tangan itu. Dua orang menjerit dan jatuh terjengkang. Sedangkan dua orang lainnya memegangi tangan mereka yang terasa nyeri sekali. Pak Rangga merebut boneka gayung itu. Lalu digenggamnya keempat ujung setagen. Ia memutar-mutar setagen di atas kepalanya hingga gayung itu menjadi benda pemberat yang berputar-putar bagai senjata bindi. Beberapa orang terkena sambaran boneka gayung. Mereka menjerit dan lari terbirit-birit. “Pak Rangga ngamuk!” seru seorang lelaki. “Malingnya ngamuk!” seru yang lain. Teriakan-teriakan menjadi makin riuh. “Malingnya ngamuk!” Teriakan itu mendidihkan darah Jalu. Ia meronta-ronta. Tetapi Pulung tak mau melepaskannya. “Lung! Ayahku dalam bahaya!” jerit Jalu seraya terus berusaha melepaskan diri. “Tidak! Dia tidak apa-apa!” seru Pulung. Jalu menjejak ujung sepatu Pulung dengan tumit kakinya yang tak beralas. Pulung merasakan sakit pada ujung kaki kanannya. Ia juga terkejut karena tak menyangka Jalu akan nekat begitu. Pegangannya mengendor. Jalu berkelit dan melepaskan diri. Kini dia mengamuk. Gerakannya liar. Ia memukul, menendang, mencakar! Siapa pun yang berada di dekatnya, dihajarnya habishabisan. Tak peduli dia lelaki atau perempuan, dewasa atau anak-anak! Pulung merasa sedih menyaksikan sepak terjang Jalu yang membabi buta. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bersyukur ketika orang-orang mulai bubar. Anak-anak berserabutan lari ke arah tak menentu. Mereka menjerit, dan tak seorang pun lagi yang meneriaki, “maling ngamuk!” pada Pak Rangga. Akhirnya orang-orang itu bubar. Ada yang sempat membawa setagen. Tapi gayung yang hancur itu ditinggalkan begitu saja. Datang seorang lelaki setengah baya mengenakan celana panjang dan baju berpotongan safari. Lelaki itu berpeci hitam. Ada simbol beringin bersayap terbuat dari logam kuning di dada kanannya. Dia pasti pegawai kantor Kelurahan Kalitepung. Pamong desa namanya. Ayah Pulung pun selalu berseragam seperti itu bila masuk ke kantor atau melakukan tugas-tugas kemasyarakatan. “Sabar, Pak Rangga! Sabaaaar!” teriak orang itu seraya mengacungkan tangannya. Di belakang orang itu, empat orang anggota hansip berseragam dengan sangkur tergantung di pinggang mereka, bersiaga. Hansip-hansip mengusir sisa orang yang berkerumun. “Pak Carik,” panggil Pak Rangga. Ternyata orang berseragam pamong desa itu seorang carik, atau sekretaris lurah. “Saya terpaksa mempertahankan diri, Pak!” “Saya mengerti,” kata Pak Carik, lelaki berseragam pamong desa itu. “Sabar, Pak. Mari kita ke Balai Desa!” “Mari, Pak! Tapi anak saya...” Pak Rangga menoleh-noleh mencari anaknya. Tempat itu telah menjadi gelap kembali sejak orang-orang yang membawa obor berserabutan lari. Tinggal sebatang obor yang tergeletak agak jauh dari tempat itu. Sumbunya masih menyala, dan rumput-rumput kering terbakar karena minyak obor itu mengalir ke luar. Seorang anggota hansip memungutnya. Ia memeganginya tinggitinggi. Tempat itu menjadi agak terang. Dari kegelapan, datang Gogor bersama Ratri. Gruno membentak, “Dari mana saja, kamu?” “Aku... aku menjaga Ratri...,” jawab Gogor gugup. Ratri tak mau bilang bahwa sebenarnya dialah yang menjaga Gogor. Kuatir Gogor akan merasa malu. Jalu datang dengan langkah terpincangpincang. Pak Rangga melihatnya karena obor yang menyala di dekat Jalu. “Kenapa kakimu?” tanyanya dengan cemas. “Tidak apa-apa,” jawab anaknya. Tapi dia masih terpincang-pincang. “Terluka?” tanya Pak Rangga seraya meneliti kaki anaknya. “Tidak. Mungkin tadi aku menendang obor.” Memang ada benjolan berwarna biru matang di tulang kering kaki kanan Jalu. Pasti karena menendang benda keras. Kalau bukan obor, mungkin kayu. Tadi memang ada orang yang membawa tongkat kayu. Entah siapa, begitu sulitnya mengenali orang banyak dalam keriuhan itu. Mereka berbondong ke Balai Desa. Terdengar suara orang bercakap-cakap ribut. Ternyata orang-orang yang tadi bubar kini berkumpul di sekitar Balai Desa. Bagai pencuri tertangkap saja, Pak Rangga digiring beramairamai. Ratri menangis di sisi Gogor. Betapa duka hatinya, betapa luka jiwanya! Ia tak percaya kalau ayahnya menjadi pencuri. Tidak seuntai kalung berlian, tidak segenggam rumput kering pun yang pernah dicuri oleh ayahnya. Padahal brendung hanya menyerang orang yang benarbenar mencuri. Orang Kalitepung sangat percaya, brendung tak akan mungkin menipu. Brendung pasti benar. Pilihannya selalu tepat. Pencuri-pencuri yang pernah diserang brendung tak bisa mengelak lagi. Mereka pasti mengakui perbuatannya setelah diperiksa di Balai Desa. Dan kini ayah Ratri yang akan diperiksa di sana... Ratri berlari dan menjerit melengkinglengking. Gogor mengejarnya. “Bapak bukan pencuriiiiiii!” jerit Ratri seraya berlari tak tentu arah. Seolah ia ingin mengumandangkan pemberitahuan itu ke seluruh penjuru dunia. “Bapak tidak pernah mencuriiiiii!” Tetapi teriakannya disambut oleh suara gelak tawa anak-anak sebayanya. Jalu bergerak dengan cepat. Tinjunya melayang beruntun. Dua orang anak lelaki sebaya adiknya jatuh terjengkang dengan mulut berdarah. Pulung menyerbu Jalu. Disepaknya kedua kaki Jalu. Sepakan melingkar itu telak sekali. Jalu jatuh terguling. Pulung menyergapnya. Seraya menindih tubuh Jalu, Pulung berbisik, “Tenang! Tenang, Lu! Kita selidiki dulu perkara ini! Jangan keburu nafsu!” Jalu tetap meronta seraya berteriak-teriak. Pulung terpaksa menampar wajah Jalu sekuatkuatnya. Jalu menjerit kesakitan. Tetapi ia menjadi sadar. Dipandanginya Pulung. Sejak tadi wajah Pulung tidak berubah. Tidak kelihatan panik, tidak pula kelihatan marah. Tatapan mata Jalu bertemu dengan tatapan mata Pulung. Mata yang hitam itu, yang sipit sebelah, betapa memancarkan kesan persahabatan yang mendalam. Jalu merasa tenteram setelah menyadari bahwa sebenarnya Pulung tidak membencinya. Pulung menamparnya bukan karena benci. Sebaliknya, tamparan itu hanya untuk menyadarkannya. Jalu memeluk Pulung. Ia menangis terisak-isak. “Tolong aku, Lung...,” rintihnya dengan suara tersendat-sendat di sela isak tangisnya. “Bapak bukan pencuri kalung berlian itu. Bapak bukan pencuri apa saja. Tolong aku...” “Aku akan menolongmu tanpa kauminta,” kata Pulung tandas. Suaranya jelas di telinga Jalu, karena mulut Pulung begitu dekatnya di sisi leher Jalu. “Kauingat pamanku yang jadi polisi, kan? Ingat Oom Wi? Dia bisa menolongmu. Dia akan melindungimu. Aku akan menghubunginya demi kau dan ayahmu, Lu. Tapi kau harus tenang...” Jalu masih mengisak. Tapi dia tidak meronta bagai kesetanan lagi. Ia melangkah dalam bimbingan Pulung. Di depan mereka, Pak Rangga berjalan dengan dada tegap. Pundaknya yang datar bagaikan tak bergerak. Langkah pendekar itu sangat meyakinkan. Mengesankan bahwa dia tak bergeming meskipun orang sekampung menuduhnya sebagai pencuri. Tatapan mata orang-orang yang berdiri berjajar di tepi jalan tidak membuatnya gentar, tidak pula sakit hati. Ratri tak tahan lagi menyaksikan ayahnya digiring bagai pencuri tertangkap. Ia terus berlari. Sia-sia Gbgor mengejarnya. Bila Gogor berhasil menangkap tangan Ratri, gadis kecil itu meronta dengan mencakar atau menggigit. Gogor tak berdaya. Ia hanya mengikuti Ratri dari belakang. Tak berani terlalu dekat. Ratri telah letih sekali. Ia terjatuh karena kehabisan tenaga di depan sebuah rumah berdinding anyaman bambu di dekat sungai. Pintu rumah itu terbuka. Muncul seorang wanita tua yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat rombeng. Langkahnya tertatih-tatih. Betapa miskinnya dia. Kemiskinan yang bisa dilihat dari wujud dirinya dan wujud rumahnya. “Siapa itu?” tanya wanita tua itu seraya menelengkan kepalanya. Matanya yang rabun tak bisa mengenali Ratri. Namun agaknya Ratri mengenali suara orang tua itu. Ia bangkit dengan gerakan lambat Lalu duduk di atas tanah dan menatap wanita tua itu. Mulutnya bergerak-gerak. Ia memanggil, “Mbah Mandor...!” “Oh... kau Ratri?” sapa wanita tua yang dipanggil Mbah Mandor itu. Ratri bangkit serentak dan berlari. Ia memeluk pinggang wanita kurus itu. Tangisnya pecah lagi. Air matanya membasahi kebaya Mbah Mandor. “Bapak... Bapak bukan pencuri...,” rintih Ratri dalam tangisnya. Gogor mendekati wanita itu. “Kau siapa?” tegur Mbah Mandor. “Jalu?” “Saya Gogor, Mbah. Temannya Jalu.” Mbah Mandor membimbing Ratri memasuki rumahnya. Seraya melangkah, ia berkata pada Gogor, “Biarkan saja Ratri di sini...” Dengan begitu, Gogor sadar bahwa ia harus pergi. Tapi malam begini gelap. Dan ia adalah anak paling penakut. Ia bimbang. Tak tahu harus pergi ke mana. Ada bayangan yang mendekatinya. Hitam sekali, karena bayangan itu berada dalam kegelapan. Gogor lari terbirit-birit. Bayangan itu mengejarnya. “Hei! Gor! Gogor!” terdengar panggilan itu. Gogor terus lari ketakutan. Ia ragu, benarkah yang memanggilnya Gruno? “Anak bodoh! Aku Gruno, Gor!” jerit Gruno seraya terus mengejar. Gruno bisa menangkap leher baju Gogor. Dicengkeramnya kuat-kuat. Gogor menjeritjerit. Gruno mengguncangkan leher Gogor. Dibalikkannya tubuh anak itu hingga keduanya berhadapan. “Diam! Kutampar kau kalau tidak diam!” bentak Gruno. Gogor diam. Tapi tangannya gemetar. “Mana Ratri?” Gogor menunjuk ke rumah Mbah Mandor. “Kenapa kautinggalkan dia, he?” “Dia... dia tidak apa-apa...” Gruno mempunyai kesigapan hampir setingkat Pulung. Bahkan dalam hal-hal tertentu dia bisa mengungguli Pulung. Gruno sering bertindak sangat tegas. Sedangkan Pulung kadang kala lemah karena hatinya terlalu lembut. Pulung sering kehilangan kewaspadaan karena dia mudah iba kepada orang lain. Jika yang mendengar perihal Ratri di rumah Mbah Mandor adalah Pulung, mungkin dia tidak curiga. Tetapi Gruno berbeda dengan Pulung dalam hal ini. Ia belum mengenal Mbah Mandor. Sedangkan Ratri di sana. Dengan sigap Gruno mengendap dan berlari ke rumah itu. Tak dipedulikannya lagi panggilan Gogor. Gogor menyusul, karena dia takut berada sendirian di tempat gelap yang masih asing baginya. “No! Ratri tidak apa-apa...” Gruno melompat dan menyergap Gogor. Disekapnya mulut Gogor dengan tangannya yang kukuh. “Kuperingatkan kau, Gor!” hardiknya dengan bisikan. “Sejak saat ini kau jangan bersuara! Kalau kau tidak bisa diam, kusumpal mulutmu dengan sepatuku!” “Uh... uh... uh...” Gogor berseru tak jelas karena mulutnya disekap. Kepalanya mengangguk-angguk. Gruno melepaskan mulut Gogor. Ia berjalan berjingkat-jingkat. Langkahnya tidak menimbulkan suara. Ia meneliti sebentar. Lalu pergi melingkar lewat belakang, menuju ke samping kanan rumah rombeng itu. Dari arah kamar di dalam rumah itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Gruno mengintip lewat celah dinding. Dilihatnya Mbah Mandor sedang duduk di tempat tidur. Ratri duduk di sisinya. Tangan Mbah Mandor memeluk bahu Ratri. Sesekali mengelus bahu gadis kecil itu. Gerakannya lembut, mengesankan kasih sayang Mbah Mandor pada Ratri. “Entahlah bagaimana jadinya desa ini kelak,” terdengar suara Mbah Mandor. “Sejak Pak Lurah sakit, pencurian sering terjadi. Padahal sudah lama desa kita tidak diganggu pencuri...” Ratri masih mengisak. Tangan Mbah Mandor menepuk bahu Ratri. Debu mengepul dari rok gadis kecil itu. Mbah Mandor memungut selembar selendang. Disekanya keringat bercampur tanah di wajah Ratri. “Bajumu kotor sekali,” kata Mbah Mandor dengan suara lembut. “Ganti dengan kebaya, ya? Kedodoran sedikit tidak apa-apa.” Mbah Mandor membuka lemari tua yang pintunya sudah miring. Bunyinya berderit-derit menyakitkan gendang telinga. Gruno menggamit tangan Gogor. “Kita pergi saja. Ratri akan ganti baju,” bisiknya. Gogor menurut saja. Keduanya pergi ke Balai Desa. Tempat itu masih ramai. Orangorang yang berkumpul menggumam tidak jelas. Pak Rangga digiring ke kantor polisi dengan membonceng sepeda motor. Beberapa orang anggota hansip dan pamong desa menjaganya dari belakang. Betapa teririsnya hati Jalu menyaksikan semua itu. Gruno tak bisa membayangkan betapa sakit hati seorang anak yang menyaksikan ayahnya digiring sebagai pencuri. 4 PENYELIDIKAN PULUNG DINIHARI sepi sekali. Pulung tergolek di lantai semen yang dingin beralaskan tikar. Gruno sudah terlelap sejak kepalanya menyentuh bantal. Gogor bahkan sudah setengah tidur sebelum badannya rebah ke lantai. Sedangkan Jalu tak bisa memicingkan matanya. Ia gelisah, seperti juga Pulung. Rumah itu dijaga oleh dua orang lelaki. Seorang bernama Taslim, seorang lagi bernama Pak Dawuh. Kata Jalu, Pak Dawuh seorang jagoan pada masa Ialunya. Ia sangat disegani orang. Pulung sudah mengenalnya, karena dulu Pak Dawuh sering berkunjung ke rumah Pulung. Mestinya Pulung merasa aman berada di rumah yang dijaga oleh jagoan seperti Pak Dawuh. Tapi entah kenapa, hatinya gelisah sekali. Lebih-lebih setelah terdengar suara kentongan bertalu-talu dari arah utara. Pulung bangkit dan duduk di atas lantai. “Kentongan apa itu?” tanyanya. Jalu menarik tangan Pulung agar Pulung kembali berbaring. “Arahnya dari rumah Pak Lurah. Mungkin Pak Lurah meninggal,” bisik Jalu. “Masa? Kau bisa memastikan?” “Sakitnya sudah parah. Tidak ada harapan untuk sembuh lagi.” Pulung kembali berbaring dan mencoba tidur. Tapi dia tetap saja gelisah. Peristiwa yang baru saja terjadi begitu mencekamnya. Brendung yang penuh misteri dan keyakinan orang bahwa Pak Rangga benar-benar pencuri, sungguh mengguncangkan hatinya. Sebenarnya ia tak ingin melibatkan diri dalam hal-hal seperti ini. Tapi dia tidak bisa mengelak lagi. Jalu membutuhkan pertolongannya. Entah Pulung bisa menyingkapkan misteri itu entah tidak, rasanya ia tak sampai hati membiarkan Jalu menanggung derita itu. Paling tidak ia ingin ikut merasakan penderitaan Jalu. Betapa terasa beratnya! Bunyi kentongan tidak terdengar lagi. Ada suara langkah-langkah orang yang bergegas ke arah rumah Pak Lurah. Pulung mengintip lewat lubang pintu. Ia melihat Taslim. Pemuda desa yang pendiam itu sedang terkantuk-kantuk di teras rumah. Pak Dawuh tak ada. Mungkin ke rumah Pak Lurah seperti penduduk desa lainnya. Rupanya Jalu sudah tertidur. Suara napasnya teratur sekali. Pulung ingin ke kamar kecil. Letak kamar kecil itu di belakang rumah, terpisah dengan rumah induk. Ia harus membuka pintu belakang lebih dulu. Semua itu dilakukannya dengan sangat hati-hati dan tidak menimbulkan suara. Keperluan di kamar kecil tidak lama. Tapi Pulung tidak segera kembali ke dalam rumah. Matanya yang tajam melihat sesuatu yang bergerak-gerak di jalan tanah sana. Memang tidak cukup jelas makhluk apa yang bergerakgerak itu. Seperti babi hutan mengais-ngais tanah. Ataukah hantu bungkuk yang mondarmandir? Pulung memusatkan perhatian. Lalu dibacanya doa Nurbuat ajaran Pak Gowok. Doa untuk mengusir makhluk halus, jin, hantu, dan sebangsanya. Ia merasa takut, tapi ia bisa menguatkan hatinya. Sebab ia percaya benar bahwa orang beriman tak akan diganggu oleh makhluk halus dan jin. Lebih-lebih ia telah membaca doa Nurbuat. Bila doa dikabulkan oleh Tuhan, raja jin pun tak akan berani mencoleknya. Pelan-pelan Pulung mengendap. Ia ingin tahu, makhluk apa sebenamya yang membungkuk-bungkuk dalam kegelapan dinihari itu. Ia mendekati jalan. Tapi Taslim mengetahui gerakannya. Taslim menyorotkan lampu senter tiga baterai. Seluruh tubuh Pulung tersinari nyala lampu senter. “Siapa itu?” hardik Taslim penuh kewaspadaan. “Aku! Pulung!” seru Pulung dengan terpaksa. Tak mungkin lagi dia mengelakkan diri dari nyala lampu senter itu. “He! Ada apa?” seru Pak Dawuh dari jalan tanah itu. “Anu... eh...” Pulung mendekati Pak Dawuh, makhluk yang membungkuk-bungkuk di jalan tanah itu. “Saya kira... saya kira tadi siapa...” Taslim mendekati Pulung. Lampu senternya masih menyala. “Kenapa keluar dari rumah?” tanya Taslim. “Tidak apa-apa. Kebetulan saya ingin buang air. Saya melihat Pak Dawuh di jalan itu. Tapi tadi saya tidak tahu itu Pak Dawuh. Saya kira... saya kira babi hutan.” “Kembali ke rumah, Lung! Biar aku berjaga di sini!” seru Pak Dawuh. Nada suaranya mengesankan bahwa dia gusar sekali pada Pulung. Pulung merasa curiga dengan kegusaran Pak Dawuh. Curiga juga dengan perangai orang itu di jalan tanah. Seperti mencari sesuatu yang sangat berharga. “Tadi Pak Dawuh sedang apa?” tanyanya, mencetuskan kecurigaan itu. “Aku berjaga di sini.” “Tadi kulihat Pak Dawuh membungkukbungkuk seperti mencari barang berharga.” “Eh... kau banyak omong!” bentak Pak Dawuh. “Aku tidak suka pada anak kecil yang sok tahu urusan orang tua!” Ucapan itu sangat menyinggung perasaan Pulung. Kecurigaannya makin menggunung saja. “Tadi ada orang kehilangan subangnya,” kata Pulung bersiasat. “Mungkin terjatuh di situ ketika brendung -nya ngamuk.” “Jangan sembarangan bicara, kamu!” seru Pak Dawuh. “Aku tidak mencari subang!” “Habis mencari apa?” “Uangku terjatuh!” “Mari saya bantu mencarinya, Pak!” Pulung beranjak ke jalan. Ia berlagak mencari-cari sesuatu di jalan tanah itu. Padahal ia tidak melihat apa-apa. Lampu senter Taslim dan Pak Dawuh tidak menyala. Bintang-bintang di langit pun tak kuasa menerangi tempat itu. Hanya remang-remang saja, dan selembar uang kertas tak akan tampak dalam keremangan itu. Tapi benda putih mengkilap yang panjangnya sejengkal itu tampak oleh Pulung. Pak Dawuh pasti belum melihatnya. Pulung akan mengambilnya. Tapi mata Pak Dawuh dan Taslim sedang tertuju ke arahnya. Akhimya Pulung menginjak benda itu. Kaki kanannya mengais-ngais tanah. Debu menutupi benda berkilat itu. Benda apa itu? Pulung tak bisa menerkanya. Tapi ia yakin, benda itulah yang dicari Pak Dawuh. Mata tua Pak Dawuh tidak awas lagi. Lebih-lebih ia mencarinya tanpa menyalakan lampu senter. Mungkin agar orang tidak mencurigainya. Berarti benda bulat panjang yang mengkilap itu sangat berharga bagi Pak Dawuh. Pulung mencari akal untuk memungut benda itu tanpa dicurigai. Ia berlagak melihat ke arah kuburan Mbah Sawunglanang di sebelah timur sana. Ia membungkuk, lalu berjongkok pula. “Ada apa, Lung?” tanya Taslim seraya mendekat. Pulung menuding dengan jari gemetar. Tangannya pun bergetar. “Kau lihat apa?” tanya Taslim. “Oh... itu... itu...” kata Pulung dengan suara gemetar. Taslim menyorotkan lampu senternya ke arah kuburan itu. Lampu senter digerakgerakkan. “Apa? Yang kaulihat tadi, apa?” tanya Taslim. Dengan gerakan cepat Pulung memungut benda bulat panjang dan menyelipkannya ke balik bajunya. Benda itu terasa dingin menempel di kulit perut. Pasti terbuat dari logam. Agaknya Pak Dawuh percaya bahwa Pulung melihat ‘sesuatu’ di kuburan itu. Ia menghampiri Pulung. “Apa kau melihat Mbah Sawunglanang?” tanyanya seraya mengangkat ketiak Pulung hingga anak itu berdiri. “Ya... tapi... tapi entahlah saya melihat apa...” “Kau bukan anak desa ini. Makanya jangan gegabah,” Pak Dawuh menyesali Pulung. “Ayo, masuk ke rumah!” Taslim membimbing Pulung sampai di depan pintu belakang. “Tidur saja, Lung,” kata Taslim. “Jangan lupa baca-baca doa sebisamu agar kau tidak diganggu apa-apa lagi.” “Ya.” Pulung merasa kakinya kotor sekali. Tapi ia tak peduli. Ia merebahkan tubuhnya di atas tikar. Diselimutinya seluruh bagian tubuhnya dengan kain sarung besar milik Pak Rangga. Lampu minyak di ruangan itu menyala redup. Pulung tak bisa melihat dengan jelas benda apa gerangan yang putih dan panjang bulat itu. Kain sarung yang menutupi tubuhnya sangat tebal dan hampir-hampir tidak tembus cahaya. Tapi ia bisa meraba-raba. Bisa menarik ujung benda itu. Kini benda bulat panjang itu menjadi semakin panjang. Ah, hanya antena radio saja. Tapi ukurannya lebih besar dari antena radio biasa. Mungkin juga antena pesawat televisi. Barangkali benda ini yang dicari-cari Pak Dawuh. Tapi kenapa Pak Dawuh merahasiakannya? Pulung merasa mengantuk. Besok ia harus bangun pagi-pagi benar. Ia harus pulang dulu sebelum berangkat ke sekolah. Untuk sementara ia akan mengadakan penyelidikan dengan diam-diam saja. Gruno memang bisa dipercaya, tapi ia sering bertindak kejam. Gruno sering bertindak tanpa perasaan, hanya dengan pikiran saja. Tadi pun dia ngotot bahwa brendung tak pernah salah memilih sasaran. Brendung hanya menyerang orang yang benarbenar melakukan kejahatan. Tak bisa meleset. Kalau begitu, Gruno mulai yakin bahwa Pak Rangga memang mencuri kalung berlian milik Bu Jumadi. *** Tidak biasanya Gogor jadi penggugup begitu. Setiap kali mata Pulung menatapnya, Gogor gelisah. Ia membuang pandang ke arah lain. Atau menunduk seperti mengawasi ujung kakinya. Pulung jadi curiga karena sikap Gogor yang aneh itu. Gogor sedang memberi makan itik-itik peliharaan kakeknya. Pulung berdiri di seberang pagar petai cina yang dipangkas semeter setengah tingginya. Pulung bisa melihat Gogor lewat sela-sela ranting tanaman itu. “Kau sedang ingat Ratri, ya?” tanya Pulung dengan tiba-tiba. Ia sengaja mengucapkan katakata itu dengan nada tandas. Agar Gogor makin gugup. Bila gugup, Gogor akan mudah mengaku. “Oh...,” Gogor gugup sekali, seperti harapan Pulung. “Semalam... semalam aku terpaksa meninggalkannya. Habis dia akan ganti pakaian...” “Kau ceroboh!” Pulung sengaja membentak. “Kau kan belum mengenal Mbah Mandor? Kau percaya begitu saja! Kalau Ratri diculik, bagaimana?” “Eh... tapi... tapi tidak, kok. Mbah Mandor orang baik...” “Kau tahu Mbah Mandor orang baik-baik kan dari Jalu! Ketika kau meninggalkan Ratri, kau belum tahu tentang Mbah Mandor!” “Iya... tapi... aku yakin dia orang baik-baik. Ia lembut sekali pada Ratri. Masa aku salah, Lung?” “Kau tidak bersalah. Tapi kenapa kau jadi penggugup begitu? Kayaknya kau merahasiakan sesuatu...” Pulung menatap tajam-tajam mata Gogor. Ditatap dengan cara begitu, Gogor makin gugup. Kakinya menginjak sebutir telur itik. Telur itu pecah. “Nah! Kalau tidak gugup, kau tidak akan melakukan kesalahan begitu,” sahut Pulung segera. Ia terus mendesak dengan ancamannya, “Sebutir telur sih, harganya murah. Tapi kakekmu paling tidak senang kalau kau bekerja dengan ceroboh. Kalau kubilang padanya...” Gogor membereskan kulit telur itu. Akan disembunyikannya di tempat sampah. Bekasnya diuruk dengan tanah. “Percuma. Tadi Kakek Sakeh sudah mengitung jumlah telur itu. Kau teledor juga, kenapa tidak kausimpan sejak tadi pagi...” “Tadi aku terburu-buru. Kau kan tahu, tadi aku terburu-buru...” “Tapi Kakek Sakeh tidak mau tahu.” Gogor tampak kebingungan. Pulung tidak sampai hati menyiksa sahabatnya itu. Kasihan Gogor. Dia sering berlaku seperti anak sebaya Polan saja. Mungkin karena ia hidup tertekan bersama kakeknya yang galak, maka ia berperangai seperti anak kecil. Hanya memecahkan sebutir telur pun dia bingung bukan main. “Bilang saja aku yang menginjak telur itu,” kata Pulung dengan tenangnya. “Paling-paling kakekmu akan menyuruhku membersihkan kandang bebek sebagai hukumannya. Tapi kalau dia tahu kau yang memecahkannya, kepalamu kena kemplang! Sakitnya sih tak seberapa. Tapi apa tidak malu, sudah besar dikemplang begitu hanya gara-gara sebutir telur? Kalau kuceritakan pada Ratri, kau juga akan malu!” Tiba-tiba Gogor menatap Pulung dengan tajamnya. Seolah keberaniannya bangkit seketika. Tangannya merogoh saku celana pendeknya. Lalu ketika tangan itu ditarik, telapaknya menggenggam sesuatu. Gogor membanting sesuatu itu ke atas tanah, dekat pagar petai cina, di depan kaki Pulung. “Benda itu yang kusembunyikan! Benda itu yang bikin aku gugup! Tapi aku tidak bermaksud memilikinya! Aku hanya berusaha menyembunyikannya agar ayah Ratri tidak dituduh sebagai pencuri! Aku menemukan itu di kamarnya! Demi Tuhan, aku tidak bermaksud mencurinya!” Pulung memungut benda itu, yang berkilatkilat memantulkan sinar matahari dalam warna-warni gemerlapan. Kalung berlian itu! Rantai emasnya besar dan kukuh, bandulnya berbentuk kipas dengan tiga puluh butir berlian sebesar biji beras! “Jadi karena benda ini kau jadi penggugup?” tanya Pulung seraya mengantungi benda itu dengan cepat, agar tidak diketahui oleh Ibu yang mondar-mandir di kebun belakang. “Kapan kau menemukannya?” “Tadi pagi, ketika aku mencari peci hitam untuk sholat subuh.” “Di mana kau menemukannya?” “Sudah kubilang, di dalam kamar ayah Ratri!” “Eh, jangan terlalu galak. Bicara dengan nada yang enak saja. Salah satu sifat kakekmu yang paling kubenci adalah nada bicaranya yang selalu tegang. Jangan kautiru kebiasaan yang buruk itu. Nanti aku bisa membencimu. Oke? Ayo dong, bicara yang enak.” Gogor mendesah. Ia sadar, sejak tadi ia membentak-bentak Pulung tak keruan. Untunglah Pulung memahami perasaannya. Hingga sejak tadi Pulung bersikap santai saja. Tidak meladeni bentakan-bentakan Gogor. “Ketika aku mengenakan peci itu, aku merasakan ada benda yang mengganjal dalam lipatan peci. Lalu benda itu kuambil. Ternyata kalung yang hilang itu...” “Apa... hm... apa bukan milik mendiang ibu Ratri?” Pulung menggumam. Ia bersikap tidak mencurigai Gogor, agar temannya itu menjadi tenang. “Semalam Ratri bercerita tentang ibunya di kuburan Mbah Sawunglanang,” kata Gogor. “Ia tidak menyinggung-nyinggung soal kalung berlian. Kukira ibunya tidak pernah memiliki kalung itu. Lagipula tidak mungkin ayahnya menyimpan kalung semahal itu dalam peci yang selalu dikenakannya untuk bersembahyang. Peci yang semalam dipakai di kuburan itu bukan yang dipakainya untuk bersembahyang. Kata Ratri begitu. Ayahnya punya banyak peci hitam. Tapi hanya satu yang dikenakannya untuk bersembahyang. Semalam Pak Rangga juga bersembahyang isya dengan peci itu di rumahnya. Kaulihat sendiri, kan?” “Melihat sih tidak. Tapi semalam aku tahu Pak Rangga pulang untuk bersembahyang isya di rumah. Bersembahyang di kuburan memang tidak diperkenankan. Kata Wak Solikun begitu. Ah, semalam aku juga mengenakan peci itu untuk bersembahyang isya. Tapi aku tidak menemukan kalung itu.” “Aku menemukannya tadi pagi ketika bersembahyang subuh.” “Duluan mana sembahyangnya? Kau atau aku?” “Aku yang pertama kali bersembahyang. Baru Gruno, lalu kau dan Jalu.” Pulung merenung sesaat. Lalu bergerak dengan cepat melompati pagar tanaman petai cina itu. “Pinjam sepedamu! Aku harus menjumpai Si Man sekarang juga!” serunya. Ini soal serius. Tidak biasanya Pulung mau bekerja sama dengan Si Man, pamannya yang menjadi polisi itu. Pulung selalu musuhan dengan pamannya. Sebabnya sederhana saja. Dulu pamannya itu tinggal di rumah Pulung. Paman dan kemenakan itu akrab sekali. Pulung memanggil pamannya Si Man, singkatan dari ‘Si Paman’. Sejak Si Man menjadi polisi, Pulung harus memanggil pamannya dengan panggilan Oom Wi. Nama pamannya itu Wikan. Bermula dari kekecewaan Pulung terhadap pamannya ini, dimulailah permusuhan itu. Pulung menganggap pamannya berubah menjadi orang sombong, hingga memanggilnya pun harus dengan panggilan ‘Oom’. Perasaan kecewa ini kemudian berkembang menjadi sikap bermusuhan. Seterusnya sampai bertahuntahun kemudian hingga pangkat Oom Wi menjadi kopral satu, Pulung tetap tidak cocok dengan pamannya. Kalau pamannya sedang membutuhkan bantuannya, Pulung sering jual mahal. Tapi kini dia yang membutuhkan bantuan pamannya. Berarti dia sendiri sudah tidak sanggup memecahkan misteri itu. Inilah soal yang sangat serius! Oom Wi mengenakan celana pendek saja. Sandalnya juga jelek sekali, terbuat dari bekas ban mobil yang harganya murah dan buatan Tegal. Ia sedang menyiapkan peralatan memancingnya. Alat pancingnya bagus, jorannya bisa dipanjang-pendekkan. “Ha! Kau tahu saja lagi kutunggu-tunggu, Lung!” seru Oom Wi begitu Pulung bersalam di ambang pintu rumahnya di asrama polisi itu. “Tante mana, Oom?” tanya Pulung. Memanggil ‘Oom’ dengan sangat terpaksa. Hal itu tampak dari nadanya yang kaku. “Sedang pergi. Yuk, kita langsung saja ke muara. Lagi musim kakap, Lung! Kemarin teman Oom Wi dapat kakap, beratnya lima kilo! Siapa tahu nanti kita mendapatkan ikan sebesar itu. Kalau dapat tiga ekor, kaubawa yang dua!” “Mbok Gemi mana, Oom?” tanya Pulung, tak acuh pada ajakan Oom Wi. “Haus, nih!” “Mbok Gemi ikut tantemu. Ambil saja sendiri di dapur! Kayak tamu saja lagakmu! Ayo, cepat! Jam-jam begini banyak ikan kelaparan, Iho! Kalau lebih sore lagi, sudah banyak orang yang mancing!” Pulung berjalan ke dapur untuk membuat teh manis bagi dirinya sendiri. Ia berkata sambil lewat di samping Oom Wi, “Tadi Jalu menengok ayahnya ya, Oom?” “Jalu siapa? Teman Oom yang ahli memancing kakap namanya juga Jalu!” “Jalu anak Pak Rangga!” “Rangga? Pegawai kantor pos yang punya alat pancing buatan Jepang itu?” Pulung kesal bukan main. Tapi kalau sedang butuh dengan Si Man, dia harus bisa menahan hati. Tak boleh salah ucap. Lain soal kalau yang butuh Si Man sendiri! “Pak Rangga masih ditahan, Oom? Pak Rangga dari Kalitepung yang semalam dibawa ke kantor Oom karena dituduh mencuri kalung berlian!” tanya Pulung seraya mengaduk minumannya. “Oh, Rangga yang itu? Kau terlibat, ya? Kok begitu seriusnya?” “Jalu teman sekelasku.” “Eh, ini sudah jam tiga! Ayo lekas, Lung!” Oom Wi bersiap mengemasi peralatan pancingnya. Ia membawa minuman dan makanan kecil dalam ransel. Ia menjinjing ransel itu. “Nanti mampir di empang untuk beli udang buat umpannya. Keluarkan sepeda motor itu, Lung. Bisa, kan?” Pulung diam saja. Ia mereguk minumannya. Sengaja berlagak kepanasan. Agar tidak dipaksa segera menghabiskan minuman itu. Oom Wi menjenguk ke dapur. Pulung menatapnya dengan kesal. Oom Wi salah paham. Dikiranya Pulung mencurigai dari mana Oom Wi punya sepeda motor bebek itu. Pulung selalu mencurigai asal-usul setiap benda yang berharga mahal di rumah Oom Wi. Soalnya dia tahu benar, gaji Oom Wi tidak banyak. “Sialan!” seru Oom Wi karena merasa dicurigai. “Kalau oom kamu tidak jujur, tidak tinggal di asrama lagi dong! Bisa punya rumah sendiri. Sepeda motorku juga lebih bagus daripada motor bebek yang butut itu! Tanya saja sama Bapak. Sepeda motor itu dia yang membelikannya dari hasil panen sawahku yang digarapnya. Jangan asal curiga, nanti kau jadi tukang fitnah!” “Oom! Aku mau tanya nih!” seru Pulung serius. “Soal sepeda motor itu?” “Bukan! Soal ayah Jalu!” “Itu bukan urusanmu! Kau harus bisa membedakan mana urusan dinasku, dan mana urusan pribadi...” “Jangan sombong! Kalau sedang butuh bantuanku, kenapa Oom Wi tidak pernah bicara soal urusan dinas dan urusan pribadi? Aku sudah sering membantu Oom Wi, kan? Sekarang aku juga akan membantu tugas Oom Wi. Aku bukan minta tolong. Kata Bapak, Oom Wi terlalu lembek, makanya tidak cepat naik pangkat!” Oom Wi melotot. Diketuknya kepala Pulung dengan ujung jorannya yang terbuat dari bahan fibre glass5. Tidak menyakitkan, tapi menyinggung perasaan. “Kau sedang bicara dengan siapa, pikirmu? Aku pamanmu, bukan temanmu bermain gundu! Slompret, kau! Tidak tahu sopan!” Pulung mengambil kalung berlian itu. Dengan gaya kurang ajar dilemparkannya benda itu ke lantai di depan kaki pamannya. “Hei!” seru Oom Wi terkejut. “Kaucuri dari mana benda itu? Milik Ibu, ya? He! Setan kecil, kau! Dari mana benda itu?” “Tanya yang sopan!” sengat Pulung kesal. Oom Wi memungut kalung itu lalu 5 Sejenis plastik mengamat-amatinya. Ia meletakkan joran dan ranselnya. Lalu duduk di kursi ruang tamu. “Benda ini tak ada artinya kalau kau tidak menerangkan bagaimana kau menemukannya.” katanya dengan nada lunak. Ia tahu, Pulung tak akan sembarangan mencarinya kalau tidak ada keperluan yang mendesak. Apalagi dengan seuntai kalung berlian ini! “Kalau hanya bisa bertanya, Oom Wi tidak usah jadi kopral!” ejek Pulung, merasa mulai menang. “Jadi agar pangkatku naik, aku harus memecahkan misteri kalung berlian ini? Begitu maumu?” kata Oom Wi, sudah mulai mengajak bercanda kemenakannya. Ia harus bergaya begitu. Kalau langsung serius, Pulung bisa besar kepala dan makin jual mahal. “Mestinya yang jadi kopral aku,” kata Pulung dengan dada melembung. “Oom Wi lebih cocok jadi pemancing ikan seperti ketika Oom Wi tinggal di desa dulu...” “Kau salah!” kata Oom Wi sambil menjentikkan jarinya. “Kalau kau jadi polisi, pangkatmu pasti letnan, tahu!” Kini Pulung merasa, Oom Wi sudah tertarik benar dengan kalung berlian itu. “Nggak jadi mancing ikan kakap, Oom?” ejek Pulung. “Terserah Pak Letnan!” balas Oom Wi. “Kalau Pak Letnan perintahkan agar kopral pergi memancing...” “Sudah! Jangan bercanda melulu!” Oom Wi tertawa. Digosok-gosoknya kepala Pulung dengan gemasnya. Sudah lama ia mengagumi kemenakannya ini. Tapi dia tetap tidak suka dengan sikap bermusuhan yang selalu diperlihatkan oleh Pulung. Tidak suka akan kekurangajaran sang kemenakan. “Uh! Seperti menggosok buah durian saja! Rambutmu makin kaku! Kepalamu makin keras kayak batu!” seru Oom Wi. “Tapi kan pinter, Oom?” “Yah... kadang-kadang kau memang lebih pinter daripada Polan.” Pulung mendengus. Oom Wi memang tidak pernah memujinya, dalam bercanda maupun serius. Supaya tidak bertele-tele, Pulung menceritakan asal-usul kalung itu. Dikisahkannya pula tentang brendung yang menyerang Pak Rangga. Sungguh menarik cerita itu. Nyata Oom Wi mendengarkannya dengan bersungguhsungguh. Ia lupa untuk berlagak tidak butuh lagi. Sikapnya sudah mencerminkan rasa kagumnya pada Pulung, kemenakannya yang nakal dan tak pernah akur dengannya. “Ikut aku, Lung!” kata Oom Wi seraya beranjak ke kamarnya untuk mengenakan celana panjang. “Ke muara untuk mancing kakap yang beratnya lima kilo?” “Ke kantor! Laporanmu bisa kauulangi di depan Wadan!” “Wadan? Siapa sin Wadan itu?” “Wakil komandan! Sore ini yang bertugas Wadan!” “Komandan di mana? Sedang mancing juga?” Oom Wi mendengus. Baginya, lebih baik yang bertugas Wadan. Sebab Pulung sudah kenal baik dengan komandan Oom Wi dalam pelacakan beberapa perkara kejahatan yang lalu. Pulung sering berlaku tidak sopan di depan komandan. Bikin malu saja! Tahu rasa kalau berani tidak sopan di depan Wadan. Bisa kena hardik bolak-balik! Memang Pulung terpaksa berlaku sopan di depan Wadan. Pangkatnya apa, Pulung tidak tahu. Warnanya kuning, bentuknya bunga melati dan dua huruf ‘M’. Untunglah Pulung tidak tahu bahwa pangkat itu adalah peltu, pembantu letnan satu. Kalau dia tahu, dia akan memanggil Wadan itu dengan panggilan ‘Let’ juga seperti terhadap Letnan Maryadi, komandan Oom Wi. Karena dia tidak tahu, maka dia memanggil orang bertampang seram itu Pak Kunto. Dengan nada penuh hormat pula. Nama ‘Kuntobroto’ tertera di dada baju polisi bertampang sangar itu. Tapi dasar Pulung, di mana pun dia tetap suka bertindak konyol juga. Terutama di depan polisi, siapa saja yang namanya polisi. Rasa tidak senangnya pada pribadi Oom Wi berkembang secara membabi buta, hingga ia tidak suka pada polisi. Letnan Maryadi sudah hapal perangai Pulung, maka dia sering bisa mengambil hati si Rambut Kaku. Tapi Pak Kunto belum paham benar pada si Kepala Buah Durian itu. Dia melotot-lotot setiap kali Pulung berbicara dengan gaya seenaknya, seperti kepada pamannya saja. “Kapan sih Pak Rangga dibebaskan, Pak?” begitu gaya Pulung bertanya. Ia akan menumpuk pahanya sendiri, karena dilihatnya Pak Kunto bersilang kaki. Tapi Oom Wi menginjak kaki Pulung. “Jaga sikapmu!” dengusnya dengan marah. Pulung menekan belakang lutut Oom Wi dengan ibu jari tangannya. Serangan itu membuat Oom Wi berjingkat. Kakinya yang menginjak Pulung terangkat. Pulung menumpuk pahanya dengan sikap santai. Oom Wi tak berdaya, meskipun ia ingin menggampar kepala Pulung sekuat-kuatnya. Sebenarnya Pulung bukan anak yang tinggi hati dan tidak sopan. Ia bisa menghormati orang yang menurutnya pantas dihormatinya. Rasa hormatnya pada Wak Solikun, tak bisa diragukan lagi. Sebab Wak Solikun selalu bersikap tanpa cela. Demikian juga rasa hormatnya pada Bapak dan Oom Yan. Tapi untuk apa dia bersopan-sopan dengan polisi yang menyilangkan kakinya ketika Pulung menghadap membawa laporan berharga itu? Maka Pulung menumpuk kedua pahanya, sekedar membalas sikap Pak Kunto yang bersilang kaki. “Terima kasih atas laporanmu,” kata Pak Kunto. Pulung makin kesal karena pertanyaannya tidak dijawab. “Masih ada yang lain, Nak? Coba sampaikan kalau masih ada yang lain.” “Tidak ada!” kata Pulung tandas. Dipanggil ‘Nak’ oleh Pak Kunto, rasanya juga tidak senang. Letnan Maryadi saja memanggilnya ‘Dik’ atau kadangkala bahkan ‘Bung’. Kan enak kedengarannya. Panggilan Dik mengesankan seolah-olah Pulung bukan anak kecil lagi. Lebih-lebih panggilan Bung. Ah, rasanya panggilan itu yang paling menyenangkan. Pulung merasa diperlakukan sebagai orang dewasa karena panggilan ‘Bung’. Pulung bangkit dari kursinya. “Saya permisi,” katanya. Tanpa menunggu jawaban, ia membalik dan melangkah ke luar dari ruangan Pak Kunto. Oom Wi mengikutinya dengan wajah cemberut. “Aku tidak menyukai Wadan!” kata Pulung. Sengaja berkata begitu agar Oom Wi tidak mendahuluinya dengan maki-makian seperti biasanya. “Semua orang juga tidak suka padamu! Aku malah ingin nonjok kepalamu!” sengat Oom Wi seraya bergegas mengikuti langkah Pulung yang cepat sekali. “Jangan ribut, deh!” seru Pulung. “Dari dulu aku memang tidak suka pada Oom Wi! Tidak suka juga pada teman-teman Oom Wi!” “Kau makin konyol! Makin besar, makin dungu! Kalau Bapak tahu hal itu, kau juga akan dihajarnya!” “Bilang deh sama Bapak!” Pulung menantang. “Ayo ke rumah sekarang, mumpung Bapak di rumah!” Pulung mengambil sepeda yang ditaruhnya di halaman rumah Oom Wi, lalu meloncat ke sadelnya. Kakinya tidak sampai ke pedal sepeda yang sangat tinggi itu. Tapi dia bisa ngebut juga. “Ayo, dong! Katanya mau laporan pada Bapak?” tantangnya seraya mengayuh sepeda itu. Oom Wi marah bukan main. Ia mengambil sepeda motornya. Dia pun ngebut ke rumah Bapak. Hanya dua kilometer jaraknya dari asrama di dekat kantor polisi itu. Semuanya dilaporkan kepada Bapak. Kepada Ibu juga. Ketika Pulung tiba di rumah, Oom Wi sudah menikmati kopi kental dan sepiring ketan yang disajikan Ibu. Pulung yakin, Bapak pasti akan marah padanya. Seperti Pulung masih kecil saja, kalau marah Bapak sering menghajarnya. Rasanya tidak enak dihajar di depan Oom Wi. Pulung terus saja ke langgar Wak Solikun. Ia sholat asar di sana, meskipun sangat terlambat. Lalu mengisi kulah langgar seperti biasanya. Wak Solikun sedang bekerja di kebun rambutannya. Ia menyapu tanah kebun yang luas itu dengan sapu lidi. Dukri, anak lelakinya, tak ada. Dukri hanya bisa main saja. Anak sebesar itu tak punya kesadaran sedikit pun untuk membantu orang tuanya. Itu sebabnya Wak Solikun sayang benar pada Pulung. Karena Pulung selalu muncul pada saat dibutuhkan. “Assalamualaikum...,” Pulung bersalam. Wak Solikun mengangkat kepalanya dan membalas salam itu. Pulung meminta sapu lidi di tangan Wak Solikun. Ia membuka sepatunya, lalu mulai menyapu. “Semalam kau tidur di Kalitepung, ya?” tegur Wak Solikun seraya duduk di atas tanah. Ia mulai menggulung rokok daun kawungnya. “Iya, Wak.” “Kenapa tidak melayat Pak Lurah?” “Oh... apa sudah dimakamkan, Wak?” “Aku baru pulang dari makam bersama bapakmu. Nyonya dan Mister Yan juga melayat. Malah mereka belum pulang.” Biasanya Pulung tertawa setiap kali Wak Solikun menyebut ‘Mister Yan’. Tapi sekarang tidak. Dia tahu, Wak Solikun kecewa karena Pulung tidak ikut melayat. Pulung memang tidak mengenal Pak Lurah Kalitepung. Tapi Bapak mengenalnya sebagai sesama pamong desa. Wak Solikun juga mengenalnya. Kalau Wak Solikun dan Bapak melayat, maka seharusnya Pulung ikut. Lebih-lebih hubungan Pak Lurah Kalitepung dan keluarga Oom Yan juga baik sekali, dan Pulung adalah anak angkat keluarga Oom Yan. “Kalitepung sedang kena bencana,” Wak Solikun menggumam. Pulung terus menyapu sambil mendengarkan ucapan Wak Solikun. “Setiap kali seorang kepala desa melepaskan jabatan karena kesehatan atau telah lanjut usia, selalu desanya goncang. Dulu desa kita juga pernah mengalami hal seperti itu.” Pulung berhenti menyapu. Ia bertanya, “Apa ada hubungannya dengan takhyul, Wak? Aku sering mendengar kata orang-orang tua bahwa kepala desa ibarat induk ayam. Kalau induknya mati, anak-anak ayam akan menciapciap dan tercerai-berai. Kata orang hal itu sudah menjadi kodrat.” Wak Solikun mengisap rokoknya. Lalu menghembuskan asap dan berkata, “Itu takhyul, bukan kodrat.” “Lalu kegoncangan yang Uwak maksudkan, apa?” “Perebutan kekuasaan. Kedudukan kepala desa selalu diinginkan oleh banyak orang. Dulu ketika Pak Lurah yang tua meninggal, di sini juga terjadi perebutan kekuasaan. Bahkan telah terjadi sejak Pak Lurah tua sakit dan diperkirakan tidak mampu lagi memimpin desa. Orang-orang yang menginginkan kedudukan lurah mulai melakukan kegiatan kampanye. Mereka punya pengikut yang membantu usaha kampanye. Bahkan banyak juga yang membentuk tim yang terdiri dari orang-orang bayaran dan para penjahat. Penduduk ditakuttakuti agar mau memilih seseorang. Ada juga yang membujuk dengan memberikan uang atau beras. Tak jarang ada yang menyebarkan fitnah agar calon lurah yang lain cemar nama baiknya hingga penduduk tidak akan memilihnya. Macam-macamlah cara orang merebut kesempatan. Untunglah orang yang kemudian terpilih menjadi lurah ternyata orang yang bersih dan tidak tercela. Apa jadinya desa ini kalau dipimpin oleh bandit yang bermuka manis ketika pemilihan lurah diadakan?” Pulung sering mendengar tentang kisah yang terjadi ketika ia masih kecil itu. Konon orang yang terpilih menjadi lurah adalah orang yang telah mendapatkan pulung lurah. Pulung itu semacam ‘wahyu’ atau ‘ndaru’ dalam bahasa Jawa. Konon pula orang yang kejatuhan pulung hanyalah orang-orang yang berbakat dan mempunyai keturunan darah pemimpin. Karena kepercayaan orang akan adanya pulung itulah, maka si Rambut Kaku diberi nama Pulung. “Kalitepung dalam kegoncangan seperti itu,” kata Wak Solikun. “Kumpulkan sampahnya di lubang itu,” Wak Solikun menunjuk ke lubang tanah dengan jari tangannya yang menjepit rokok gulungan daun kawung. Pulung sadar bahwa sejak tadi ia berhenti menyapu. Ia mulai menyapu lagi ketika Wak Solikun melanjutkan, “Sejak Pak Lurah Kalitepung jatuh sakit, gerakan orang-orang yang ingin menduduki jabatan kepala desa sudah mulai tampak. Orang-orang itu mulai mencari muka. Yah... Kalitepung desa subur dan punya tanah pertanian yang luas. Kepala desa di sana mendapat tanah bengkok sampai delapan belas hektar. Siapa yang tidak ingin kedudukan lurah di Kalitepung? Jabatan seumur hidup, tanah bengkok delapan belas hektar...” Pulung lekas-lekas menyelesaikan pekerjaannya. Bapak seorang pamong desa. Sebagai anak pamong desa, Pulung tahu apa arti ‘tanah bengkok’. Bapak pun mendapatkannya seluas dua hektar. Tanah bengkok adalah tanah milik desa. Dipercayakan kepada para pamong desa selama masa jabatan pamong tersebut. Luas tanah bengkok tergantung luas tanah milik desa dan kedudukan pamong desa yang bersangkutan. Lurah mendapat bagian paling luas. Lurah di desa Pulung memperoleh lima belas hektar tanah bengkok. Tetapi di desa lain mungkin lebih luas lagi. Selama seseorang menjadi pamong desa, ia diperkenankan menggarap tanah bengkok dan memungut hasilnya sebagai mata pencaharian atau pendapatan. Sebab para pamong itu tidak mendapatkan gaji sebagaimana pegawai negeri. Tanah bengkok inilah yang sering menjadi incaran orang. Makin luas dan subur tanah bengkok di suatu desa, makin banyak orang menginginkan kedudukan pamong, terutama lurah. “Aku mendengar tentang brendung itu,” kata Wak Solikun ketika Pulung membawa sapu lidi untuk disimpannya di dapur rumah guru mengaji itu. “Semalam kau berada di sana, kan?” “Aku menyaksikan brendung itu, Wak. Tapi aku tidak percaya kalau brendung itu benarbenar bisa mencari pencuri.” “Mungkin saja bisa. Hal itu tidak aneh.” Pulung kaget mendengar ucapan guru mengajinya itu. Biasanya Wak Solikun paling tidak percaya pada hal-hal yang berbau takhyul. “Jadi Uwak percaya bahwa brendung dimasuki roh halus dan bisa mencari pencuri?” tanya Pulung heran. “Kalau Tuhan memperkenankan, sapu yang kaupegang tadi pun bisa mencari penjahat. Apa yang sulit jika Tuhan menghendaki? Dunia dan isinya ini, baik yang tampak atau yang tidak tampak oleh mata manusia, diciptakan oleh Tuhan hanya dalam sekejap saja. Anak yang pintar mengaji seperti kau, masa meragukan kebesaran Tuhan?” “Eh, ya tidak, Wak. Tapi aku heran kalau Wak Solikun percaya pada takhyul.” “Brendung bukan takhyul. Hal-hal yang gaib memang masih terjadi. Brendung termasuk kebudayaan manusia yang berkaitan dengan hal-hal gaib. Apa kau ragu, bahwa Tuhan juga menciptakan kegaiban-kegaiban?” “Ragu sih tidak. Tapi... masa arwah orang yang sudah meninggal bisa masuk ke dalam brendung hingga boneka gayung itu bisa bergerak-gerak mencari pencuri?” “Jangan salah paham. Aku tidak bilang bahwa yang merasuk ke dalam brendung itu adalah arwah yang gentayangan. Aku hanya bilang, kegaiban juga diciptakan oleh Tuhan. Gaib adalah sesuatu yang sukar dipecahkan dengan akal manusia. Manusia yang cerdik, sering membuat yang semula dianggap gaib, menjadi tidak. Buktinya, pesawat televisi...” “Wah! Kok sampai ke televisi segala, Wak?” Wak Solikun berjalan ke kulah langgar. Pulung terpaksa menunggu guru mengaji itu membersihkan badannya. Dia tertarik benar dengan ucapan gurunya. Rasa hormatnya pada Wak Solikun menjadi berlipat ganda. Hebat guru mengaji itu. Rasanya serba tahu saja. Dia tidak hanya menguasai jurus-jurus silat dan ayat-ayat suci, dia juga memahami hal-hal yang gaib. Pulung duduk di bangku kayu di bawah pohon melinjo. Pohon itu tegak di tepi halaman langgar kecil yang tua umurnya. Di halaman inilah Pulung berlatih silat pada malam terang bulan, sejak bulan masih sepotong sampai lewat purnama penuh. Di tempat ini pula Pulung sering mengobrol dengan Wak Solikun untuk membicarakan banyak hal. Bahkan kalau Pulung sedang risau karena menjumpai kesulitan dalam pelajaran, di sini pula Wak Solikun memberinya nasihat-nasihat berharga. Di halaman yang tak berumput dan berdebu kemerah-merahan ini, betapa banyaknya peristiwa telah terjadi. Di sini pula Pulung sering menerima hardikan-hardikan, bahkan juga hajaran-hajaran keras, bila dia melakukan kesalahan yang membuat gurunya marah. Kata Wak Solikun, di halaman tak berumput ini pula dulu Bapak digembleng menjadi santri dan pendekar. Ketika itu Bapak masih sebaya Pulung sekarang. Wak Solikun adalah teman mengaji dan lawan latihan silat bagi Bapak. Wak Solikun telah selesai mandi dan berganti pakaian. Isterinya menyajikan teh pahit dan gula aren. Pulung mendapat bagian pula. Tapi ia selalu merasa malu bila harus duduk minum teh bersama gurunya. Ia merasa dirinya sangat kecil bila dibandingkan dengan sang guru. Duduk minum teh bersama, ah! Seolah Pulung diperlakukan sebagai orang dewasa, sebagai teman mengobrol Wak Solikun! “Ayo, tehnya diminum,” Wak Solikun mengajak. Ia sendiri mereguk teh pahit yang hangat setelah menggigit sedikit potongan gula aren yang manis seperti gula merah. Memang nikmat hidangan itu untuk sore hari yang cerah. Pulung menikmati hidangan itu dengan perasaan malu tetap mengganggu. “Soal kegaiban dan televisi itu, bagimana, Wak?” tanyanya setelah meletakkan gelasnya di bangku kayu, di antara dia dan Wak Solikun. Wak Solikun menekan ujung peci hitamnya. Gayanya seperti dia mulai berbicara di mimbar pada acara peringatan hari-hari besar Islam. “Misalnya kau membawa pesawat televisi ke pedalaman yang penduduknya masih primitif dan ketinggalan zaman,” kata Wak Solikun. Ia menggulung rokok lagi. Ketika rokok itu dimasukkan ke bibirnya, Pulung menyalakan korek api. Ia merasa bangga, karena hanya dia murid Wak Solikun yang berani menyalakan rokok gurunya. Murid Wak Solikun lainnya merasa segan berhadapan dengan sang guru. Apalagi duduk mengobrol sambil minum teh dan menyalakan rokok guru mengajinya. Wak Solikun berkata lagi, “Pesawat televisi bisa dianggap sebagai barang gaib oleh penduduk pedalaman yang masih terbelakang itu. Bisabisa kau disangka dewa!” Pulung tertawa. Contoh itu memang masuk akal dan lucu. “Jadi sesuatu yang dianggap gaib oleh orang terbelakang, sebenarnya adalah karya teknologi modern. Orang-orang cerdik bisa menciptakan kegaiban bagi orang bodoh,” kata Wak Solikun lagi. “Lalu soal brendung itu, Wak? Apa seperti halnya pesawat televisi di tengah masyarakat pedalaman yang terbelakang?” “Aku pernah menyaksikan brendung pada masa aku kanak-kanak dulu. Itu memang soal gaib.” “Jadi ada roh halus yang merasuk ke dalam boneka gayung itu?” “Belum tentu roh halus. Soal gaib tidak bisa dipastikan. Kita hanya bisa menduga berdasarkan nalar dan pikiran, juga pengetahuan kita.” Pulung bingung jadinya. Jawaban Wak Solikun dinilainya terlalu muter-muter dan tidak tegas. Agaknya Wak Solikun memahami perasaan murid terbaiknya. Ia menerangkan dengan kata-kata yang lebih mudah dipahami, “Sesuatu yang menggerakkan brendung itu belum tentu roh halus. Belum tentu pula arwah orang yang sudah meninggal. Pernah melihat pertunjukan hipnotis?” “Belum, Wak. Tapi pernah mendengar ceritanya.” “Orang yang menguasai ilmu hipnotis, bisa menggerakkan benda dengan pandangan matanya. Pada zaman Jepang dulu, aku pernah melihat seorang opsir tentara Jepang menggerakkan mobil dengan pandangan matanya. Ia menguasai ilmu hipnotis tingkat tinggi.” “Jadi brendung itu digerakkan oleh kekuatan hipnotis, Wak?” “Belum pasti. Sejak tadi kubilang belum pasti. Aku tidak menyaksikannya sendiri.” “Kulihat brendung itu bisa bergerak-gerak seperti ada tenaga gaib yang menggerakkannya!” “Untuk mengetahui apa tenaga penggerak brendung itu, kau harus menyelidikinya. Brendung yang kulihat ketika aku masih kecil dulu memang bergerak karena tenaga gaib. Entah setan kebun rambutan, entah hantu kuburan angker yang merasuk ke dalam boneka gayung itu. Aku hanya melihat dia bergerak, dan pencuri itu mengakui perbuatannya.” Pulung makin puyeng saja. Ia bangkit dengan kepala terasa berat sekali. Soal brendung masih belum terpecahkan. Wak Solikun tidak mau memastikan apa benar arwah orang yang meninggal merasuk ke dalam brendung. Tapi Wak Solikun membenarkan bahwa kegaiban masih ada di dunia ini. Pulung lupa bersalam ketika meninggalkan gurunya. “Assalamualaikum!” Wak Solikun yang menyerukan salam ketika Pulung sudah melangkah mendekati sepeda Gogor. Pulung membalik dan melambaikan tangannya ke dekat kepala, “Wa Alaikumsalam, Wak!” Wak Solikun tertawa dalam hati melihat tingkah Pulung. Hari ini ia berlaku lembut pada muridnya itu. Tidak seperti biasanya. Sebab tadi di kuburan ia mendengar cerita orang Kalitepung tentang sepak-terjang anak Pak Bayan itu. Wak Solikun menilai, semalam Pulung berlaku sangat tepat sebagai santri maupun pendekar hasil gemblengannya. 5 MUSUHAN LAGI BAPAK mengawasi sepatu Pulung. Sepatu itu telah rusak. Sudah dua kali diganti alasnya. Pulung salah tingkah karena pandangan mata ayahnya. Apalagi Bapak baru saja menerima laporan Oom Wi tentang sikap Pulung di kantor polisi. Rasanya kepala pun ringan sekali. Tatapan mata Bapak selalu menggelisahkan. “Ingin punya sepatu baru, he?” tegur Bapak, tanpa melepaskan pandangan matanya pada sepatu Pulung. “Kan belum panen, Pak.” kata Pulung. Bapak memang biasa membelikan sesuatu bila panen tiba. “Tante Yan juga sudah ngajak beli sepatu. Tapi enakan dikasih Bapak!” Bapak mendengus. “Berapa nomor sepatumu?” tanyanya. “Tiga delapan, Pak. Eh... aku jadi curiga. Ada apa sih, Pak? Kok tanya-tanya sepatu. Dapat arisan, ya?” “Oom Wi mau kasih sepatu baru kalau kau mau membantunya.” “Payah, Pak! Oom Wi janji melulu!” “Mestinya kau membantunya tanpa mengharapkan hadiah. Dia kan pamanmu.” “Bantu apa sih, Pak? Tadi dia ngajak mancing. Aku tidak suka mancing. Kerjaan orang malas, tuh!” Ibu tersenyum senang. Baru sekali ini Pulung tampak akrab dengan Bapak seperti itu. Biasanya Pulung bersikap tertib sekali terhadap ayahnya. Menghadap Bapak seperti menghadap kepala sekolah saja. Ibu tidak tahu, Pulung bersikap seperti itu karena hatinya risau bukan main, Ia sibuk menebak-nebak apakah Bapak sedang marah atau tidak. “Kalung berlian yang kautemukan cukup berharga bagi polisi,” kata Bapak. “Sayangnya, penemuan kalung itu memberatkan tuduhan pada Pak Rangga.” Pulung merenung. Kalau saja tadi Si Man mau diajak bicara baik-baik, ia tidak berniat memperlihatkan kalung berlian itu. Akan diselidikinya sendiri mengapa kalung berlian yang hilang itu berada di peci hitam Pak Rangga. Ia yakin, pasti ada seseorang yang meletakkannya di sana ketika seisi rumah sedang tidur. Hanya ada dua orang yang bisa dicurigai: Pak Dawuh atau Taslim. “Kadang-kadang Bapak sendiri tidak tahu, mengapa kau menjadi sering terlibat dalam halhal seperti itu. Seolah-olah kau seorang detektip, pembantu polisi, atau entah apa istilahnya,” kata Bapak dengan suara perlahan. Nadanya seperti bergumam saja, padahal jelas dia berkata kepada anaknya. “Apa kelak kau ingin menjadi polisi seperti pamanmu?” “Tidak tahu, Pak,” Pulung menggeleng. Ia duduk dengan sikap sopan di depan ayahnya. “Kenapa kau tertarik untuk menyelidiki perkara Pak Rangga?” “Soalnya Pak Rangga itu ayah temanku, Pak.” “Hanya karena itu? Apa kau tidak sedang berkhayal menjadi polisi ulung seperti dulu ketika kau menyelidiki misteri kematian Nansy?” “Tidak, Pak. Aku tidak suka berkhayal lagi.” “Jadi apa yang mendorongmu untuk menyelidiki perkara Pak Rangga? Hanya karena dia ayah temanmu? Atau karena kau yakin Pak Rangga difitnah orang...” “Kalau aku berterus terang, Bapak tidak marah, kan?” “Coba bilang.” “Aku... aku berantam dengan Jalu di Sarean Selehraga.” “Terus?” “Aku merasa bersalah sekali, Pak. Kalau Wak Solikun mengetahui hal itu, aku pasti dihukum juga. Tapi aku tidak bisa menghindarkan perkelahian itu. Aku terpaksa.” “Ceritanya kau ingin menebus kesalahanmu pada Jalu, begitu?” “Kayaknya iya, Pak!” “Tapi ini perkara serius. Polisi sudah menangani kasus ini. Dari laporanmu, polisi bisa mulai bekerja. Kata pamanmu, pencurian kalung berlian itu tidak dilaporkan kepada polisi. Jadi sebenarnya polisi tidak bisa menahan Pak Rangga lebih dari empat puluh delapan jam. Tapi setelah kau melaporkan hasil pengamatanmu, polisi tidak akan melepaskan Pak Rangga sebelum kasus ini selesai.” “Kok jadi begitu, Pak? Memang polisi tidak percaya bahwa kalung itu diletakkan oleh seseorang ke dalam peci Pak Rangga?” “Kau sudah bicara dengan Wak Solikun?” “Sudah, Pak.” “Apa katanya?” “Dia menerangkan tentang brendung.” “Apa dia tidak menyebut-nyebut tentang perebutan kekuasaan di Kalitepung?” “Iya, Pak. Dia juga bilang begitu.” “Nah,” Bapak menjentikkan jarinya. “Pamanmu juga minta keterangan tentang Pak Rangga dari Bapak.” “Bapak kenal Pak Rangga, Pak?” “Kenal akrab sih tidak. Tapi Bapak tahu akan sepak-terjangnya di tengah masyarakat. Dia berbakat menjadi pemimpin. Pengaruhnya di masyarakat Kalitepung cukup baik. Pak Lurah Kalitepung bahkan pernah membujuknya agar Pak Rangga mau mencalonkan diri sebagai kepala desa kalau Pak Lurah sudah meletakkan jabatan karena usia tuanya. Tapi kelihatannya Pak Rangga tidak berminat menjadi lurah. Kalau dia mau, dalam pemilihan lurah mendatang bisa dipastikan dia yang akan terpilih...” “Jadi fitnah itu ada hubungannya dengan pemilihan lurah yang akan datang, Pak?” sahut Pulung dengan cepat. “Mungkin. Lawan-lawannya berusaha menjatuhkan nama baiknya dengan fitnah itu. Ini baru dugaan Bapak. Hal semacam ini seringkali terjadi di mana pun juga. Perebutan kekuasaan di desa seperti itu seringkali diikuti dengan tindakan-tindakan kotor. Pamanmu setuju dengan dugaan Bapak. Makanya untuk sementara Pak Rangga diamankan di kantor polisi. Kalau dia dibebaskan, mungkin saja jiwanya terancam. Ia tidak tahu siapa musuhnya, karena sebenarnya ia samasekali tidak menginginkan kedudukan kepala desa. Karena itu, mungkin dia lengah dan bisa disingkirkan dengan mudah oleh orang-orang yang membencinya.” “Disingkirkan ke mana, Pak?” “Ke akherat! Disingkirkan, bisa berarti dibunuh!” Pulung merasa ngeri membayangkan hal itu. Ternyata perkara yang diselidikinya bukan perkara biasa yang ringan. Itu sebuah perkara besar. Menyangkut keselamatan jiwa seseorang, juga masa depan sebuah desa bernama Kalitepung! “Apa rencanamu?” tanya Bapak kemudian. “Tidak tahu, Pak.” “Sekali ini, bekerja samalah dengan pamanmu. Kau bisa bebas bergerak di Kalitepung. Orang tak akan mencurigaimu. Apalagi banyak orang yang tahu kau anak Pak Bayan.” Pulung tertawa. Rasanya aneh mendengar bapak menyombongkan diri begitu. Tapi memang benar, Pak Dawuh pun mengenalnya karena dia anak Pak Bayan. Biar hanya sedikit, ada juga rasa bangga Pulung menjadi anak seorang pamong desa. Pulung ingin bercerita tentang Pak Dawuh. Tapi maksud itu diurungkannya. Ia khawatir akan bertindak ceroboh lagi hingga makin memperberat tuduhan kepada Pak Rangga. Lebih baik ia mengumpulkan bukti-bukti saja lebih dahulu. Si Man pun tidak percaya pada dugaan Pulung bahwa Pak Dawuh berlaku mencurigakan. *** Boneka gayung itu sudah siap pada jam sembilan malam. Buatannya kasar sekali. Tidak diberi baju, tidak pula diberi hiasan untuk menggambar wajahnya. Hanya gayung diberi kaki kerucut dari bambu bulat yang dibelah ujungnya. Boneka itu diikat dengan dua utas setagen saja. Empat ujung setagen itu berjuntai ke bawah. Pulung memegangi salah satu ujung setagen itu. Ia memasukkan antena penemuannya ke dalam lilitan setagen. Antena yang telah diulur menjadi panjang itu menusuk lambung boneka gayung. “Ayo kita mulai!” serunya. Gruno memegangi salah satu ujung setagen. Gogor memegangi ujung lainnya. Polan ragu-ragu. Ia merasa takut. “Pol! Pegangi ujung setagen itu!” perintah Pulung. Polan belum beranjak. “Nanti brendung itu kesurupan sungguhan, ya?” tanyanya. “Bodoh! Ini kan brendung main-mainan saja! Ayo cepat!” Polan memungut ujung setagen. Boneka gayung itu mengambang karena ditarik dari empat penjuru. Pulung menggerak-gerakkan antena. Boneka gayung bergerak-gerak. Ke atas, ke bawah, ke depan, ke belakang... “Kita coba menyerang ke sana!” Pulung menunjuk sebatang pohon pisang di sudut kebun belakang rumahnya. “Kau jalan duluan, Lung!” seru Gruno. Pulung yang berada di arah depan sebelah kiri boneka gayung itu, mulai menarik. Yang lain mengikutinya. Boneka gayung melesat dan tersembul-sembul karena ayunan setagen. Pulung mengendalikan boneka itu dengan antena. Boneka gayung bisa membentur-bentur pohon pisang. “Berhasil!” seru Pulung gembira. “Kalau antenanya ada empat batang, boneka ini lebih mudah dikendalikan!” “Tidak perlu empat!” Gruno membantah. “Cukup dua batang antena yang dipegang oleh dua orang di arah depan gayung.” “Aku punya pendapat!” kata Gruno. “Apa?” tanya Pulung. “Ujung antena itu bisa terlepas dari badan brendung. Pasti di bagian badan brendung itu diberi kaitan agar ujung antena tetap menempel.” “Betul juga,” kata Pulung. “Bagaimana hasil penyelidikan Jalu? Apa dia sudah menemukan bangkai brendung itu?” “Malam ini dia akan ke sini untuk melaporkan hasil penyelidikannya,” kata Gruno. “Jam lima sore tadi dia kujumpai di rumahnya.” “Kita tunggu saja, Gor! Kenapa kau tersenyum-senyum saja?” “Ah, tidak,” Gogor menggeleng. “Ngaku saja kau!” kata Gruno. “Kau pasti mengharapkan Ratri ikut Jalu, kan?” “Ah, enggak...” Tak lama kemudian, Jalu tiba. Ternyata Ratri memang ikut. Kakak beradik itu langsung menuju ke kebun belakang. Ibu mengantarkan mereka. “Bagaimana, Lu?” tanya Pulung segera. “Hm... dari mana aku memulai laporan?” tanya Jalu. “Dari mana saja! Mulailah!” Jalu mencari tempat duduk. Pulung menunjuk ke arah bangku panjang yang terletak di emper (teras) belakang rumahnya. Di dekat sana, lampu listrik lima belas watt menyala agak redup. Bola lampunya kotor oleh debu. Tapi sinarnya lumayan juga untuk menerangi sekitar tempat itu. Wajah Jalu tampak letih sekali. Gogor melompati pagar petai cina menuju ke rumahnya. Tidak ada yang mengacuhkannya. Setiap kali berada di tengah teman-teman kakaknya, Polan selalu merasa rendah diri. Tak enak berada di sana saja. Ia pun pergi dengan diam-diam. “Mbah Mandor itu...,” Jalu memulai. Adiknya memotong, “Aku saja yang cerita tentang Mbah Mandor!” “Nah, mulailah!” sambut Pulung. Ia tetap berdiri. Membiarkan Ratri duduk bersama kakaknya. Gruno pun tetap berdiri. Pulung melanjutkan, “Jangan lupa, ceritakan juga mengapa kau lari ke rumah Mbah Mandor ketika ayahmu dibawa ke Balai Desa.” “Mbah Mandor sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri,” kata Ratri. Ia menoleh pada kakaknya. “Iya kan, Mas?” “Jangan bertele-tele! Ngomong yang singkat!” seru Jalu setengah menghardik. “Suami Mbah Mandor dulu seorang mandor...” Jalu menoleh dan memandangi adiknya. Pandangan tajam itu seolah memerintahkan agar Ratri tidak bicara berkepanjangan. “Eh... begini, maksudku... suami Mbah Mandor dulu seorang mandor irigasi. Kalau sekarang namanya mandor pengairan. Ia mengatur pembagian air sungai untuk pengairan sawah...” “Kau ceritakan saja apa kata Mbah Mandor tentang brendung itu!” potong Jalu mulai kesal. “Dulu Mbah Mandor menjadi dukun brendung. Sekarang tidak lagi. Kata Mbah Mandor, ia berhenti menjadi dukun brendung karena tidak mau lagi menggunakan kekuatan setan...” “Jadi brendung benar-benar menggunakan kekuatan setan untuk menjalankannya?” potong Pulung. “Kata Mbah Mandor begitu,” Ratri mengangguk. “Mbah Mandor sudah insyaf. Dia hanya mau meminta kepada Tuhan, bukan kepada setan. Ketika ada orang yang memintanya untuk menjadi dukun brendung, dia menolak. Orang itu lalu meminta kepada Mak Tarni untuk menjadi dukun brendung yang kemarin itu.” “Siapa Mak Tarni?” tanya Pulung. “Mak Tarni dulu menjadi pembantu dukun brendung. Tapi kata Mbah Mandor, Mak Tarni tidak mungkin bisa membuat brendung. Mbah Mandor tidak pernah menurunkan kepandaiannya sebagai dukun brendung kepada siapa pun juga. Ia sangat sedih karena brendung yang kemarin itu digunakan untuk memfitnah Bapak.” “Teruskan.” Tetapi Ratri tidak berbicara lagi. Ia menunduk. Wajahnya tampak sedih karena teringat akan nasib ayahnya. “Hei, No! Tolong bawakan ini!” seru Gogor dari seberang pagar petai cina. Ia membawa baki berisi dua gelas teh manis dan sepiring getuk lindri. Rupanya sajian itu hanya untuk Ratri dan kakaknya. Gruno menggerutu, tapi dia mau juga mengambil baki itu. Gogor meloncati pagar petai cina. Kakek Sakeh sengaja tidak membuat pintu di pagar itu agar Gogor tidak sering main ke rumah Pulung pada saat ia harus bekerja mengurus bebek. Kalau dia tahu cucunya sering meloncati pagar, dia pasti marah juga. “Sampai di mana laporan Ratri?” tanya Gogor dengan gaya yang bikin enek. Gruno mendengus karenanya. “Kau diam dulu. Biar Ratri menikmati hidanganmu,” kata Pulung, karena dia tahu Gruno hampir ribut dengan Gogor. Ratri berkata lagi tentang brendung itu. Orang-orang yang memegangi setagen brendung itu adalah Pak Kamo, Pak Aril, Kang Keman, dan Pak Sukri. Keempatnya penduduk Kalitepung. Hubungan mereka dengan Pak Rangga biasa-biasa saja. Tidak sangat baik, tidak pula buruk. Sedangkan orang yang menghubungi Mbah Mandor untuk membuat brendung adalah Pak Aril. Laporan Ratri ditambah oleh Jalu yang mencari bangkai brendung. Ia hanya menemukan pecahan-pecahan tempurung kelapa. Ia memperlihatkannya kepada Pulung. Masih ada coretan bekas gambar mata di pecahan tempurung kelapa itu. Gogor merasa ngeri melihatnya. “Bagian-bagian lainnya tidak kautemukan?” tanya Pulung. “Rupanya ada orang yang mendahuluiku. Sisa-sisa brendung itu tidak ada lagi. Lung, apa kau mencurigai Pak Dawuh?” “Memang kenapa dia?” “Kata anaknya, Pak Dawuh membawa pulang bagian-bagian badan brendung juga.” Pulung memikirkan hal itu. Siapa Pak Dawuh sebenarnya? Dalang pembuatan brendung itukah? Pantas malam itu dia mencari sesuatu di jalan tanah di dekat makam Mbah Sawunglanang. Tapi Pulung tak mau ceroboh lagi. Soal kalung berlian itu pun hanya dia dan Gogor yang tahu. Gruno tidak tahu, Jalu dan Ratri pun tidak. Tiba-tiba Pulung ingat akan sesuatu. Ketika ia bersembahyang isya di rumah Jalu, kalung itu belum di sana. Ia bersembahyang isya sebelum Pak Rangga diserang oleh brendung... “Lu!” serunya tiba-tiba. “Ketika ayahmu diserang brendung, apa pintu rumahmu terkunci?” “Terkunci. Kaulihat sendiri aku menguncinya ketika kau selesai bersembahyang isya di rumah, kan?” sahut Jalu. “Lalu... ketika kau pulang dari Balai Desa, apa pintu rumahmu masih terkunci juga?” “Kau juga lihat pintu itu masih terkunci. Malah kau sendiri yang membukanya.” “Pintu belakang?” “Masih terkunci juga. Tapi... siapa yang keluar lewat belakang setelah kita masuk?” “Semuanya pernah keluar lewat pintu belakang untuk mencuci kaki sebelum tidur,” kata Gruno. “Tapi siapa yang pertama kalinya?” tanya Pulung. “Aku,” jawab Gogor. “Soalnya aku keburu ingin pipis...” “Jangan ngawur!” kata Gruno. “Kau tidak berani keluar sendirian! Aku mengantarmu!” “Iya, tapi aku yang membuka pintu itu!” Gogor ngotot. “Lalu kau juga ke belakang. Aku tidak minta diantar. Kau mendahuluiku ke belakang. Tapi aku yang pertama kali membuka pintu itu.” “Jangan berdebat dulu!” Pulung mengangkat tangannya. Ia berpikir keras sampai dahinya berkerut-kerut. Lalu bertanya pada Jalu, “Bagaimana cara kau mengunci pintu belakang rumahmu?” “Kau kan bisa. Hanya mengangkat gerendel ke atas. Gerendel bawah sudah terlepas.” “Hm... apa gerendel pintu itu mudah turun dengan sendirinya? Kalau tidak salah, untuk mengunci pintu itu diperlukan juga penumbuk padi untuk mengganjalnya...” “Ketika aku membuka pintu itu, tidak ada penumbuk padi yang mengganjal!” sela Gogor. “Ya. Aku juga belum memasangnya ketika aku meninggalkan rumah itu setelah mengantar Pulung sholat isya. Maksudmu bagaimana, Lung?” “Pintu itu bisa dibuka kalau daun pintunya didorong ke luar, kan? Atau ditarik dari luar! Bisa, Lu?” “Kayaknya bisa. Gerendel atas itu sudah licin sekali. Mana bentuknya lurus saja begitu. Tidak seperti gerendel sekarang, bisa diputar ke samping hingga tidak bisa turun dengan sendirinya.” “Kalau begitu, ada seseorang yang masuk ke dalam rumah ketika ayahmu dibawa ke Balai Desa.” “Untuk apa orang masuk ke rumah kami? Kami tidak merasa kehilangan!” kata Jalu. Akhirnya Pulung merasa harus menerangkan soal kalung berlian hasil temuan Gogor. Ia pun menerangkannya dengan hatihati agar Jalu tidak naik pitam lagi. “Kurang ajar!” Jalu meninju telapak tangannya sendiri. “Siapa kira-kira, Lung? Pak Dawuh?” “Kau lihat Pak Dawuh ketika ayahmu dibawa ke Balai Desa?” Pulung malah bertanya. “Tidak. Aku tidak melihatnya. Pasti dia sedang memasuki rumahku! Dia pencuri kalung berlian itu!” “Jangan sembarang menuduh dulu!” cegah Pulung. “No, apa pendapatmu? Dari tadi kau lebih dungu dari pada kambing congekan! Ngomong, dong!” Sejak tadi Gruno ingin bicara. Tapi ia merasa malu. Sebab hal itu menyangkut nama baik keluarganya. “Soal kakekku, Lung,” kata Gruno. Ucapan itu adalah isyarat kepada Pulung. Pulung mengerti. Gruno akan selalu merasa malu setiap kali membicarakan tentang kakeknya. Sebab kakeknya itu bekas pencuri pada zaman lampau. Namanya sendiri dilupakan orang. Ia hanya dikenal dengan nama Pak Pandung. Sedangkan pandung artinya maling! “Itu soal pribadi. Kau bilang saja nanti!” kata Pulung, memberi isyarat agar Gruno berbicara empat mata saja dengannya. Tidak beramai-ramai seperti itu. Apa sebenarnya yang akan dikatakan Gruno? Pulung jadi penasaran. Ia berpura-pura menguap seperti mengantuk. Ratri mencolek tangan kakaknya. “Mas Pulung sudah ngantuk. Kita pulang saja, yuk,” ajaknya pada Jalu. “Kalian mau menemani kami lagi?” tanya Jalu seraya bangkit dari bangku panjang itu. “Kami akan menyusul saja. Gogor boleh ikut Jalu sekarang,” kata Pulung. Jalu dan Ratri pulang bersama Gogor. Tinggal Pulung dan Gruno. Mereka mengemasi boneka gayung dan duduk di bangku panjang itu. “Ngomonglah tentang kakekmu,” kata Pulung. “Bukan tentang dia. Tapi tentang pendapatnya,” kata Gruno. “Tentang apa saja, ngomonglah!” “Mbah Pandung sudah dihubungi polisi.” “Hah? Polisi menghubungi Mbah Pandung? Lalu bagaimana?” “Polisi meminta Mbah Pandung memeriksa bekas-bekas pencurian di rumah Pak Jumadi. Kata polisi, setiap pencuri mempunyai cara tertentu untuk masuk ke rumah korbannya. Ada yang lewat genting, ada yang membuka pintu dengan kunci palsu. Pokoknya sesuai dengan keahlian masing-masing.” “Terus apa pendapat Mbah Pandung?” “Kau percaya? Mbah Pandung yakin tidak ada seorang pencuri pun yang masuk ke rumah Pak Jumadi!” “Lho! Masa begitu?” “Aku juga tidak percaya. Tapi Mbah Pandung yakin. Agaknya polisi juga yakin benar pada keterangan Mbah Pandung.” “Bagaimana kakekmu yakin bahwa tidak ada pencuri yang masuk ke sana?” “Kalau ada pencuri masuk lewat genting dan turun ke dalam kamar Bu Jumadi, jejaknya akan makin tipis ke arah bawah. Jadi jejak yang paling tinggi di dekat langit-langit pasti lebih tebal daripada jejak di dekat lantai. Sebab pencuri itu turun dari Iangit-langit ke lantai.” “Betul juga. Lalu?” “Jejak yang ditemukan di dinding kamar itu sebaliknya. Di dekat lantai jejak itu lebih tebal daripada di dekat Iangit-langit. Berarti orang yang membongkar genting itu naik dari kamar ke langit-langit, barulah membuka genting dan turun lewat pohon jambu di samping rumah Pak Jumadi. Jadi orang yang disebut pencuri itu berasal dari dalam rumah. Bukan dari luar.” “Kalau begitu, pencurinya orang dalam?” “Kata Mbah Pandung begitu. Kalau bukan Pak Jumadi sendiri, mungkin anak lelakinya.” “Kau sudah menyelidiki anak lelaki Pak Jumadi?” “Mestinya kautanyakan pada Jalu.” “Kalau sejak tadi kaubilang soal penyelidikan kakekmu, aku sudah tanya pada Jalu!” “Kau kan tahu perasaanku, Lung. Kalau kau punya kakek seperti Mbah Pandung, kau juga akan berperasaan seperti aku...” “Aku mengerti. Tapi apa orang Kalitepung tidak ada yang mengenal kakekmu?” “Mungkin ada. Tapi ketika Mbah Pandung melakukan penyelidikan, ia bersama dengan anggota polisi berpakaian preman. Mungkin pamanmu ikut juga. Karena polisinya berpakaian preman, orang bisa menyangka Mbah Pandung juga anggota polisi. Iya, kan?” “Mudah-mudahan begitu.” Mudah-mudahan, hanya sebuah harapan. ‘Mudah-mudahan Pak Rangga bukan pencuri’, juga hanya sebuah harapan. Pada kenyataannya bagaimana, Pulung belum tahu. Dan ia ingin tahu akan kelanjutan seuntai kalung berlian yang ditemukan oteh Gogor. Ia harus bertemu dengan Oom Wi untuk menanyakan soal itu. “Kita ke rumah Si Man sebelum ke Kalitepung. Kau yang nggenjot sepeda, ya? Aku sudah capek seharian kerja keras!” kata Pulung. Diperintahkan boss dengan cara begitu, Gruno pun oke saja. *** Tetapi Si Man masih tetap menjengkelkan juga. Sebagai anggota polisi, Si Man tidak bisa mengutarakan rahasia tugasnya kepada Pulung. Hal itu membuat Pulung keki pada Si Man. Selalu begitu. Rasanya Si Man tidak mungkin bisa akur dengan Pulung. Dalam hal apa saja! Tetapi dalam hati Pulung memuji Si Man juga. Sebab siang tadi ternyata Si Man tidak mengadukan sikap Pulung yang tidak sopan di depan Wadan. Si Man hanya meminta agar Bapak mengizinkan Pulung membantunya. Hanya itulah yang membuat Pulung bersikap agak sopan pada Si Man. “Semuanya serba tidak boleh tahu,” keluh Pulung karena Si Man tidak mau bicara apaapa tentang rencana tugasnya. “Jadi apa yang boleh kuketahui, Man?” “Man?” Oom Wi alias Si Man, melotot lebarlebar. “Dalam soal kesopanan, kau lebih dungu daripada Polan!” Tante Rus, isteri Si Man itu, hanya senyum-senyum saja. Tante Rus baik hati dan lembut. Tak pernah memusingkan Pulung mau memanggil Si Man atau apa saja kepada pamannya. Dalam hati, Tante Rus juga memihak Pulung. Dia setuju, paman yang tidak bisa mengambil hati kemenakannya memang tak perlu dihormati. Coba kalau Si Man bisa mengambil hati Pulung, tentunya Pulung akan bersopan-santun juga seperti sikapnya kepada Tante Rus. Tapi Tante Rus tidak pernah bilang soal itu kepada Si Man. Kalau ketahuan dia memihak Pulung, Si Man bisa marah. Pulung bangkit dari kursi yang didudukinya. Gruno bingung, tapi dia ikut bangkit juga. “Dari dulu kita memang tidak cocok. Persetan sepatu baru yang Si Man janjikan! Aku tidak mau kerja sama lagi!” sengat Pulung seraya berlalu. Di teras, ia berseru pada Tante Rus, “Pulung minta diri, Tante!” “Lho, kok buru-buru?” seru Tante Rus seraya mengejar ke depan. “Tante masih kangen, Iho!” “Lain kali saya ke sini lagi, Tante. Tapi kalau Si Man lagi tidak di rumah!” “Lung!” seru Oom Wi yang naik pitam karena di-’Si Man-Si Man’-kan oleh si Rambut Kaku. “Apa kau benar-benar tidak bisa sopan?” “Tergantung keadaan!” seru Pulung penuh ejekan. “Tidak usah janji mau ngasih sepatu baru, aku mau saja membantu. Tapi jangan selalu bikin keki, dong!” Si Man menggeram karena marahnya. Tante Rus menggamit tangan suaminya, memberi tanda agar dia mengalah saja. Pulung bisa garang bagai anak singa kalau dia diusik. Tapi sebenarnya dia selembut anak kijang bila orang tahu bagaimana cara menghadapinya. “Oke!” kata Si Man pada akhirnya. “Satu hal yang harus selalu kauingat, kau tidak lebih pintar daripada polisi!” “Aku tahu. Kalau aku lebih pintar daripada polisi, aku tidak ke sini menyerahkan kalung berlian itu. Akan kupecahkan sendiri perkara ini.” “Berlian, pikirmu?” “Iya! Yang tadi kubawa ke sini kan kalung berlian!” “Berlian apa? Imitasi! Palsu!” “Ha?” Pulung melongo. “Jadi... jadi itu berlian palsu?” “Pikirmu kau sudah pintar, ya?” Si Man mengejek demi dilihatnya Pulung benar-benar terlongoh. “Makin besar kepala, kau akan menjadi makin dungu!” “Selamat malam, Oom!” seru Pulung seraya membalik dengan sigap. Panggilan ‘Oom’ diucapkannya untuk mengejek, bukan menghormat. Sesudah itu, dia menyambar sepeda dan meloncat ke sadelnya. Gruno enak, dia yang membonceng. Tak bakal bisa begitu kalau Pulung tidak marahan dengan Si Man. 6 DUA MISTERI SEMALAMAN mereka tidur bergantian. Tapi sampai pagi tak ada kejadian apa-apa. Taslim dan Pak Dawuh masih berjaga di teras rumah. Tidur mereka pun lelap sekali. Sampai pagi. Di sekolah, Pulung mengantuk lagi. Untunglah dia tidak disuruh membuat kalimat dengan kata ‘dini’ lagi oleh Pak Son. Ristiani mentraktir bubur kacang hijau. Pulung menghabiskan dua mangkuk sampai perutnya melembung. “Kelaparan lagi, ya?” tanya Ristiani sambil memandangi Pulung. Ristiani sendiri semangkuk pun tak habis. “Kata Wak Solikun, tak baik menolak rejeki,” jawab Pulung seraya menyeka mulutnya dengan sapu tangan Ristiani. Enak saja dia mengotori sapu tangan itu. Ristiani bakal marah kalau bukan Pulung yang melakukannya. Sehingga Gogor merasa sangat iri. Dia duduk di sudut kantin. Lebih keki lagi karena dia harus mentraktir Gruno. Padahal sejak dulu dia tak akur dengan cucu Mbah Pandung itu. “Tapi kalau kau tidak lapar, kau tak akan menghabiskan dua mangkuk,” kata Ristiani. “Katamu, Wak Solikun-mu itu melarang kau makan berlebihan.” “Singkat saja, Ris! Ngomonglah apa maumu makanya mentraktirku tanpa kuminta!” Ristiani tertawa karena ketahuan sedang mengakali Pulung. “Ceritakan dong tentang boneka gayung itu!” katanya. “Sialan! Kau memerasku!” “Kalau kau tahu diri, pasti kau mau cerita!” Pulung mau bercerita. Tapi tentu saja hanya bagian-bagian yang boleh didengar orang lain yang diceritakannya. Soal-soal yang berhubungan dengan penyelidikan, tidak dikatakannya. Ristiani menyangka hanya sesedikit itu yang diketahui Pulung. Dia merasa lebih tahu. Katanya mengomentari cerita Pulung, “Kadangkadang aku kasihan padamu karena ternyata kau tidak sepintar yang kukira.” “Kau di atas angin, ya? Mentang-mentang sudah nraktir, seenaknya kau mengejek!” gerutu Pulung. “Percaya? Kau sedang menghadapi dua misteri!” kata Ristiani. “Pertama, misteri boneka gayung itu. Yang kedua, misteri kalung berlian yang tahu-tahu jadi berlian palsu. Eh, jangan marah, ya? Apa pamanmu orang jujur?” “Soal kejujuran, aku percaya. Dia seperti Bapak, tak pernah melakukan kejahatan apa pun juga. Bapak dan Si Man satu kelas kalau soal kejujuran. Jangan ngawur kamu, Ris!” “Jadi bagaimana kalung berlian itu menjadi palsu setelah berada di tangan pamanmu?” “Kau curiga padanya, kan? Kau menuduh dia menukar kalung aslinya dengan yang palsu, kan?” “Ya, tidak. Tapi... eh, tunggu! Mungkin begini, pamanmu membohongimu tentang kalung itu. Sebenarnya kalung yang kauserahkan padanya itu kalung yang asli. Tapi dia bilang itu palsu, agar kepalamu jadi mumet! Kau kan bersaing melulu dengan pamanmu? Kukira pamanmu juga nggak senang kalau kau lebih pintar darinya. Iya, kan?” “Kepalaku jadi mumet justeru karena kudengar pendapatmu. Kalau nggak bisa membantu, jangan ngomong saja, deh!” “Aku mau membantu.” “Apa?” “Ingat ketika aku punya mainan pesawat terbang yang bisa terbang memutar itu?” Pulung ingat. Ristiani pernah mendapat hadiah ulang tahun dari pamannya yang tinggal di Jakarta. Hadiah itu berupa pesawat terbang sebesar botol kecap. Kalau baling-balingnya diputar dengan memukul-mukul ujung balingbaling itu, maka mesinnya menderum. Pesawat bisa terbang seperti pesawat sungguhan. Pada salah satu sayapnya, dipasang dua utas kawat. Dua utas kawat itu sejajar. Ujungnya dihubungkan dengan alat pengendali yang berbentuk huruf ‘U’. Alat itulah yang dipegang Ristiani. Pesawatnya terbang memutar. Ristiani juga harus berputar mengikuti pesawat itu sambil memegangi alat berbentuk huruf ‘U’. Pesawat bisa menukik dan menanjak kalau alat pengendali dimainkan. Karena alat pengendalinya berbentuk huruf ‘U’, pesawat kecil itu disebut pesawat U-Control. Brak! Pulung menggebrak meja. Ristiani terkejut sampai melonjak dari kursinya. “Ada apa, Lung?” seru Gruno karena terkejut dan heran melihat Pulung bersikap garang di depan Ristiani. “Eh... tidak, tidak. Sori, deh,” kata Pulung. “Terima kasih, Ris! Perutku kenyang karena kau. Otakku juga terang karena kau. Semoga kau masuk sorga! Mau sekarang, apa?” Ristiani mengelus dadanya sendiri seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tadi dia menyangka Pulung marah padanya. Ternyata gebrakan meja itu hanya pertanda Pulung gembira bukan main karena menemukan pemecahan misteri boneka gayung. Pulung bergegas keluar dari kantin. Gruno mengejarnya. Mereka berjalan bersisian. “Punya gagasan baru, ya?” tanya Gruno. “Brendung itu dikendalikan dengan pesawat yu kentrol!” “Yu kentrol? Apa sih itu?” “Pokoknya pesawat yang bisa mutermuter!” Gruno tidak tahu apa maksud Pulung. Sebenarnya Pulung sendiri tidak tahu apa nama pesawat itu. Kayaknya Ristiani menyebutnya ‘yu kentrol’. Sedangkan tulisan di bungkus pesawat itu adalah U-Control. Nggak apa-apalah, U-Control memang dibaca ‘yu kentrol’. “Lalu antena yang kautemukan itu sebenarnya alat apa?” Pulung berpikir sesaat. Ia memandangi Gruno dan berkata sesudah berpikir, “Kita selalu menyepelekan hal-hal yang sepele.” “Maksudmu?” “Ristiani lebih pintar daripada kita. Kalau kujelaskan tentang brendung itu padanya sejak kemarin, kita tidak repot bikin boneka gayung segala. Kita juga melupakan teman yang lebih pintar daripada kita.” “Siapa?” “Saleh Doman! Kau banyak tahu soal elektronika karena kau anak seorang penjual radio. Tapi Saleh Doman anak seorang pemilik bengkel alat-alat listrik. Jangan kecil hati, No. Kau harus mengakui kelebihan Saleh Doman. Kau pernah mengagumi pesawat pemancar milik Ristiani, kan? Itu juga hasil karya Saleh Doman. Dibuat dari radio biasa yang diperlengkapi dengan alat pengirim sehingga bisa menjadi pemancar. Ketika Polan diculik dulu, aku menggunakan jasa Saleh Doman dan Ristiani dengan pemancar mereka.”6 “Sebenarnya kau mau ngomong apa, sih?” “Kita tanyakan pada Saleh Doman, antena apa sebenarnya yang kutemukan!” Gruno setuju. Antena itu ditaruh di dalam tas Pulung. Mereka memperlihatkan benda itu pada Saleh Doman, anak Kampung Arab yang jangkung dan berhidung panjang itu. Saleh Doman selalu merasa senang bila Pulung meminta bantuannya. Sekali ini dia pun senang. Dia tersenyum bangga sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Abunawas Kampung Arab!” sengat Pulung. “Kau kusuruh ngomong, bukan manggutmanggut!” 6 Baca: Pulung - Dua Penculikan “Ini antena pesawat pemancar, Fah!” kata si Abunawas Kampung Arab. Saleh Doman tidak marah dikatain apa saja oleh Pulung. Dia sendiri tidak pernah memanggil Pulung dengan panggilan yang benar. Ia menyebut Pulung dengan panggilan ‘Khalifah’. Artinya, ‘komandan’ atau ‘boss’. “Pemancar apa, Was?” tanya Pulung pada si Abunawas. “Sejenis walkie-talkie. Tahu kan, walkietalkie itu alat penghubung yang sering dipakai oleh polisi? Itu Iho, yang buat ngomong jarak jauh, yang bentuknya seperti radio kecil, yang warnanya hitam...” “Jangan menghina! Aku pernah memakainya ketika adikku diculik!” potong Pulung. “Kamu memang selalu lebih pintar dari Abunawas, Fah!” “Tengkyu, Was! Ada juga gunanya kamu dikasih napas, ya?” Saleh Doman tertawa penuh kebanggaan. “Jangan lupa, Fah!” seru Saleh Doman ketika Pulung beranjak meninggalkannya. “Selain polisi, banyak juga orang menggunakan pesawat itu.” Pulung berhenti melangkah dan berbalik menghadapi Saleh Doman. “Misalnya siapa?” tanyanya. “Pernah lihat pemasangan pipa air minum di depan rumahku?” tanya Saleh Doman. “Ya! Aku ingat! Mandor para pekerja itu menggunakan walkie-talkie untuk berbicara dengan pekerja yang sedang menyambung pipa di bawah tanah!” “Betul!” Saleh Doman mengacungkan ibu jarinya. “Petugas PLN yang membetulkan sambungan kawat di atas tiang listrik juga menggunakan walkie-talkie untuk berbicara dengan petugas lainnya di bawah. Oke, Fah! Mau tanya apa lagi?” “Cukup, Was! Salam untuk adikmu yang manis si Sheila!” Saleh Doman manggut-manggut lagi. “Juga untuk ibumu, ayahmu, tukang kebunmu, pembantumu, kepindingmu...” *** Sekarang Pulung menjumpai Jalu yang tengah termenung di bawah cemara di halaman sekolah. Pulung duduk di samping Jalu. Keteduhan cemara terasa menyegarkan tubuhnya. “Ceritakan apa saja yang kauketahui tentang Pak Dawuh. Semuanya, jangan ada yang ketinggalan,” katanya seraya meluruskan kedua kakinya. “Pak Dawuh orang tua yang nyentrik. Suka melakukan hal-hal yang aneh. Pakaiannya pun meniru-niru anak muda dari kota. Ia punya sepeda motor. Kerjanya memang jual-beli sepeda motor. Tapi sepeda motor miliknya bukan barang dagangan...” “Terus. Jangan berhenti!” “Sepeda motornya Binter Mercy, Ia menjadi anggota Mercy Club, yaitu organisasi pecinta sepeda motor Binter Mercy...” “Apa ada keistimewaan sepeda motornya?” “Sepeda motor itu dihiasi lampu beranekawarna seperti bis malam saja.” “Terus? Aku sering melihat ada sepeda motor yang juga diberi alat pengeras suara dan tape recorder. Apa sepeda motor Pak Dawuh begitu juga?” “Tidak. Tapi aku pernah lihat dia tertawatawa sambil naik sepeda motor. Kayaknya dia sedang mengobrol. Tapi dia sendirian.” “Hm... ya... apa dia membawa alat pemancar? Misalnya walkie-talkie?” “Tidak. Tapi aku sering lihat dia mengenakan topi joki berwarna merah dan... apa namanya alat yang dipasang di telinga itu? Seperti alat pendengar yang dipasang di telinga penyiar radio atau pilot!” Ternyata Pulung masih membutuhkan Saleh Doman juga. Bel Sudan berbunyi. Pulung berpapasan dengan Saleh Doman di pintu kelas. “Apa nama alat yang dipasang di telinga seperti yang dipakai pilot?” tanya Pulung segera. “Earphone. Kenapa, Fah?” “Anggota Mercy Club apa punya alat itu?” “Tidak semuanya punya. Kecuali mereka yang jadi anggota RAPI.” “Heh! Apa lagi itu?” “Radio Antar Penduduk.” “Organisasi apa itu? Jelaskan dengan singkat!” “Perkumpulan orang-orang yang gemar berhubungan melalui udara dengan pesawat pemancar dan penerima.” “Apa bedanya dengan klubmu?” “Klubku kan ORARI (Organisasi Amatir Radio Indonesia). Klubku menggunakan pesawat penerima dan pemancar seperti yang kaulihat di rumahku dan di rumah Ristiani...” “Klub RAPI menggunakan pesawat pemancar dan penerima yang bisa dibawa ke mana-mana? Maksudku seperti yang sering kulihat di mobil-mobil itu?” “Ya. Mobil atau sepeda motor juga bisa. Kalau naik sepeda motor, pesawat pemancar dan penerimanya kecil, biasanya ditaruh dalam tas. Alat pendengarnya menempel di kedua telinga seperti yang dipakai pilot. Sedangkan alat untuk ngomong atau mik, ditaruh di dekat mulut. Juga mirip mik yang dipakai pilot. Pesawat pemancar dan penerima itu disebut radio CB. Ingin tahu apa radio CB itu?” “Jelaskan. Mungkin aku perlu tahu!” “CB itu singkatan dari Citizen Band. Menurut sejarahnya, alat pemancar dan penerima ini mula-mula digunakan oleh para petani di Amerika. Karena tanah pertanian mereka luas, maka letak rumah para petani itu berjauhan. Mereka menggunakan pesawat pemancar dan penerima sebagai alat penghubung dengan tetangga. Makanya pesawat mereka dinamakan citizen band. Artinya ‘penghubung warganegara’. Tanya apa lagi, Fah?” “Selamat siang, Anak-anak!” terdengar suara Pak Koswara, guru matematika bertampang angker. Serta-merta Pulung merasa perutnya mulas. Dia memang bukan pecinta matematika. Setiap kali melihat guru matematika, selalu saja perutnya mulas. Penyakit itu timbul karena rasa bencinya pada matematika, bukan pada gurunya. *** Mungkin Tante Yan kecewa, karena Pulung tidak mengacuhkannya lagi. Sore tadi Tante Yan datang. Ia mengajak Pulung agar mau tidur di Gedong Lawang Satus selama Oom Yan bepergian jauh. Tapi Pulung menolak, meskipun sebenarnya dia tak sampai hati. Ia menyuruh Polan menemani Tante Yan. Untungnya Polan mau. Tapi kekecewaan Tante Yan masih terbayang oleh Pulung. Wajah tante yang baik hati itu tampak muram sekali. Tapi biarlah, Pulung pun sedang kebingungan karena misteri-misteri yang sulit dipecahkan. Dia memutuskan untuk memperlihatkan antena itu pada Pak Dawuh. Gruno tidak setuju. Pulung menurut saja. Mereka berempat tidur bergantian lagi di rumah Jalu. Ratri tidur di kamar sendirian. Menunggu apa sebenarnya mereka? Masingmasing belum tahu. Yang penting mengawasi Pak Dawuh. Kebaikan Pak Dawuh yang berlebihan juga cukup mencurigakan. Semua orang memang baik pada Pak Rangga. Tapi hanya Pak Dawuh yang mau berjaga di sana setiap malam. Taslim pun sudah mengundurkan diri. Malam ini Pak Dawuh sendirian di teras rumah. Jadi kebaikan orang tua yang nyentrik itu perlu dicurigai. Malam ini Pak Dawuh mengenakan celana jeans biru. Jaketnya juga jeans biru. Mestinya pakaian itu tidak sesuai lagi dengan usianya. Tapi sudahlah, orang kampung yang sok ngota itu memang suka berlaku aneh. Pada jam satu pagi, tiba giliran Gogor yang berjaga. Betapa tersiksanya dia. Jatah berjaga satu jam terasa lama sekali. Dasar penakut, melihat teman-temannya yang terbujur di lantai berselimut kain sarung pun dia takut. Seperti mayat-mayat bergelimpangan... “Lung! Lung!” ia menggoyang-goyangkan tubuh Pulung. “Bangun, Lung!” Pulung melompat dengan sigapnya. “Ada apa?” tanyanya seraya berdiri dengan kaki menekuk dalam kuda-kuda siap tempur. “Oh... tidak... tidak apa-apa...” Pulung menarik napas panjang. Ia tahu, Gogor merasa takut harus berjaga sendirian. “Buatkan minuman, nanti kau kutemani,” kata Pulung seraya duduk bersila di atas tikar. “Takut ke dapur sendirian?” Sebenarnya Gogor takut. Tapi dia malu kalau harus mengaku. Maka dia diam saja. Pulung maklum. “Yuk, kuantar!” ajaknya seraya melangkah ke dapur. “Buatkan kopi yang kental, ya? Aku ngantuk sekali.” “Ya. Kau jadi suka kopi, ya? Nanti jantungmu tidak sehat, Lung!” “Buatkan saja. Aku mau ke belakang sebentar. Mau pipis!” Pulung membuka pintu dapur. Memang mudah. Kalau alat penumbuk padi yang mengganjal daun pintu diambil, maka tinggai mendorong daun pintu ke luar. Gerendelnya akan meluncur turun dengan sendirinya. Daun pintu pun bisa dibuka ke arah dalam. Jadi pada malam Pak Rangga diserang brendung, ada orang yang masuk ke rumah lewat pintu ini. Setelah meletakkan kalung berlian palsu ke dalam peci Pak Rangga, orang itu keluar. Ia bisa memasang gerendel lagi dengan merogohkan tangannya lewat lubang angin di atas pintu, setelah daun pintu ditutup. Pak Rangga ceroboh juga, pintu dapurnya begitu mudah dibuka orang. Sebenarnya Pulung tidak mau pipis. Ia ingin mengintip Pak Dawuh. Ia berjalan dengan berjingkat ke depan, lewat pintu samping. Pak Dawuh tidak ada di teras lagi! Dengan cepat Pulung kembali ke dapur. “Ada apa?” tanya Gogor dengan gugup dan takut. “Tenang! Bangunkan Gruno dan Jalu! Cepat! Suruh mereka ke samping kanan rumah! Jangan ribut!” Selesai dengan ucapannya, Pulung berkelebat keluar. Ia mengendap-endap untuk mencari Pak Dawuh. Ia melihat bayangan bergerak-gerak mendekati kuburan Mbah Sawunglanang. Dada Pulung berdesir karena kaget dan takut. Ia tidak tahu bayangan itu siapa. Pak Dawuh atau... ah, bukan! Jumlahnya lebih dari satu. Hantukah? Arwah Mbah Sawunglanangkah? Terdengar suara siulan seperti bunyi burung hantu dari arah belakangnya. Pulung menoleh. Dalam kegelapan dilihatnya dua sosok bayangan mengendap-endap ke arahnya. Pulung menggoyangkan perdu melati di dekatnya. Bunyi goyangan itu didengar oleh Gruno. Ia mendekat seraya menggamit tangan Jalu. “Ada apa?” tanya Gruno dengan bisikan. “Lihat bayangan-bayangan di kuburan itu!” bisik Pulung. “Perhatikan berapa orang!” “Orang? Apa mereka benar-benar manusia?” bisik Gruno. “Jangan dekat-dekat, mulutmu berbau!” bisik Pulung. “Mulutmu juga!” bisik Jalu. “Jangan bicara ngelantur!” seru Pulung dalam bisikan. “Berani berpencar?” “Berani!” bisik Jalu, tak peduli bau mulut Pulung menguar ke hidungnya. “Kau berani, No?” bisik Pulung. “Sekali ini tidak, Lung! Terus terang, aku belum yakin itu manusia.” “Baca doa pengusir setan, No.” “Ya.” Ketiganya diam sesaat. Mereka membaca doa. Pulung membaca doa Nurbuat ajaran Pak Gowok. Tapi memang tidak bisa khusyuk. Perhatiannya tertuju pada bayangan-bayangan yang bergerak di kuburan Mbah Sawunglanang. Dari kuburan itu terdengar suara ‘dug-dug-dug’ berulang-ulang. “Sudah, Lung,” bisik Jalu. “Aku mau masuk lewat gerbang itu. Kau boleh dari sini. Perhatikan di depan situ. Ada bagian pagar yang terbuka. Merayaplah dari sana. Kau akan bisa masuk.” “Berani sendirian, Lu?” bisik Pulung. “Semua yang dikubur di situ adalah leluhurku. Apa yang kutakutkan?” “Baik! Mulailah!” Jalu berjalan mengendap-endap ke arah gerbang kuburan. Pulung merayap masuk, disusul oleh Gruno. Mereka berbaring menelungkup sambil mengawasi kuburan Mbah Sawunglanang. Di sana ada bayanganbayangan bergerak. Membungkuk dan tegak. Pulung menghitung. Semuanya ada empat orang. Seperti sedang menggali tanah kuburan itu. Mereka menggunakan seligi dan cangkul. “No, berani mendekati Jalu?” bisik Pulung. “Berani. Kenapa?” “Beritahu dia supaya memasang kayu atau apa saja di gerbang untuk jebakan. Sesudah itu bawa kemari lampu senternya. Suruh dia berjaga-jaga di luar gerbang saja. Jangan di dalam. Ingat, yang penting keselamatan diri sendiri, bukan menangkap orang-orang itu. Ingat, No?” “Ya.” “Jangan melakukan kekeliruan sekecil apa pun!” “Ya. Berangkat sekarang?” “Hati-hati!” Gruno merayap di atas tanah. Tak peduli baju dan celananya kotor. Jarak ke gerbang tidak jauh. Tapi ditempuh dengan merayap dalam suasana seperti itu, sungguh berat sekali. Ia harus meraba-raba untuk mencari jalan agar kepalanya tidak membentur nisan. Dan rasa takut di hatinya tidak hilang juga. Bagaimanapun dia sedang berada di kuburan, di kampung orang pula! Gruno tidak melihat ada seseorang yang sedang menelungkup pula di sana. Kepalanya menyundul pantat orang itu. Gruno terkejut, orang yang disundulnya juga terperanjat. Mereka menjerit bersamaan. Jeritan itu membuat orang-orang yang sedang menggali kuburan terkejut. “Lari!” ada yang berseru begitu. Jalu menyalakan lampu senternya ke kuburan Mbah Sawunglanang. “He! Siapa kau?” seru orang yang disundul Gruno. “Pak! Aku Gruno!” seru Gruno seraya berdiri. “Sialan! Kau bikin rencanaku berantakan!” orang itu bersungut-sungut. Ternyata dia Pak Dawuh. “Mana Pulung?” “Aku di sini, Pak!” seru Pulung sambil bersiaga. Ia belum tahu Pak Dawuh musuh atau kawan. “Brengsek, kau!” Pak Dawuh menggerutu. “Kau terlalu banyak ingin tahu!” “Pak Dawuh sedang apa di sini?” tanya Pulung dengan masih bersiaga. “Sok tahu, kau! Kalau bukan anak Pak Bayan, kukemplang kepalamu!” Jalu berseru sambil mendekati kuburan Mbah Sawunglanang dan menyorotkan lampu senternya, “Aku mengenali salah seorang dari mereka!” “Siapa?” seru Pak Dawuh seraya mendekat. “Pak Kamo!” “Hah! Apa kataku...” “Jadi Pak Dawuh sudah tahu?” “Nanti kuceritakan di rumahmu. Kita menunggu Taslim juga di sana!” Jalu memandangi kuburan moyangnya yang menjadi berantakan. Tanah galian menggunduk. Ada sebatang seligi yang ketinggalan. Jalu memungutnya. “Kurang ajar!” geramnya. “Untuk apa mereka menggali makam leluhurku?” “Kita ke rumahmu dulu, Lu! Nanti kuterangkan di sana!” Memang tak enak bicara panjang-lebar di kuburan itu. Mereka bergegas ke rumah Jalu. Ratri sudah terbangun. Rupanya Gogor menggedor-gedor pintu kamar Ratri karena dia ketakutan sendirian di rumah. “Apa yang kaulakukan di kuburan itu, hm?” tanya Pak Dawuh kepada Pulung. Ia tampak gusar sekali. “Terus terang, aku mengintip kerja Pak Dawuh di kuburan itu! Sekarang apa yang Bapak lakukan di sana? Menggali kuburan Mbah Sawunglanang untuk mengambil harta karun?” Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Pulung. Tangan Pak Dawuh cukup besar dan mantap. Tetapi tamparan itu dilakukan tanpa teknik. Hanya tamparan biasa. Mungkin Pak Dawuh tidak bisa bersilat. Menyadari hal itu, Pulung naik pitam. Ia menatap tajam-tajam mata Pak Dawuh. Bagaikan penyihir akan menundukkan musuh dengan tatapan mata penuh daya sihirnya. Pak Dawuh bergidik juga melihat tatapan mata hitam setajam itu. Tatapan mata seorang anak kecil. Kekuatan apa yang tersimpan dalam tubuh anak kecil berambut kaku itu? “Saya tidak terima diperlakukan begini!” sengat Pulung dengan marahnya. Gruno memahami gelagat. Ia meloncat ke samping kiri Pak Dawuh. Kedudukannya menguntungkan. Ia bisa menyerang sewaktuwaktu bila Pak Dawuh bergerak hendak memukul Pulung. “Lalu mau apa kau?” hardik Pak Dawuh. “Kecil-kecil sok jagoan!” Pulung meloncat menyerang! Gogor dan Ratri menjerit bersamaan. Pak Dawuh siap mengangkat kakinya. Tapi Gruno menjejakkan tumitnya ke lambung kiri Pak Dawuh. Dengan sendirinya Pak Dawuh terkejut. Kedudukannya goyah. Pulung menghajar wajah Pak Dawuh dengan sisi telapak tangan kanannya. Pak Dawuh mengaduh dan jatuh terduduk! Pulung berdiri dengan kuda-kuda tetap kukuh. Siap menghadapi serangan lawan. Tetapi Pak Dawuh mengangkat tangan kanannya. “Sudah! Sudah! Satu-satu, ya?” serunya. Tetapi Pulung tetap bersiaga penuh. Gruno bergeser ke kanan sehingga ia berada di belakang Pak Dawuh. Kesiap-siagaan seperti ini membuat Pak Dawuh tak berkutik. Sedikit gerakan mencurigakan ia lakukan, dua anak singa itu bisa menghajarnya tanpa ampun. Kedudukannya lemah, dan anak-anak singa itu benar-benar terlatih untuk melumpuhkan seekor singa tua seperti dirinya. Menyadari hal ini, Pak Dawuh bersikap santai. Ia duduk bersila di lantai. “Ya, aku terima kalah!” katanya seraya mengangkat kedua tangannya. “Sekarang katakan apa kerja Pak Dawuh di kuburan itu!” hardik Pulung. “Aku mengintip orang menggali kuburan Mbah Sawunglanang.” “Sejak kapan Pak Dawuh melihat orang itu?” “Sejak mereka datang. Aku lalu menyuruh Taslim untuk memeriksa rumah empat orang yang memegangi brendung. Kalau mereka tidak ada di rumah, berarti yang menggali kuburan itu mereka.” “Mengapa mereka menggali kuburan Mbah Sawunglanang?” “Mungkin untuk mengambil susuknya. Kamu tahu susuk? Jimat yang berbentuk seperti jarum, yang kecilnya hanya seujung jarum jahit. Susuk itu dimasukkan ke dalam bagian-bagian tubuh tertentu agar orang menjadi sakti.” “Mbah Sawunglanang orang yang beriman. Mustahil dia menggunakan susuk seperti itu! Jangan mengada-ada!” hardik Pulung. Suaranya masih galak, sikapnya pun masih bersiaga penuh. “Banyak orang yang percaya bahwa Mbah Sawunglanang mempunyai ilmu karang. Kau tahu apa ilmu karang?” “Ya!” Pulung tidak bohong. Ia sering mendengar kata orang tentang ilmu karang. Yaitu ilmu kesaktian yang membuat manusia tidak mempan ditembak atau dibacok. Orang yang mempunyai ilmu karang konon bila meninggal jenazahnya tidak bisa hancur meskipun telah dikubur selama berpuluh tahun. Rambut dan kukunya masih tumbuh memanjang. Juga giginya, masih utuh seperti ketika masih hidup saja. Jenazah orang yang mempunyai ilmu karang sering diperebutkan. Kuburannya digali orang untuk diambil susuknya. Konon kalau susuk itu dipakai oleh orang, orang itu akan menjadi kebal senjata pula. Jenazah orang yang punya ilmu karang itu akan hancur seperti jenazah lazimnya bila susuknya telah diambil. “Tapi aku tidak percaya Mbah Sawunglanang punya ilmu karang,” gumam Pulung. “Aku juga tidak!” sahut Pak Dawuh. “Tapi banyak orang yang percaya! Makanya aku curiga ketika Kamo membuat brendung. Apalagi brendung itu menyerang Pak Rangga. Kamo sengaja menyingkirkan Pak Rangga dari desa agar dia bisa bebas menggali kuburan Mbah Sawunglanang!” Pulung melirik Gruno. Gruno memberi tanda agar Pulung terus menanyai Pak Dawuh dengan sikap tetap waspada. “Lung,” Jalu mendekati Pulung. “Sudahlah, aku percaya pada Pak Dawuh. Kita bicara baikbaik saja. Jangan tegang begini.” “Kamu diam!” hardik Pulung pada Jalu. Gogor menarik tangan Jalu. Diajaknya menyingkir jauh-jauh. “Kalau boss kita sedang marah, jangan berani-beranian melawan. Bisa gawat semua!” bisik Gogor. Jalu mengerti. Ia diam saja di sisi Gogor. Perasaannya tegang bukan main. “Saya mau tanya!” seru Pulung dengan suara masih digalak-galakkan. Sebenarnya dia tidak tega memperlakukan Pak Dawuh semacam itu. Di matanya, Pak Dawuh seolah bagaikan Kakek Sakeh yang tua dan lemah. Pak Dawuh memang kekar dan belum setua Kakek Sakeh. Tetapi sikapnya yang pasrah itu membuat dirinya tampak seperti si tua tak berdaya. “Tanya apa lagi?” tanya Pak Dawuh dengan suara lemah. “Apa Pak Dawuh menjadi anggota Mercy Club?” “Oh, tidak... tidak...” “Pak Dawuh punya sepeda motor Binter Mercy?” “Iya. Aku juga punya jaket yang capnya ‘Mercy Club’. Tapi aku bukan anggotanya. Jaket itu dikasih orang yang menjual sepeda motor yang sekarang kupakai.” “Pak Dawuh menjadi anggota RAPI?” “Apaan itu?” “Iya, tidak?” “Tidak. Rapi jali, apa?” “Jangan main-main!” “Berani sumpah!” “Kenapa Pak Dawuh sering menggunakan earphone sambil naik sepeda motor?” “Apa itu? Aku tidak paham!” “Alat pendengar yang menempel di telinga! Pak Dawuh tertawa-tawa kalau mengenakan earphone sambil naik sepeda motor.” Pak Dawuh terbahak-bahak! “He! Jawab pertanyaanku!” hardik Pulung. “Itu kan tape recorder yang namanya wokmen! Aku sedang mendengarkan dagelan Basiyo, makanya aku tertawa-tawa!” Sialan! Ternyata yang disangka alat pemancar itu adalah wokmen (walk man), tape recorder kecil yang menggunakan alat pendengar di kedua telinga. Pulung mengeluarkan antena hasil temuannya. Ia memperlihatkannya pada Pak Dawuh. “Ini apa?” tanyanya. “Antena. Iya, kan? Ha! Kaupikir aku nggak tahu, ya?” seru Pak Dawuh dengan bangga. Ia tertawa-tawa karena bisa menebak tepat. “Ketika malam itu Pak Dawuh kupergoki di jalan tanah, Pak Dawuh sedang mencari antena ini, kan?” Pulung menyerang dengan pertanyaan yang penuh tuduhan. “Tidak. Aku mencari bangkai brendung!” “Untuk apa? Akan Bapak sembunyikan agar rahasia brendung itu tidak ketahuan orang lain, kan?” “Kamu pinter-pinter goblok!” seru Pak Dawuh sambil menuding wajah Pulung. “Aku kan tidak percaya si Tarni bisa bikin brendung! Makanya aku heran kenapa brendung itu bisa jadi. Aku ingin tahu rahasianya. Kalau aku bisa bikin brendung begitu, akan kupakai untuk menakut-nakuti para pemuda yang suka mabuk-mabukan di rumah Pak Jumadi!” “Jangan ngaco! Jawab yang benar!” “Itu yang benar! Berani sumpah!” Dari halaman terdengar suara Taslim memanggil-manggil Pak Dawuh. Gruno lengah. Ia menoleh ke pintu. Pak Dawuh menggerakkan kaki kanannya memutar. Pulung tak sempat mengelak. Kakinya dihajar kaki Pak Dawuh yang besar dan kukuh. Ia terjengkang. Pak Dawuh meloncat berdiri dan bersorak seperti anak kecil yang menang bertanding layanglayang. “Hore! Kena! Kena! Enak, kan?” Gruno kembali bersiaga. Gogor menjauh seraya menarik tangan Ratri. Jalu ikut tegang. Tetapi Pulung terbahak-bahak seraya bangkit dari lantai! Pak Dawuh menyergap Pulung. Dipeluknya kepala berambut kaku itu. Digosokgosokkannya kepala itu ke perutnya dengan gemas. “Anak macan! Hayo, sekarang bisa melawanku, tidak? Rasakan tuh, bau pusarku!” seru Pak Dawuh ribut. Taslim masuk. Ia kebingungan sesaat setelah melihat manusia-manusia dan tingkahnya di dalam rumah itu. “Betul. Mereka tidak di rumah, Pak!” serunya melapor. “Nah!” seru Pak Dawuh seraya melepaskan pelukannya. “Apa kataku? Betul, kan? Betul mereka tidak di rumah, kan? Berarti yang menggali kuburan itu Kamo, Aril, Keman, dan Sukri! Mereka itu yang memegangi brendung! “ “Mana bangkai brendung yang Bapak temukan itu?” tanya Pulung. “Ada di rumah! Sebentar kuambil, ya?” sahut Pak Dawuh. “Awas! Jangan lari!” Pulung pura-pura mengancam. “Kalau lari, kenapa memangnya? Anak macan! Kepalamu kayak durian mentah!” “Bapak sudah tua. Mata Bapak tidak awas. Kalau lari, nanti jatuh ke kali!” Pak Dawuh berkelebat dengan cepat bagaikan memamerkan kelincahannya. Suara tertawanya terdengar makin menjauh. Dia lekas kembali. Pulung pun heran si tua ini bisa bergerak secepat itu. Kalitepung banyak misteri. Banyak hal tak terduga terjadi begitu saja di sini. Pulung bersyukur bisa menyaksikan hal-hal yang aneh itu. Bangkai brendung diletakkan di atas meja. Pulung mengamatinya. Ia memungut benda seperti mesin sepeda motor, tetapi sangat kecil. Hanya sekepalan tangannya. Ia tidak paham benar soal-soal teknik. Ia memberikan benda itu pada Gruno. “Saleh Doman juga belum tentu mengenal benda ini, Lung,” kata Gruno setelah mengamati benda itu sesaat lamanya. “Kita serahkan saja pada polisi. Mungkin polisi akan mengenalnya. Kita harus mengakui, kita ini masih hijau dalam soal-soal begini. Kritik, ya, Lung?” “Apa?” “Belakangan ini kau menjadi sombong dan takabur. Marah, ya?” “Aku marah justeru karena kau tidak bilang sejak dulu-dulu!” “Sori, deh. Soalnya aku ingin kita tetap utuh, tidak bertengkar melulu. Tapi bukan berarti aku setuju pada sikapmu terhadap Oom Wi. Kau keponakan yang kurang ajar. Terusterang, aku memihak pamanmu!” “Oke! Oke! Sekarang bagaimana ini?” “Kita serahkan padanya. Kita sudah cukup mempunyai bukti. Hanya saja kita tidak tahu bukti-bukti itu diapakan agar misteri ini tersingkap?” “Sori, No! Aku sudah telanjur sombong. Malu dong, kalau nyerah begitu saja sama Si Man. Aku mau deh, minta maaf padanya. Tapi jangan terlalu kalah, dong. Kita selesaikan pekerjaan kita, baru datang dan minta maaf pada Si Man.” “Kau masih memanggilnya Si Man. Kau tidak pernah menghormatinya. Kalau kau mengaku salah, mestinya kau jangan ber-’Si Man-Si Man’ lagi.” “Jangan salah paham, No. Aku memang biasa memanggilnya Si Man. Kalau kau mau, ayahmu juga bisa kupanggil Oom. Orang sedunia ini bisa juga kupanggil Oom. Tapi orang yang kupanggil Si Man kan hanya satu? Hanya dia, adik bapakku. Aku tidak sreg memanggil dia Oom Wi. Karena itu paman yang kukenal sejak aku kecil, paman yang dulu mengasuhku dengan penuh kasih sayang itu, kupanggil Si Man. Aku tidak bisa mengubah panggilan itu. Sebab kalau kupanggil dia Oom, rasanya aku memanggil orang lain. Bukan memanggil pamanku yang sangat kuhormati. Kasih tahu dia, No. Panggilan Si Man sebenarnya tidak kurang menghormat. Tapi dia selalu salah paham, sehingga kami sering bertengkar...” “Aku sering dengar sendiri, kau sengaja memanggil Si Man agar dia marah kalau kau sedang kesal padanya.” “Soalnya dia yang mendahului. Dia yang selalu membuatku kesal dengan memaksaku memanggilnya Oom Wi. Kau tahu kan, aku paling benci pada orang yang menghardikku? Hanya Bapak yang boleh menghardikku. Aku pun marah kalau Wak Solikun menghardikku tanpa alasan. Kalau aku bersalah, dihajar pun aku mau.” “He! Kalian ngobrol apa, sih?” sela Pak Dawuh. Ia ingin tahu benar, apa rahasia brendung itu. Ia benci pada anak-anak muda yang suka mabuk-mabukan di rumah Pak Jumadi. Akan ditakut-takutinya anak-anak brengsek itu dengan boneka hantu agar mereka terbirit-birit. “Bilang dong, bagaimana cara membuat brendung palsu itu?” “Selamat pagi!” terdengar seruan itu di ambang pintu. Semuanya menoleh. Si Man melangkah masuk dalam pakaian preman. Diiringi oleh Pak Rangga. Ratri menjerit seraya menghambur memeluk ayahnya. Pulung membuang muka demi dilihatnya Si Man tertawa bangga. Si Man memeluk kepala Pulung. Dipeganginya kepala berambut kaku itu. Ia memperkenalkan kepada semua orang bagaikan dalam sebuah acara resmi, “Bapak-bapak dan Adik-adik, akan saya perkenalkan jagoan kita ini! Namanya Pulung. Dia bisa menjadi orang hebat karena dia cukup cerdik. Tapi sayang, kepalanya terbuat dari batu. Lihat! Betapa kerasnya kepala ini!” Berkata begitu, Si Man menjitak kepala Pulung keras sekali. Pulung tidak marah, karena ia merasakan pelukan Si Man sangat hangatnya. Seperti dulu, ketika ia masih kecil dan Si Man tinggal di rumahnya. Betapa akrabnya dia dengan Si Man. Seperti dua sahabat karib saja, sehingga Pulung sering berlaku kurang ajar pada pamannya. Tapi Si Man dulu tak pernah marah. Dia memaafkan kenakalan anak kecil yang dikasihinya. Kini bila Pulung tak bisa berlaku sopan, dia marah besar. Sebab dia ingin Pulung menganggapnya sebagai ayah. Si Man sendiri tak punya anak. Betapa rindunya Si Man pada seorang anak. Ia ingin menjadikan Pulung sebagai anaknya. Dan bukankah bila Bapak telah tiada, Si Man menjadi penggahti ayah Pulung? Tapi rasanya sungguh sulit mengubah sikap akrab itu. Si Man sadar, dia tak akan berhasil mengubah sikap. Dia harus menjadi Si Man seperti dulu, agar Pulung bisa akrab lagi dengannya. Si Man bisa berlaku sebagai seorang ayah terhadap Polan, karena dulu ia tidak akrab dengan si bungsu anak Bapak itu. Tapi terhadap Pulung, dia harus menjadi sahabat, kakak, teman bermain dan memancing ikan, teman bergurau, dan jangan sekali-kali menempatkan diri sebagai seorang bapak. “Man...,” Pulung memanggil dengan manja, seperti dulu-dulu juga. “Kenapa tahu-tahu Si Man berada di sini?” Si Man tersenyum penuh kasih dan maaf. Dia tak marah di ‘Si Man-Si Man’-kan lagi. Tak marah, sungguh! “Sudah sering kubilang, tidak semua gerakan operasi polisi boleh kauketahui. Kerahasiaan tugas harus selalu dijaga. Meskipun kau teman memancingku, kau bukan polisi. Aku tak boleh sembarangan mengutarakan rahasia tugasku. Paham? Uh, mulutmu berbau!” “Jadi tugasku gagal, ya?” tanya Pulung dengan kecewa. “Siapa bilang kau gagal? Justeru berangkat dari laporanmu, maka polisi bisa mengembangkan gerakan operasi!” “Tapi aku tidak bisa menangkap banditnya, Man. Jangan marah, ya?” “Aku tidak menyuruhmu menangkap bandit. Kau hanya kusuruh mencari buktibukti dengan penyelidikan gaya Pulung. Oke? Sekarang laporkan hasil penyelidikanmu.” “Kita berkawan lagi, Man?” “Berkawan dan bekerja sama. Setuju?” Pulung menggerayangi saku baju Si Man dengan menyundul-nyundulkan kepalanya. Seperti ada lipatan uang dalam saku itu. Nyata berbunyi ‘kresek-kresek’ ketika kepala Pulung digeser-geserkan. “Punya duit, Man?” bisik Pulung. “Mau beli sepatu baru, ya? Jangan kecewa, aku hanya bisa membuatkan sepatu ukuran kakimu dari sepatu dinasku yang sudah tidak terpakai. Buatannya bagus, Lung. Sengaja kupilih tukang sepatu ahli. Nomor kakimu masih tiga tujuh, kan?” “Ngawur! Itu ukuran kaki Si Pol!” “Oh, ya? Jadi aku salah ingat? Ah, Polan beruntung, kalau begitu. Berapa nomor kakimu?” “Sudah, deh! Minta Mama juga dikasih yang baru! Lagipula aku begini-begini tidak untuk cari sepatu, Man. Percaya? Aku hanya ingin membebaskan Pak Rangga dari tuduhan dan fitnah. Bagaimana kabar kalung berlian yang ditemukan Gogor itu, Man?” “Menurutmu bagaimana?” “Seseorang menaruh kalung itu ketika Pak Rangga diserang brendung. Iya, kan?” “Betul!” “Tapi aku tidak tahu mengapa kalung itu bukan berlian asli!” “Gampang. Yang asli sudah dijual untuk berfoya-foya, minum-minuman keras, berjudi...” “Ha? Jadi pencurinya anak Pak Jumadi sendiri?” “Betul. Orangnya juga sudah mengaku. Pengakuan itu yang membuat Pak Rangga dibebaskan.” “Jadi pencuri itu yang menaruh kalung berlian palsu ke dalam peci Pak Rangga?” “Salah!” Pulung memandangi Pak Rangga yang masih mengelus-elus kepala Ratri. “Dumain, anak Pak Jumadi itu, tidak tahumenahu tentang brendung. Ia mencuri kalung milik ibunya untuk berfoya-foya dan berjudi. Ia tidak memfitnah siapa-siapa,” kata Pak Rangga. “Jadi brendung itu dibuat untuk...,” Pulung menoleh pada Pak Dawuh. “Bapak betul! Pembuat brendung sengaja akan menyingkirkan Pak Rangga dari kuburan Mbah Sawunglanang. Mereka juga mengatur siasat agar ada bukti bahwa Pak Rangga mencuri kalung berlian itu. Salah seorang dari mereka meletakkan kalung berlian palsu ketika orang menjadi sibuk.” “Untuk apa mereka menyingkirkan aku dari kuburan leluhurku?” tanya Pak Rangga. “Kata Pak Dawuh, banyak orang yang percaya bahwa Mbah Sawunglanang memiliki ilmu karang.” “Masya Allah!” seru Pak Rangga. “Orangorang sesat! Moyang kami tidak pernah mempunyai ilmu-ilmu kebal macam begitu! Mbah Sawunglanang orang yang taat beragama! Kalau dia kebal, pada zaman revolusi dulu dia tidak terluka kena pecahan mortir!” “Kata orang, ada juga ilmu karang yang pemiliknya mempan senjata, Pak. Tapi lukaluka yang ada di tubuhnya bisa sembuh dengan sendirinya dan seketika!” bantah Pulung. “Luka-luka Mbah Sawunglanang sembuh karena diobati di rumah sakit! Bukan karena dia punya ilmu karang! Saya tersinggung kalau sejarah perjuangannya dipalsukan! Menganggap dia sebagai orang sakti, juga termasuk pemalsuan sejarah! Saya bisa marah! Leluhur saya itu orang beriman yang taat. Dia hanya melakukan perbuatan yang diperkenankan Tuhan!” “Maaf. Saya lancang mulut,” ucap Pulung penuh sesal. “Pak... sabar, Pak...,” Ratri menyabarkan ayahnya. Pak Rangga sadar, ia memang cepat naik pitam kalau nama baik leluhurnya dicemarkan. Itu sebabnya dia menyandang golok ketika tersiar kabar makam Mbah Sawunglanang akan dijadikan tempat membuat brendung. “Sekarang makam itu sudah dibongkar orang!” kata Pulung dengan tandas. Ia sengaja mengucapkan kalimat itu agar Pak Rangga pergi saja. Benar dugaannya. Pak Rangga langsung melompat ke luar. Ia berlari ke kuburan. Kedua orang anaknya mengikuti. “Gila kau!” cetus Si Man. Tapi dia tidak marah. “Enak saja ngerjain orang!” “Oke, Man. Tuh bangkai brendung penemuan Pak Dawuh.” Si Man memeriksa bangkai brendung. Ia tertarik pada mesin kecil itu. “Mesin apa itu, Man?” tanya Pulung. “Mesin penggerak brendung. “ “Aku tahu! Maksudku cara kerjanya bagaimana? Kayaknya brendung itu bisa dikendalikan.” “Perlu diselidiki dulu. Ini bukti-bukti yang sangat lengkap. Oke, kerjamu beres sekali, Lung! Atas nama kepolisian, aku menyampaikan terima kasih dan penghargaan. Juga kepada Pak Dawuh.” “Terima kasih, terima kasih,” kata Pak Dawuh sambil membungkuk-bungkuk. Ia berterima kasih karena diberi ucapan terima kasih. Lucu juga orang itu. Si Man mengemasi barang-barang itu. Ia berbicara lewat pesawat walkie-talkie yang semula berada di saku celananya. Tak lama kemudian, dua orang anggota polisi berpakaian preman datang. Pulung tetap tak mau kalah dengan Si Man. Ia tidak menyerahkan antena penemuannya. Kata Saleh Doman, itu antena pesawat pemancar. Ia akan memecahkan satu misteri lagi tentang antena itu. 7 KEJUTAN SI POL PULUNG menceritakan semua pengalamannya pada Wak Solikun. Mereka berbicara di bawah pohon rambutan. Bulan hanya segaris lengkung saja. Sinarnya belum terang. Itu pun terhalang oleh mega-mega. “Jadi dugaanku tidak benar, ya?” gumam Wak Solikun. “Rupanya kau lebih cerdik daripada ayahmu. Bayan juga menduga latar belakang fitnah itu karena perebutan kekuasaan. Ternyata hanya karena kabar angin tentang ilmu karang...” Dipuji terang-terangan begitu, Pulung jadi tersipu. “Polisi sudah menangkap komplotan pembuat brendung itu?” tanya Wak Solikun. “Tadi Si Man ke rumah. Katanya, semuanya sudah tertangkap. Tapi tidak ada yang mengaku mengetahui rahasia brendung itu. Mereka kompak menyatakan bahwa brendung itu benar-benar dikendalikan dengan kekuatan gaib. Mak Tarni juga percaya bahwa ia bisa membuat brendung itu bertenaga gaib.” “Jadi sekarang tinggal menyingkap rahasia bagaimana brendung itu bisa bergerak. Kalau kau berhasil memperlihatkan bukti-buktinya, komplotan itu tak berkutik. Mereka pasti didalangi oleh seseorang atau beberapa orang. Memang banyak yang mengincar ilmu karang. Orang berduit bahkan berani membayar berpuluh juta untuk susuk ilmu karang yang belum ketahuan kebenarannya itu. Tapi yah... di dunia ini banyak orang sesat yang mudah tertipu dengan khayalan tentang kekebalan, kesaktian, dan semacam itu...” “Kata Si Man, komplotan Pak Kamo mengaku sudah lama mengincar kuburan Mbah Sawunglanang untuk mengambil susuk yang sebenarnya tidak ada itu. Tapi gagasan membuat brendung muncul setelah Pak Jumadi kehilangan kalung berlian. Rencana mereka akan membuat brendung di kuburan Mbah Sawunglanang. Sasarannya tetap Pak Rangga. Kalau rencana itu berjalan mulus, orang akan percaya bahwa Pak Rangga benar-benar pencurinya. Sebab orang akan menyangka arwah Mbah Sawunglananglah yang merasuki brendung itu. Tak mungkin Mbah Sawunglanang mencelakakan keturunannya kalau memang Pak Rangga tidak bersalah. Pendapat orang pasti begitu.” “Tak semudah itu memanggil arwah orang yang sudah meninggal. Dunia fana dan dunia baka tidaklah sama. Tapi komplotan itu lebih pintar daripada orang-orang Kalitepung, ya? Mereka bisa menggunakan kesesatan orang Kalitepung yang masih percaya pada takhyul. Padahal komplotan itu juga orang-orang yang percaya pada takhyul tentang ilmu karang. Masya Allah! Sesat semuanya...” Pulung merasa telah cukup mengobrol dengan guru mengajinya. Ia bangkit dari tempat duduk di samping Wak Solikun. “Aku akan menginap di Gedong Lawang Satus, Wak. Tadi Si Pol sudah kusuruh menunggu di sana,” katanya. “Boleh, boleh. Kau memang harus belajar menghargai perasaan orang-orang yang mengasihimu. Nyonya Yan orang baik. Kau sering mengecewakannya...” Pulung memberi salam kepada guru mengajinya dengan rasa hormat yang sungguhsungguh. Salam berbalas, dan mereka berpisah di sana, di bawah rambutan yang mulai berbunga. *** Gedong Lawang Satus sudah gelap. Lampulampu di teras dipadamkan. Pulung heran, tak biasanya rumah besar itu sesepi ini. Baru jam sepuluh malam, sudahkah lelap semua penghuni gedung berpintu banyak itu? Pulung melangkah di halaman yang luas dan penuh bunga. Si Pol pasti tidur di kamar samping kamar Pulung di rumah itu. Pulung akan mengetuk jendela kamar itu untuk membangunkan Si Pol. Tetapi suara apa itu? Dengungan lebah raksasa? Pulung mengendap bersiaga terbawa oleh kebiasaannya. Dengung seperti bunyi lebah raksasa terdengar jauh di atas atap. Apa gerangan? Dan... Tuhanku! Ada hantu kecil berlidah panjang menari-nari mengeliling kepala Pulung! Hantu itu! Matanya merah, rambutnya putih terurai panjang. Baunya wangi seperti bau cendana dan kemboja... Pulung membaca doa ajaran Wak Solikun. Doa pengusir setan. Pengusir makhluk halus. Doa ampuh, tapi kenapa hantu itu masih berputar-putar di atas kepalanya? Doa Nurbuat ajaran Pak Gowok dibacanya pula. Tapi tidak sampai selesai. Sebab dia sudah sibuk diserang oleh hantu kecil seperti bayi berambut dan berlidah panjang. Hantu jenis apa ini? Arwah bayi gentayangan, atau kuntilanak kecilkah dia? Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa riuh dari dalam Gedong Lawang Satus. Begitu banyaknya orang tertawa. Tante Yan, Oom Yan, Bu Renti, segenap pembantu dan tukang kebun, bahkan juga Si Pol! Pulung merasa keki karena ia sadar sedang dikerjain. Dia meloncat. Hantu bayi berambut panjang direnggutnya. Ternyata hanya boneka kertas yang ringan sekali. Diberi gantungan dengan benang yang kuat. Pulung menyentakkan boneka itu dan dibantingnya ke tanah. “Aduh! Celaka!” seru Polan seraya menghambur ke luar. Suara dengung berhenti setelah terdengar bunyi sesuatu menabrak pohon. “Apa-apaan kamu, Pol!” hardik Pulung. “Pesawatku! Aduh, Tante! Pesawatku hancur menabrak pohon! Gara-gara Mas Pulung! Aduh, hancur, deh! Habis, deh!” seru Polan ribut. Ia berlari ke pohon mangga. Lalu dipungutinya benda-benda yang berantakan di sana. Ia membawanya masuk ke beranda. Lampu-lampu menyala. Beranda menjadi terang-benderang. Polan meletakkan reruntuhan pesawat terbang sebesar botol kecap di lantai beranda Gedong Lawang Satus. Pulung keheranan melihatnya. “Pesawat apa itu?” tanyanya. “Punya siapa?” “Punyaku. Gara-gara Mas Pulung, jadi begini...” “Dari mana kaudapat benda itu?” “Tadi pagi Oom Yan pulang dari Jakarta. Aku dikasih oleh-oleh pesawat ini. Tapi sekarang jadi begini...” Oom Yan berjongkok untuk memeriksa pesawat yang terbuat dari bahan fibre glass itu. “Ah, tidak apa-apa,” katanya. “Masih bisa dirakit lagi. Besok Oom kerjakan. Hanya mesinnya yang terlepas, kok.” “Pesawat ini apa yang disebut pesawat yu kentrol, Oom?” tanya Pulung. “Ini pesawat model, pesawat yang meniru pesawat sungguhan. U-Control termasuk pesawat model juga. Tapi yang ini dikendalikan dengan gelombang radio. Namanya pesawat model Radio Control. Bentuk pesawat ini persis dengan pesawat tempur Mirage bertenaga jet. Persis dengan aslinya, pesawat model ini juga menggunakan tenaga jet. Kekuatan mesinnya 3,5cc. Termasuk pesawat model berukuran besar dengan kekuatan mesin yang besar pula.” “Jadi mainan mahal ini Oom berikan untuk Si Pol?” “Ya, karena dia sering menemani Tante di rumah. Kau makin jarang ke sini, Lung. Tante jadi kesepian.” “Tadi boneka kertas itu digantung di badan pesawat ini, ya, Oom?” tanya Pulung sangat ingin tahu. “Iya.” “Misalnya mesin pesawat ini dimasukkan ke dalam boneka kertas itu, apa bonekanya bisa terbang?” “Terbang bagus seperti pesawat itu, ya tidak! Bentuk badan pesawat kan mempengaruhi gerakan terbangnya.” “Tapi bisa bergerak ke depan, kan?” “Bisa.” “Kalau digunakan untuk menggerakkan brendung, apa bisa, Oom?” “Wah! Brendung yang pakai boneka gayung itu? Mana bisa? Brendung kan berat?” “Tapi bisa Pa,” sela Tante Yan. “Dulu kita pernah lihat pesawat model yang besar sekali, kan? Ingat, Pa, ketika kita berlibur di Jakarta dulu? Pesawat itu sebesar biawak. Kekuatan mesinnya pasti lebih besar lagi!” “Mungkin juga. Mesin berkekuatan 5cc mungkin kuat menggerakkan brendung. Tapi apa ada pesawat model dengan kekuatan mesin 5cc, Ma?” “Ada! Mama pernah dengar ada seorang kopral dari Australia yang bikin pesawat model Hercules dengan kekuatan mesin 6,5cc! Wah! Bentangan sayap pesawat model itu sampai tiga meter panjangnya. Sampai-sampai Departemen Perhubungan Australia tidak mengakui pesawat itu sebagai pesawat model. Izin terbang yang diberikan oleh departemen itu adalah izin khusus untuk pesawat terbang tanpa awak.” “Tapi mana mungkin di Indonesia ada yang sebesar itu?” “Yang lebih kecil sedikit, mungkin ada kan, Pa?” “Sebentar, Oom,” Pulung menyela. “Apa pesawat ini tidak menggunakan baling-baling?” “Sudah Oom bilang, kan? Ini pesawat model Mirage. Persis seperti pesawat tempur Mirage sungguhan, pesawat model ini menggunakan mesin jet, bukan baling-baling. Kalau pesawat model Hercules, tentunya pakai baling-baling seperti pesawat Hercules sungguhan. Kau tahu kan, pesawat Hercules itu adalah pesawat pengangkut pasukan yang juga digunakan oleh tentara kita?” “Terus terang, saya tidak tahu.” Oom Yan tertawa tanpa mengejek dan dia tidak menertawakan Pulung. Dia tertawa karena jawaban Pulung memang lucu. “Apa di sini hanya Si Pol yang punya pesawat model begitu, Oom?” tanya Pulung. “Tidak. Di desa ini memang hanya Si Pol yang punya. Tapi di kota ada. Pemilik toko penyalur pupuk itu juga punya. Oom sering lihat anaknya main pesawat model di atap rumahnya. Atap rumah itu digunakan juga sebagai lapangan bulu tangkis.” “Apa hanya dia yang punya selain Si Pol, Oom?” “Mungkin.” “Oke. Saya mau menelepon Si Man!” “Lho! Mau apa?” “Melapor, Oom. Si Man kan sudah saya angkat jadi komandan saya!” Oom Yan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menghibur Polan agar anak itu tidak sedih lagi menyaksikan reruntuhan pesawatnya. Baru sehari ini Polan belajar menerbangkan pesawat modelnya. Ia lekas pintar. Sebagai penerbang pesawat model, ia baru memiliki enam jam terbang. Tapi ia telah mahir. Memang mudah sekali menerbangkan pesawat itu. Hanya tinggal menekan tombol pada alat pengendali yang berbentuk seperti radio dengan antena panjang. Setelah mesin pesawat menderu, tongkat kemudi digerakkan ke atas. Maka pesawat akan meluncur ke angkasa. Untuk menukik, alat yang disebut tongkat kemudi itu diturunkan. Pesawat bisa membelok, memutar, bahkan berjungkir-balik seperti pesawat tempur milik angkatan udara kita. “Man! Si Pol bikin kejutan!” seru Pulung setelah berhasil menghubungi pamannya lewat pesawat telepon. “Kejutan apa?” tanya Si Man. “Ia menemukan rahasia brendung. Cepat datang ke Gedong Lawang Satus, Man! Jangan lupa, tanyakan pada Pak Kamo apa dia dibayar oleh pemilik toko penyalur pupuk untuk mencari susuk ilmu karang!” “Ngomong yang teratur!” “Aku menduga pemilik toko penyalur pupuk itu yang menjadi dalang komplotan Pak Kamo. Ini dugaan, Iho! Bukan fitnah! Kalau Si Man tidak bisa menangkap dalang komplotan itu, jangan jadi polisi, Man! Pulang saja ke kampung, jadi tukang mancing ikan lagi! Daaaah, Si Man!” Hubungan telepon diputuskan oleh Pulung. Tak peduli Si Man menggerutu habis-habisan. Pulung lalu berlari ke rumahnya untuk mengambil antena penemuannya. Ia mencocokkan bentuk antena itu dengan antena pada alat pengendali pesawat Si Pol. Memang mirip sekali, hanya berbeda ukuran. Karena memang berbeda pesawat dan kekuatan mesinnya. “Saya mau tanya lagi, Oom,” kata Pulung pada Oom Yan. “Kata Pak Son, orang yang gemar bertanya, tandanya orang yang bisa jadi genius.” “Oom juga genius , karena Oom selalu bisa menjawab pertanyaanmu! Eh, asal jangan tanya soal jurus, ya?” gurau Oom Yan. “Bagaimana sih bisanya pesawat itu nurut saja dikendalikan dengan alat macam radio ini?” “Tadi Oom sudah bilang, Iho! Pesawat model ini dikendalikan dengan gelombang radio. Jadi alat yang mirip radio ini, mengirimkan sinyal-sinyal melalui antenanya ke arah antena yang ada di badan pesawat. Sinyal-sinyal itu berupa ‘perintah’ kepada pesawat. Kalau tongkat kemudi didorong ke kiri, pesawat membelok ke kiri. Berarti pesawat itu bisa menerima ‘perintah’ dari radio pengendali, alias perintah sang penerbang.” Pulung tidak paham soal elektronika. Apalagi soal pesawat model. Tapi dia bisa mengerti, bahwa gelombang radio memang bisa digunakan untuk menggerakkan benda-benda. Kalau begitu, Saleh Doman termasuk ketinggalan zaman juga. Abunawas Kampung Arab itu belum mengenal pesawat model. Ia hanya menduga antena penemuan Pulung adalah antena pesawat penerima dan pemancar. Betapa sulitnya misteri boneka gayung itu. Tanpa kerja sama dari beberapa pihak, memang tak mungkin bisa mengungkapkannya. Pulung menyadari, dia memang tidak bisa hanya mengandalkan jurusnya saja. Masih banyak hal yang tidak diketahuinya. Ia harus belajar menghargai orang lain, menghargai kelebihan-kelebihan orang lain. Tak ada manusia yang sempurna ilmunya. Saleh Doman yang dikaguminya karena keahliannya di bidang elektronika pun ternyata masih dikalahkan oleh Si Pol yang bisa menggerakkan boneka kertas dengan pesawat modelnya. Tapi Si Pol hanya bisa menerbangkan pesawat model, tanpa tahu seluk-beluknya. Jadi siapakah sebenarnya yang menjadi genius ? Tak ada. Masing-masing punya kelebihan, sekaligus juga kekurangan. Tak ada yang sempurna, sebab yang Mahasempurna hanyalah Tuhan semata. Pulung menunduk dengan sedih. Ia teringat akan ucapan Gruno di rumah Jalu. “Ya, Allah...,” bisik Pulung. “Bimbinglah hatiku, agar aku tidak menjadi orang yang sombong dan takabur...” *** Si Man datang membawa bungkusan berisi sepasang sepatu. Si Pol agak terhibur karena sepatu hadiah dari Si Man itu. “Kau pantas menerima hadiah itu, Pol,” bisik Pulung dengan rela. “Kejutan boneka kertasmu ikut membantu kelancaran tugas paman kita...” Si Pol yang tidak tahu arah ucapan Pulung, menjadi terlongoh-longoh. Pulung mengulurkan tangan kepada Si Man dengan tulus. “Tugasku selesai, Man. Tapi Si Pol yang merampungkannya,” kata Pulung. “Kita damai, ya Man?” “Damai. Tapi tugasmu belum selesai.” “Lho? Misteri brendung itu sudah tersingkap dengan jelas, kok! Si Man bisa naik pangkat, Iho!” “Masih banyak bandit di sekitar kita, Lung,” kata Si Man bersungguh-sungguh. “Bantuanmu masih akan diperlukan oleh polisi maupun pamanmu. Masih bersedia membantu, kan?” “Insya Allah.” Ya, mudah-mudahan. Kini Pulung menyadari, semua kesibukannya membantu tugas Si Man membuat pelajarannya menurun. Ia sering mengantuk di kelas. Sekarang yang dipikirkannya adalah mengejar ketinggalan dengan teman-temannya. *** Tante Yan sengaja memberi kesempatan beristirahat kepada Pulung. Ia tidak membangunkan Pulung yang tidur dengan nyenyak sekali. Tante Yan menelepon Pak Son untuk memintakan izin bagi Pulung. Pada jam sepuluh Pulung terbangun karena deru pesawat model. Oom Yan berhasil mendandani kerusakan pesawat itu. Jam sepuluh, hah! Pulung meloncat dan lari ke kamar mandi. Selesai mandi, Pulung lari ke rumahnya untuk ganti baju dan mengambil tas sekolahnya. Dia naik mobil colt ke kota. Dia tiba di depan kelasnya tepat ketika bel istirahat kedua berdentang. Pak Son mengemasi buku dan berjalan ke luar. Pulung berhenti melangkah. “Selamat pagi, Pak,” ucapnya. “Nah, kau!” Pak Son menuding, “Buatlah kalimat dengan kata ‘dini’!” Diserang secepat itu, Pulung gelagapan juga. Tapi dia berfikir keras untuk menciptakan kalimat itu. “Saya... saya tidur pada dinihari, sehingga saya terlambat ke sekolah,” katanya. “Betul!” puji Pak Son. “Jadi sekarang Dini tidak duduk di kelas dua A, kan?” Seisi kelas terbahak-bahak. Pak Son tak acuh saja. Dengan langkah bergegas dia meninggalkan kelas itu. Dia tidak marah pada Pulung, karena pagi tadi Tante Yan sudah menjelaskan secara singkat keadaan Pulung. Pak Son hanya berpesan bahwa Pulung harus mendahulukan kepentingan sekolahnya. Bukan petualangannya yang menegangkan. “Lung! Ada pesta untuk kamu!” seru Ristiani gembira. “Hayo, anak-anak! Pesta untuk jagoan, kita mulai!” Seruan Ristiani bersambut riuh. Mereka menuju ke kantin. Setiap orang memesan semangkuk bubur kacang hijau. Mangkukmangkuk berisi bubur itu ditaruh di atas meja. Seisi kelas menaruh semangkuk bubur. Dua meja menjadi penuh. “Habiskan, tuh! Biar tidak suka berantem lagi!” seru Ristiani. Anak-anak mengelilingi meja sambil berdiri. Pulung duduk di kursi dengan terlongohlongoh. “Kalian sudah gila, ya?” seru Pulung. “Siapa yang punya gagasan gila ini?” “Ini gagasan orang banyak! Ayo, makan!” seru Ristiani. “Makan, Jagoan! Habiskan semuanya!” seru yang lain. “Ayo makan! Awas kalau nggak habis! Kugampar nanti kamu!” seru yang lain lagi. Pulung tafakur. Ia merasa terharu sekali. Semua ini adalah bukti bahwa ia disukai oleh semua temannya. Ia memungut sebuah mangkuk. Diberikannya kepada Gogor. “Makanlah. Kalau nggak mau, kulaporkan kau memecahkan telur bebek kakekmu,” katanya. Pulung memberikan semangkuk bubur pada Gruno, dan katanya, “Demi nama baik kakekmu, makanlah. Kalau tidak mau, kuceritakan kepada semua orang tentang Mbah Pandung...” Gruno menggerutu. Tapi dia terpaksa menerima pemberian itu. Pulung memberikan semangkuk bubur pada Ristiani. “Nggak! Aku nggak mau!” Ristiani menolak. Pulung memberikan mangkuk itu pada Jalu yang baru tiba. “Rejekimu bagus, Lu! Makan, nih!” serunya. Jalu menyambar pemberian itu. Pulung membagi-bagikan bubur lainnya. Anak-anak berebut. Dua orang yang tidak kebagian, Ristiani dan Saleh Doman. Setelah masing-masing menikmati sesendok atau dua sendok buburnya, Pulung bangkit dan berkata, “Nah, Saudara-saudara! Aku akan bertanya pada kalian. Apa kalian ikhlas memberikan bubur itu kepadaku?” “Sialan! Kenapa tanya? Ikhlas, dong!” seru seorang teman perempuan. “Terima kasih. Jadi bubur ini semua milikku. Aku memberikannya pada kalian sebagai pinjaman. Akan kutagih setiap hari semangkuk bubur dari kalian. Jadi mulai besok, selama empat puluh hari aku akan makan semangkuk bubur setiap jam istirahat kedua tiba. Kalian bergiliran mengembalikan pinjaman kalian. Terima kasih!” “Curang, kamu!” seru Ristiani. “Aku kan nggak ikut makan?” “Kau dan Abunawas bebas dari hutang. Tapi yang lain tidak!” Anak yang merasa terjebak berseru-seru menggerutu. Tapi mereka akan rela mentraktir Pulung semangkuk bubur kacang hijau secara bergiliran. Untuk sahabat yang baik, apalah artinya semangkuk bubur kacang hijau? Pulung menyendok buburnya dengan perasaan bahagia. Ternyata dia selalu menang. TAMAT

HOME | BACK
Tampilan terbaik pada HP dengan resolusi layar 240x320 & menggunakan opera mini v4.2 , dan di malam hari.
online counter
TOP-RATINGMobPartner Counter
Best Wap Sites

PluzTopwapinfoBestTraffic.mobiBestTop.MobiTOP RANK*tswaplogsTraffic Boost Enginexox
Created by: Safikâ„¢
banjarmasin © juli 2010