watch sexy videos at nza-vids!

Bayang-bayang Sang Bidadari Pagi belum lagi terik. Matahari masih bersembunyi di balik pucuk-pucuk pohon. Udara masih segar. Kino sudah duduk di angkot reyot yang akan membawanya ke kampus. Mobil buatan Jepang itu pasti berumur sekitar 3 tahun. Catnya sudah dekil, suara mesinnya seperti kakek-kakek yang sedang sakit TBC. Penumpangnya belum banyak; hanya Kino dan seorang laki-laki yang tampaknya pegawai kelurahan, lengkap dengan map-map bututnya. Sang kondektur masih berteriak-teriak mengundang penumpang. Suaranya lantang sekali sepagi ini. Kino menatap arlojinya. Mudah-mudahan tidak terlambat, gumamnya dalam hati. Lima menit kemudian, datang tiga penumpang lagi. Lalu menyusul dua orang anak SD dengan tas di punggung mereka. Angkot sudah hampir penuh, tetapi sang kondektur tetap berteriak, "Kosong! .. Kosong!", sementara para penumpang mulai menggerutu. Kino melirik lagi arlojinya. Ah, masih ada waktu. Tetapi, kalau angkot ini harus penuh dulu baru berjalan, tentu waktu akan habis juga akhirnya. Seorang ibu gemuk dengan tas belanja yang tak kalah gemuknya tergopoh-gopoh mendekat. Sang kondektur yang ceking menyambutnya dengan penuh semangat, mencoba membantu memegangi tas si ibu, tetapi ia tampaknya terlalu kurus untuk tas itu. Si ibu berhasil naik dengan susah payah, selain karena berat tubuhnya, juga karena angkot hanya menyisakan satu ruang saja. Itu pun untuk penumpang berbadan sedang. Akibatnya, penumpang yang lain terhimpit satu sama lain. Persis ikan asin yang ditumpuk dalam satu kotak kaleng rombeng. Sial..., keluh Kino dalam hati. Akhirnya sang supir muncul, entah dari mana. Angkot pun bersiap meninggalkan tempatnya. Sang kondektur sudah bergantungan di pintu keluar. Mobil tua itu terbatuk-batuk lagi, lalu mulai bergerak seperti orang malas. Gerakannya tersendat-sendat, membuat para penumpang terhenyak- henyak saling berbenturan. Lalu, kesialan Kino pagi ini memuncak: angkot itu mogok setelah berjalan tak lebih dari 3 meter! Penumpang berhamburan keluar. Kino mencoba membantu mendorong. Ibu gemuk belum lagi turun, sehingga angkot jadi terasa sangat berat. Untung jalan agak menurun. Tetapi, walau dicoba berkali-kali, dan walau Kino sudah berpeluh, angkot itu tetap ngadat. Akhirnya sang supir menyerah. Angkot tidak jadi mengangkut penumpang, yang kini kembali bergerombol menunggu angkot berikutnya. Tetapi Kino memang sial. Tiga angkot berikutnya selalu penuh, dan hanya mampu menampung satu orang setiap kalinya. Kino terpaksa mengalah kepada dua anak SD dan si ibu gemuk. Sementara waktu cepat berlalu, dan Kino kini tahu bahwa ia pasti akan terlambat untuk kuliah pertamanya. Padahal, itu kuliah paling penting di semester ini, dan dosennya paling galak. Kino menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia berdiri di pinggir jalan, berharap agar angkot yang berikutnya kosong. Ada satu angkot tampak di kejauhan menuju ke arahnya. Angkot itu berhenti dan menurunkan beberapa penumpang, sehingga Kino yakin ia akan bisa naik kali ini. Ia pun bersiap maju agak ke tengah jalan untuk mencegat angkot itu. Tiba-tiba sebuah Honda Civic putih berhenti tepat di depannya. Kino menepi kembali, menyangka mobil itu akan parkir. Tetapi ternyata tidak, mobil itu tetap di depannya, dan kaca jendela depan kirinya terbuka perlahan dengan suara mendesing. Kino mengernyitkan dahi, mencoba mengintip ke ruang dalam yang agak gelap. Apakah salah seorang temanku? ucap Kino penuh harap. Kalau ya, tentu ia bisa menumpang ke kampus. "Halo Oom!" sebuah kepala kecil dengan rambut ikal dan pita merah menyembul. Tentu saja itu kepala si gadis kecil yang mengejar-ngejar kucing di taman. Ria! "Hai!" sahut Kino terkejut dan terheran, sekaligus kagum atas ingatan gadis kecil yang baru dijumpainya satu kali beberapa minggu yang lalu. "Mau kuliah, ya!?" terdengar suara lain dari arah pengendara mobil. Kino maju mendekat dan membungkukkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas. Astaga! ..., yang bicara itu tadi adalah si bidadari! "Eh.., ya... mau kuliah, ya... ya!" jawab Kino gelagapan. Sungguh kaget ia ditegur oleh sang bidadari yang pagi ini tidak memakai setelan serba putih, tetapi tetap dengan dua anting mutiaranya yang berbinar. Cantik sekali bidadari itu! Bidadari itu lalu menyebut nama kampus Kino, dan katanya mereka akan menuju ke arah sana. "Mau ikut sampai kampus?" tanya bidadari itu ramah. Dan Ria juga ikut mendesak "Oom"-nya berkali-kali sambil membuka pintu belakang. Kino menggaruk-garuk kepalanya lagi. Ah, bagaimana aku bisa menolak, pikirnya. Akhirnya Kino menghenyakkan tubuhnya di jok belakang Honda Civic yang ruang interiornya menyebarkan harum semerbak itu. Mobil pun segera melaju dan Kino merasa seperti sedang naik kereta kencana yang ditarik kuda-kuda terbang! "Kuliah di jurusan apa?" tanya si bidadari sambil melirik dari kaca spion. "Arsitektur," jawab Kino pendek. Bidadari itu tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Kino bisa melihat dari kaca spion, betapa manisnya senyum itu. Betapa cepatnya kesialan pagi ini berubah menjadi keberuntungan! "Oom mau cekolah juga ya!" celoteh si kecil Ria dengan cadelnya, sambil membalikkan tubuhnya menghadap Kino. "Iya," jawab Kino, "Ria sekolah di mana?" "Lia cekolah taman kanak-kanak. Tapi...tapi.... tapi, Lia ngga cuka cekolah!" "Lho, kenapa?" ucap Kino pura-pura kaget, "Apakah di sekolah Ria tidak ada kucing?" Gadis kecil itu mengangguk-angguk cepat. Rambutnya bertebaran menutup keningnya. Kino senang sekali melihat gadis kecil ini. Cantik dan lucu dan tampak cerdas. "Kenapa tidak minta kepada bu guru untuk membeli kucing?" "Bu gulu ngga cuka kucing..., Bu gulu cuka cama donal bebek!" Kino tertawa mendengar jawaban Ria, dan si bidadari juga ikut tertawa kecil. Oh, merdu sekali tawa itu, pikir Kino, .... sebuah campuran yang pas antara tertawa manja dan tertawa geli. Lalu Ria berceloteh terus sepanjang perjalanan, dan Kino dengan senang hati menimpalinya. Si bidadari sendiri tidak begitu banyak berbicara, tetapi selalu tertawa dengan tawanya yang memikat itu. Sesekali Kino melirik ke kaca spion, diam-diam memandangi wajahnya yang menatap lurus ke depan mengawasi lalu-lintas. Wajah itu manis sekaligus anggun, juga tampak bersinar riang. Barangkali ia memang bidadari, pikir Kino. Akhirnya, setelah sepuluh menit lebih sedikit, Honda Civic itu menepi di depan kampus Kino. Cepat-cepat Kino mengucapkan terimakasih, berkali-kali sampai ia merasa malu sendiri. Lalu ia turun dan berdiri di tepi jalan menunggu mobil itu pergi. Ria menyembulkan kepalanya, berteriak, "Daah.... Oom Kucing!" .. sialan, sejak kapan aku jadi kucing? Sergah Kino. Dilambaikannya tangan ke arah Ria. Sang bidadari juga mengeluarkan tangannya ke atas dan melambai. Lalu, mobil itu menghilang di tengah keramaian. Kino masih tertegun beberapa jenak. Sepanjang perjalanan tadi ia tak sempat bertukar nama dengan sang bidadari. Tololnya aku! Kino berseru dalam hati. Kenapa tadi tidak memperkenalkan diri? Mana mungkin wanita yang lebih dulu memperkenalkan diri? Bego sekali kamu, Kino. Dasar orang desa! Kata-kata hatinya bersusulan menyalahkan dirinya sendiri. Sambil melangkah gontai menuju gerbang kampus, Kino menggaruk-garuk lagi kepalanya yang tidak gatal. Rambutnya yang agak gondrong itu kini sudah acak-acakan. Di gerbang kampus ia bertemu Rima yang rupanya juga baru tiba dan tadi melihat Kino turun dari Honda Civic yang ditumpanginya. Gadis itu, seperti biasanya, tersenyum manis menyambutnya. Kino suka sekali senyuman itu, yang selalu bisa menambah cerah hari-hari kuliahnya. Seringkali Kino heran sendiri, kenapa ia tidak bisa memacari gadis itu, padahal ia suka kepadanya. "Aku tidak tahu kamu punya mobil," ucap Rima sambil menggamit lengan Kino. "Aku memang tidak punya mobil. Itu tadi tetanggaku, kebetulan lewat sini," jawab Kino berbohong. Tetapi, mungkin juga ia berkata benar. Mungkin juga bidadari itu tetangganya. Sebenarnya, Kino betul-betul berharap bahwa ia memang tetangganya! "Cantik, ya!?" ucap Rima. Kino mendeteksi nada lain di ucapan itu. "Hmm," jawab Kino pendek sambil mengangguk. Mereka berjalan beriringan sepanjang koridor yang diteduhi tanaman merambat. "Beruntung sekali kamu punya tetangga cantik yang lewat di depan kampus setiap pagi," ucap Rima lagi, kali ini dengan nada agak menggoda. Gadis itu selalu, ..se-la-lu ... menggodanya. Tetapi Kino sudah kenal taktiknya. Kino sudah "kebal". "Hmm," gumam Kino lagi sambil mengangguk lagi. "Daripada naik angkot, lebih enak naik Honda Civic, ya?!" "Hmm.." "Pasti ruangan dalam mobil itu harum semerbak. Tidak seperti angkot yang bau keringat penumpang," "Hmmm.." "Pasti kamu belum sarapan pagi ini?" ucap Rima tiba-tiba mengubah topik. "Hmmm.." Rima mencubit pinggang Kino gemas. Dari tadi pria ini cuma " hmmm" saja, mengindari ajakannya untuk mendiskusikan wanita bermobil Honda Civic itu. Kino tertawa gelak dan berlari menghindar. Rima mengambil sebutir kerikil sebesar kuku jarinya, melempar ke arah Kino. Luput. Kerikil itu justru mengenai punggung seorang mahasiswa lain, yang segera menoleh ke arah Rima. "Maaf, Mas! ... Tidak sengaja!" ucap Rima buru-buru sambil mendekat ke mahasiswa yang tampaknya senior itu. Kino tertawa di kejauhan. "Lain kali tanya dulu sebelum melempar," ucap mahasiswa senior itu. "Oh, ya?!... Apa yang musti kutanyakan?" ucap Rima merasa aneh mendengar perkataan "korban" lemparannya. "Tanya dulu, apakah saya mau dilempar atau tidak!" sergah si korban sambil berlalu dengan muka penuh kemenangan. Rima membanting kakinya dengan gemas. Lalu berlari mengejar Kino yang sudah jauh sekali. ******* Setelah menumpang "kereta kencana" itu, Kino tak pernah bertemu lagi dengan sang bidadari. Setiap pagi, Kino berharap Honda Civic itu lewat, tetapi ternyata harapannya sia-sia belaka. Sia-sia ia menunggu setiap pagi selama sepuluh menit, dan setelah seminggu, Kino pun menyerah. Ia berkeputusan dalam hati: si bidadari pasti telah kembali ke kahyangan. Atau semua yang dialaminya adalah hayal belaka. Tetapi, bagaimana sebuah hayalan bisa disaksikan orang lain seperti Rima? "Kenapa tidak pernah numpang tetanggamu lagi?" goda Rima pada suatu pagi. "Mobilnya masuk bengkel," ucap Kino berbohong, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. Tetapi, Rima bersikeras menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi. Heran, gadis itu besar sekali rasa ingin tahunya, keluh Kino dalam hati. "Wah.., pasti rusak berat. Seminggu masuk bengkel. Pasti tabrakan beruntun. Apakah ada yang luka-luka?" tanya Rima seperti senapan mesin memberondong musuh. "Ah, tidak. Cuma mau ganti warna cat. Pemiliknya bosan dengan warna putih!" jawab Kino sekenanya. Untuk melawan celoteh Rima memang sebaiknya tidak memakai akal sehat, begitu Kino berpikir. "Wow! Padahal mobil itu kelihatan masih baru. Pasti pemiliknya kaya sekali, berganti cat mobil seperti berganti baju!" ucap Rima. "Memang dia kaya. Dia bahkan punya pabrik pesawat terbang tak jauh dari kota ini!" ucap Kino tak mau kalah dengan akal-akalan Rima. Tentu saja gadis ini tertawa terbahak mendengar jawaban Kino, dan ia senang sekali melihat Kino tersipu-sipu. Ia merasa memenangkan "pertempuran" yang menyenangkan ini. Ah!... bersama Kino semua rasanya menyenangkan belaka! Ucap Rima dalam hati. Percakapan ini terjadi hari Sabtu, di kampus, sebelum kuliah pengganti yang diadakan seorang dosen karena ia pernah tidak masuk minggu lalu. Kino membiarkan Rima mengganggunya sepanjang hari, karena pemuda ini juga senang diganggu dan dibercandai. Ia merasa, Sabtu ini agak kelabu, entah kenapa. Mungkin karena harapannya bertemu sang bidadari tak kesampaian. Mungkin juga karena ia rindu kampung halaman (akhir-akhir ini Kino sering terkenang orangtua dan adiknya). Mungkin juga karena sebentar lagi malam minggu, dan Kino tidak punya pacar untuk dikunjungi. Maka ketika Rima mengajaknya mendaki gunung sepulang kuliah, Kino menyambutnya dengan antusias. Ia segera pulang setelah kuliah bubar dan segera kembali menjemput Rima di tempat kostnya, lengkap dengan ransel dan perbekalan dan perlengkapan kemah. Sedangkan Rima telah pula siap dengan tenda dan gitarnya. Ranselnya kecil saja, dan tenda dititipkannya pada Kino. "Berdua saja?" tanya Kino ketika sadar bahwa Rima tidak bersama siapa-siapa. Biasanya, gadis ini membawa serta seorang gadis sahabatnya. Biasanya pula Kino mengajak Tigor, temannya dari Jurusan Mesin yang punya hobi serupa. Sewaktu Rima mengusulkan mendaki di kampus tadi, Kino tak sempat bertanya tentang peserta. "Iya. Berdua saja!" jawab Rima sambil memanggul gitarnya. " Kenapa? Takut?" Kino mendengus pura-pura kesal. "Siapa yang tidak takut pergi berdua dengan tukang cubit!" sergahnya sambil memasukkan tenda ke ransel. Rima tertawa. Rima mencubit lengan Kino... Rima memukul sayang kepala pemuda itu... Rima bernyanyi dalam hati! ****** Gunung yang mereka daki adalah gunung yang sangat populer di kalangan anak-anak muda. Jadi, tidaklah tepat kalau Kino berkata bahwa mereka mendaki "hanya berdua". Sebab, setelah sampai di puncak, mereka bergabung dengan puluhan anak-anak muda. Keduanya telah pula dikenal oleh beberapa "veteran" pendaki yang berkumpul di kaki gunung. Rima bahkan sudah didaulat untuk bernyanyi sejak di tempat peristirahatan pertama di lereng gunung. Seperti biasanya, Rima memenuhi permintaan para kawula muda pencinta alam itu dengan senang hati. Kadang-kadang Kino berpikir, Rima memang suka menampilkan diri di muka umum. Ia berbakat menjadi artis, barangkali! Tetapi ketika malam menjelang pagi di puncak gunung, ketika keletihan memaksa para pendaki masuk ke tenda masing- masing untuk beristirahat setelah mengobrol sepanjang malam, ...mereka pun akhirnya memang tinggal berdua. Tenda yang mereka tempati tidaklah terlalu luas. Untuk bisa tidur, Kino harus merelakan lengannya menjadi bantal Rima. Kalau tidak begitu, ruangan akan tersita dan tenda mungkin sudah rubuh. Bagi Rima, inilah enaknya pergi berdua. Ia bisa punya seribu alasan untuk memeluk pria yang sangat-sangat- sangat disukainya itu. Angin berhembus keras sekali malam itu. Dingin menusuk tulang, dan bunga-bunga es berterbangan seperti pasir putih di sekitar tenda. Kino membiarkan Rima memeluk tubuhnya erat-erat. Kadang-kadang, ia merasa Rima adalah seorang lemah yang perlu dilindungi. Apalagi, sebelum masuk tenda tadi Rima mengaku agak ngeri melihat cuaca malam ini. Di puncak gunung, cuaca seperti ini memang menambah suasana semakin mencekam. Suara angin seperti raungan raksasa yang sedang marah. Gelap-gulita di sekeliling tenda, tak terdengar suara apa-apa selain badai yang mengamuk Kino mendengar gigi Rima bergemeletuk menahan dingin. Tidak tega, Kino melepas jaketnya, membungkus tubuh temannya. Ia sendiri kini hanya berkaus , tetapi kaos itu cukup tebal untuk menahan dingin. Apalagi di bawah kaos itu, Kino juga memakai kaos lain yang terbuat dari wol. Desah nafas Rima dekat sekali di pipi Kino. Harum mulut gadis itu juga sampai samar-sama di hidung Kino. Entah sengaja atau tidak, bibir Rima yang agak basah itu sesekali menyentuh pipi Kino. "Takut, Rim?" bisik Kino. Kino merasakan gadis itu mengangguk. Juga merasakan nafasnya agak cepat. Jangan-jangan ... "Cium aku, Kino...," gadis itu berbisik, hampir tak terdengar. Kino tersenyum dalam gelap. Ada-ada saja permintaan Rima. Tetapi, ... why not? , pikirnya. Mungkin perlu juga berciuman di tengah badai di puncak gunung. Perlahan Kino menyentuh bibir Rima dengan bibirnya. Nafas gadis itu menyerbu mukanya, terasa semakin panas. Lalu, bibir gadis itu terbuka sedikit. Kino mengecupnya ringan, membiarkan masih ada jarak di antara kedua mulut mereka. Rima terdengar mendesah. Gelisah. Terasa gadis itu menggeser tubuhnya semakin rapat ke tubuh Kino. Dibandingkan Indi yang seksi dan sintal, atau Alma yang berdada ranum, Rima pastilah kalah. Dadanya tidak membusung, hanya membukit seadanya saja. Walau begitu, jatung Kino bergetar juga merasakan lengannya menekan dada Rima yang turun naik dengan cepat. Rima kini merangkul leher Kino, dan sepertinya tak sabar, ia menarik pemuda itu sehingga bisa sepenuhnya berciuman. Kino membiarkan gadis itu mengulum bibirnya dengan desah yang semakin gelisah. Diam-diam Kino khawatir juga, kemana arah percumbuan ini? Lidah keduanya secara otomatis saling memagut, seperti dua ekor ular yang sedang bercengkrama. Kino sebenarnya hanya ingin berciuman di bibir, tetapi tampaknya Rima ingin lebih dari itu. Apalagi kini satu kakinya sudah naik, menumpang di paha Kino. Tangannya semakin kuat merengkuh leher pemuda itu. Nafasnya juga sudah semakin memburu. Lalu, entah bagaimana mulanya, tangan Kino telah menelusup ke balik dua jaket yang membungkus tubuh Rima. Kini telapak tangan pemuda itu mengusap-usap bukit kecil di dada Rima. Gadis itu mengerang pelan, mulutnya semakin bersemangat menciumi Kino. Nafasnya kini tersengal-sengal, dan badannya gelisah bergerak kesana-kemari. Kino membalas pagutan Rima. Dihisapnya kedua bibir gadis yang punya lesung pipit itu. Diemut-emutnya lidah gadis itu yang sejak tadi menerobos masuk ke mulutnya. Kadang- kadang digigitnya perlahan salah satu bibir Rima, membuat gadis itu mengerang manja. Rima merasakan tubuhnya dibungkus kenikmatan birahi. Apalagi kini kedua pahanya menjepit erat salah satu paha Kino. Di balik jeans yang dikenakannya, celana dalam Rima mulai terasa lembab. Cairan hangat terasa mengalir perlahan di dalam pinggulnya. Selangkangannya terasa dipenuhi geli- gatal yang menggelisahkan. Dengan gerakan tak karuan, Rima menggosok-gosokan bagian depan kewanitaannya ke paha Kino. Oh,,,..., seandainya saja pria ini mau memasukkan tangannya ke sana! ... jerit Rima dalam hati. Tetapi rupanya Kino cepat sadar. Tiba-tiba teringat olehnya, sesama pendaki sebaiknya tidak menjalin hubungan seksual. Konon, hubungan itu hanya akan membawa sial. Walaupun tidak sepenuhnya percaya, Kino takut juga kalau-kalau petuah itu benar. Maka cepat-cepat ia menghentikan usapan tangannya di dada Rima, lalu menjauhkan mukanya dari muka gadis itu. Namun Rima rupanya sedang berpacu menuju klimaks pertamanya. Tubuh gadis itu sedang meregang ketika Kino melepaskan ciumannya. Kedua pahanya erat mencengkram paha Kino, membuat pemuda itu meringis karena merasa agak pegal. Lalu, terdengar Rima mengerang pelan dan panjang "Ooooh...!... Aaaaaah"... dan kedua kakinya kaku mengejang, disusul guncangan seluruh tubuhnya. "Kino,... jangan berhenti,... Kino," gadis itu mengerang di tengah guncangan tubuhnya. Dengan susah payah, Kino berhasil mengendalikan dirinya, menghindari tarikan tangan Rima yang seperti orang kalap. "Tidak, Rima. Kita sedang di puncak gunung!" sergah Kino sambil memegangi lengan Rima yang terus berontak. Setelah berusaha berkali-kali melepaskan tangannya, akhirnya gadis itu menyerah, gerakannya semakin lama semakin melemah. Lalu gadis itu lunglai memeluk Kino. "Maafkan aku, Rima...," bisik Kino sambil memeluk pundak gadis itu. Tiba-tiba Rima tersedu. Air matanya yang hangat membasahi leher Kino, dan pemuda itu diam saja, membiarkan emosi Rima keluar bebas. Ia tahu, gadis itu mengerti benar apa maksudnya menolak bercumbu di puncak gunung. "Sudahlah,... sebentar lagi pagi. Kita perlu tenaga untuk pulang," bisik Kino lembut. Terasa kepala Rima bergerak mengangguk. Kino tersenyum, mengecup dahi gadis itu dengan sayang. Rima terdengar menghela nafas panjang, dan menghembuskannya keras-keras. Kino tersenyum lagi dalam gelap. Bersyukur bahwa segalanya bisa berlalu. Tak lama kemudian, terdengar nafas keduanya semakin teratur. Sementara badai di luar ternyata juga mereda. Puncak gunung menjulang menghitam di malam yang semakin pekat. Kino dan Rima akhirnya mendengkur perlahan, dengan damai menyambut datangnya alam mimpi, bersamaan dengan tibanya kabut tebal yang menyelimuti seluruh lapangan kecil di puncak itu. ****** Di hari-hari berikutnya, hubungan Rima dan Kino kembali normal. Perlahan-lahan mereka bisa melupakan peristiwa di puncak gunung yang mencekam dan nyaris berakhir di luar kendali itu. Memang, Rima sempat menjadi agak kikuk akibat terpengaruh peristiwa itu. Ia sempat sering tersipu kalau bertemu Kino, padahal pemuda itu sudah berusaha keras bersikap seperti biasa. Tentu saja, Kino juga tak akan lupa peristiwa itu. Tetapi ia tak ingin kehilangan persahabatan, dan sebab itu berusaha keras membantu Rima melupakannya. Untung saja, masa ujian segera tiba, dan kesibukan belajar akhirnya membuat gadis itu kembali seperti semula: suka menggoda Kino dan selalu mengajaknya bercanda. Yang justru agak mengganggu pikiran Kino adalah si bidadari itu! Pada suatu malam minggu, sepulang dari rumah Ridwan, ia bertemu lagi dengan bidadari itu. Sebenarnya tidak " bertemu" dalam arti sebenarnya, karena Kino hanya sekelebat melihatnya. Ia sedang berada di boncengan motor Tigor yang akan mengantarnya pulang di tengah malam itu. Mereka sedang melintas di depan sebuah mall kecil yang masih ramai. Jalan yang mereka lalui agak macet, karena bioskop rupanya baru bubar, dan mobil para penonton sedang antri ke luar. Waktu itulah, Kino melihat Honda Civic yang pernah ditumpanginya. Tentu saja, catnya masih putih. Di dalamnya ada sang bidadari, tetapi ia tidak duduk di belakang stir. Yang duduk di belakang stir adalah seorang pria. Dengan cepat Kino menyimpulkan, pria itu pastilah suaminya. Ada sedikit rasa pedih menerima kesimpulannya sendiri itu. Kino diam- diam memperhatikan, seperti apa suami sang bidadari itu. Tetapi karena motor yang ditumpanginya tertahan agak jauh, Kino tak bisa melihat jelas. Apalagi kemudian mobil itu lolos terlebih dulu dari kemacetan, dan segera menjauh di kegelapan malam. Ketika akhirnya Tigor berhasil lolos dari kemacetan, mobil itu sudah menghilang entah ke mana. Lalu, Tigor tancap gas dan mereka sampai di tempat tujuan hanya dalam waktu 5 menit karena jalanan lengang. Kino turun di depan gang menuju tempat kost, mengucapkan terimakasih kepada sahabatnya yang segera melesat kembali menembus gelap malam. Suara motornya meraung-raung semakin lama semakin lenyap. Kino menunggu sampai motor itu tak terlihat lagi, baru membalikkan badan ke arah rumah kost-nya. Pemuda itu berjalan gontai sambil terus memikirkan sang bidadari. Ah, ternyata ia telah bersuami. Tentu saja! Bukankah Ria memanggilnya "mama". Tentu saja Ria punya ayah, dan pria yang tadi di belakang stir pastilah ayah Ria. Suami sang bidadari. Lalu, kini apa? Kau tertarik pada seorang wanita yang sudah bersuami! Suara hati Kino terdengar nyaring di telinganya. Kau terpesona pada istri orang! Duh... Kino menggeleng- geleng sendirian sambil melangkah pelan. Ia baru saja hendak membuka gerbang halaman rumah kost- nya, ketika didengarnya seseorang berbisik, "Sssst... Kak Kino! " Terkejut, Kino menoleh ke arah sumber suara. Indi sedang duduk di bawah pohon mangga yang membatasi rumah kost dengan rumah gadis itu. Di sana ada bangku kayu yang jika hari siang biasa dipakai duduk-duduk. Bayangan pohon agak menyembunyikan gadis itu dari sorot lampu di ujung gang. Apa yang dikerjakan si centil itu? Pikir Kino sambil melangkah mendekat. "Aku ngga bisa tidur!" bisik Indi sebelum Kino sempat bertanya. "Sedang apa di sini? Nanti ayahmu marah....," sergah Kino berbisik, takut terdengar orang lain. Diliriknya arloji, ... hmmm, sudah hampir pukul satu. "Ayah sedang main catur di beranda. Ibu menginap di rumah kakak. Sini... Kak Kino, temani aku," ucap Indi sambil meraih tangan Kino, menariknya ke bawah bayang-bayang pohon. Kino membiarkan tubuhnya ditarik. Entah kenapa, tiba-tiba Kino ingin melayani tingkah Indi malam ini. Mungkin karena kesepiannya di malam minggu ini. Mungkin karena kekecewaannya setelah tahu sang bidadari bersuami. Mungkin .... Mungkin.... Mungkin. Semua serba memungkinkan. Tiba-tiba saja Kino telah mencium Indi, menyenderkan tubuh gadis itu ke batang pohon mangga, dan melumat bibirnya dengan gemas. Indi sempat terkaget, tetapi lalu membalas ciuman Kino dengan tak kalah bersemangat.