watch sexy videos at nza-vids!

Selamat Tinggal, Alma! Waktu dan hari berlalu begitu cepatnya. Kalender di dinding kamar Kino, di rumah Paman Tingga, begitu cepat dipenuhi tanda silang yang menandai bergulirnya hari ke minggu, minggu ke bulan. Dua bulan terasa seperti dua minggu. Ayah dan ibunya datang ke M minggu lalu bersama Susi yang sudah kangen kepada kakaknya. Ketiganya merasa bersyukur melihat Kino dalam keadaan sehat, dan bahkan bertambah gemuk. Berkali-kali Ayahanda mengucapkan terimakasih kepada suami-istri Tingga yang sangat baik itu. Ibunda menyerahkan oleh-oleh hasil bumi (setandan pisang mas, sebutir besar nangka setengah matang, sekarung jagung) sambil memuji-muji Bibi Tingga yang pandai menjaga kesehatan Kino. Susi memeluk kaki abangnya penuh kerinduan. Suasana menjadi semarak sekali. Mereka berbicara panjang lebar sepanjang siang: ayah-ibu, suami-istri Tingga, dan Kino. Hanya Susi yang kelihatannya tidak menikmati hari itu, karena sebenarnya ia ingin segera bermain-main dengan abangnya. Lalu, mereka makan siang bersama, menikmati ikan gurame dari empang sendiri yang sudah digoreng Ibunda. Sedap sekali, apalagi dengan sambal terasi buatan Bibi Tingga yang terkenal lezat itu. Seusai makan, sementara ayah-ibu terus berbincang dengan suami-istri Tingga, Kino membawa adiknya berjalan-jalan. Senang sekali Susi menggandeng kembali tangan abangnya. Mulutnya ramai berceloteh tentang betapa sepinya rumah tanpa Kino. Juga tentang dua ekor ayamnya yang mati dimakan musang. Juga tentang sungai yang tidak lagi ramai oleh anak-anak dan remaja: mereka semua sedang sibuk menyiapkan diri menempuh seleksi perguruan tinggi. Ah, begitu bersemangatnya penduduk kota ku untuk menjadi lebih berpendidikan, ucap Kino dalam hati. Semua keluarga berbicara tentang bagaimana mengirim anak-anak mereka ke kota besar untuk bersekolah. Kino tahu, pada umumnya penduduk kota kelahirannya itu adalah petani yang cukup berhasil, dan sebagian besar tak ingin anaknya terus tinggal di kota kecil. Bagus sekali pandangan seperti itu, bukan? Tetapi kadang-kadang Kino juga berpikir: kalau semua orang pergi ke kota besar, siapa yang akan tinggal menjadi petani? "Oh, ya!!" tiba-tiba Susi berseru sambil merogoh kantong bajunya, lalu menyerahkan sebuah amplop merah-muda, " Hampir Susi lupa,... ini ada surat dari Mba Alma!" Sejenak jantung Kino berdegup lebih kencang ketika menerima amplop itu. Sejak tiba di M, hampir tak pernah sempat ia menulis surat. Setiap hari ia belajar dan belajar saja. Pagi hari ke tempat kursus sampai tengah hari, lalu pulang untuk makan siang. Setelah itu pergi lagi ke tempat kursus untuk duduk di ruang baca, membaca apa saja yang ada di sana. Tempat kursus itu sangat modern dibandingkan sekolah Kino, memakai kipas angin segala. Kino betah berlama-lama di sana, dan selalu pulang ketika hari menjelang senja. Lain halnya dengan Alma. Setiap minggu pasti menulis surat, bahkan pernah dua kali dalam seminggu. Di laci meja Kino kini ada sepuluh suratnya, panjang lebar dan selalu penuh kerinduan. Kino baru sempat menulis balasan dua kali. Yang terakhir baru saja dikirimnya seminggu yang lalu. Kino mengajak Susi mampir di sebuah restoran untuk membeli es-krim. Gadis kecil itu melonjak-lonjak gembira. Di kotanya, tidak ada es-krim seperti di M. Kalau pun ada, harganya jarang terjangkau uang sakunya. Di kota M ini, es-krim nya lezat dan lembut. Porsinya pun besar. Susi memilih rasa coklat dan pisang. Kino memesan minuman ringan, lalu mulai membaca surat Alma. Tidak seperti biasanya, surat Alma kali ini cukup pendek ( walaupun masih lebih dari dua halaman). Dibuka dengan kata-kata penuh kerinduan (yang sebagiannya sudah dihapal Kino!), surat itu menceritakan rencana Alma pergi ke ibukota untuk ikut seleksi masuk perguruan tinggi. Orangtua Alma sangat mengharapkan gadis itu masuk ke jurusan kedokteran dan mendesaknya agar segera pergi ke ibukota agar persiapannya lebih matang. Menjelang akhir dari suratnya, cukup jelas terbaca betapa Alma gundah membayangkan perpisahan dengan Kino. Bagaimana kita bisa bertemu lagi sebelum aku ke ibukota? Begitu Alma bertanya berkali-kali. Apakah Kino akan pulang dalam waktu dekat ini? Kapan? Bisakah Kino memberi kabar secepatnya, barangkali dengan telepon interlokal? (dan itu berarti harus pergi ke kantor telepon). Kino menghela nafas panjang. Susi melirik sambil terus menyantap es-krimnya. Gadis kecil ini tahu, abangnya sedang risau. Ia juga tahu, abangnya tidak ingin diganggu. Ketika akhirnya Kino mengajak Susi kembali ke rumah Paman Tingga, gadis kecil ini mengurangi celotehnya. Tetapi tangannya menggandeng tangan Kino lebih erat. Ia merasa, abangnya memerlukan bantuan walaupun cuma dari anak kecil. Tetapi, tentu saja Susi tak pernah tahu, bantuan seperti apakah yang dibutuhkan Kino saat itu. Cuma naluri persaudaraannya saja yang bicara, sementara akalnya belum lagi bisa sampai ke persoalan-persoalan remaja yang amat pelik itu. ****** Sebelum kembali ke kotanya, kedua orang tua Kino sepakat dengan Paman Tingga untuk mengirim pemuda itu langsung ke kota B, tempat institut teknologi yang dicita-citakan. Mereka setuju, kalau Kino bisa tiba di B jauh-jauh hari sebelum masa ujian seleksi, tentu akan lebih baik bagi persiapan mental. "Bolehkah saya pulang dulu, Ayah?" tanya Kino ketika berkesempatan berbicara berdua. Ayahnya tersenyum. Lelaki setengah baya ini tahu, kenapa anaknya ingin pulang dahulu. Ia sudah mendengar dari Susi dan dari istrinya, ada seorang gadis yang menjadi pacar Kino. Ia sendiri tak keberatan, karena ia mengenal keluarga gadis itu. "Boleh. Tetapi selesaikan dahulu kursusmu. Masih dua minggu lagi. bukan?" kata Ayahnda. Kino berpikir cepat. Kalau ia harus pulang dua minggu lagi, mungkin Alma sudah pergi ke ibukota. Maka segera ia berujar, "Bolehkah pulang Sabtu depan?" "Kenapa harus Sabtu depan?" tanya Ayah. "Aku...," Kino menelan ludah, "Aku ingin bertemu Alma sebelum ke B.." "Ayah tahu," ucap Ayah tertawa kecil, "Tetapi, kenapa harus Sabtu depan?" "Alma akan pergi ke ibukota...., aku ingin bertemu sebelum ia pergi," kata Kino sambil berdoa dalam hati agar ayahnya tidak bertanya lebih lanjut. "Ooo... begitu," ucap Ayah sambil mengangguk-angguk. "Jadi? Bolehkah aku pulang Sabtu depan?" sergah Kino, tidak sabar melihat ayahnya cuma mengangguk-angguk. Ayah tertawa kecil lagi, lalu menepuk kepala Kino dengan sayang sambil berkata, "Tanyakan ke ibumu. Kalau dia setuju, ayah juga setuju." Kino bersorak dalam hati. Mana mungkin ibu tidak setuju! Wanita bermata lembut itu tidak akan pernah menolak permintaan Kino untuk pulang! ****** Sabtu pagi itu langit cerah, tetapi angin bertiup agak kencang dan basah menjanjikan hujan. Pohon-pohon bagai para penari, meliuk-liuk. Seakan mereka sedang menyiapkan tarian penyambutan bagi sang hujan. Kino tiba di kota kelahirannya pukul delapan pagi, saat pasar sayur masih sibuk menerima pasokan barang dagangan. Beberapa truk pengangkut sayur- mayur masih parkir di halaman pasar, di seberang terminal antar kota tempat Kino turun. Buruh-buruh masih sibuk menurunkan karung dan keranjang besar yang tampak sangat berat itu. Bau sayur dan buah segar bercampur sampah basah memenuhi udara. Kino bergegas turun dari bis yang ditumpanginya. Kepalanya penuh rencana, yang semuanya berpusat pada perjumpaan dengan Alma. Ia akan segera menuju rumah gadis itu setelah menemui kedua orangtuanya. Ia sudah menelpon Alma dari kantor telepon di kota M, mengabarkan kedatangannya hari ini. Alma terdengar gugup di telepon. Ah, tak sabar rasanya Kino ingin bertemu gadis itu! Cepat-cepat ia melangkah keluar dari terminal, setengah berlari, membelok menuju pusat kota. Tetapi baru saja Kino membelok, ia tersentak. Langkahnya terhenti. Di depannya, Alma berdiri dengan rambut berkibaran. Sebuah tas kecil tergantung ringan di bahunya. Kedua tangan bersidekap memeluk dadanya. "Alma! Sedang apa kau di sini?" "Menunggu kamu," sahut gadis itu. Mukanya cerah, senyumnya lebar, sebagian rambut menutupi muka. Dengan kedua tangan, Kino memegang bahu gadis itu. Mencengkramnya agak keras, membuat Alma meringis. Kino tidak berani memeluknya di tengah keramaian terminal, walaupun ia ingin sekali. Sangat ingin! "Hari masih pagi sekali! Apakah kamu di sini sejak fajar?" tanya Kino sambil menyingkirkan sedikit rambut dari kening Alma. Gadis itu tertawa kecil sambil menggeleng, tentu saja ia di sini sejak tadi. Tetapi tidak sejak fajar yang sudah berlalu 4 jam silam! "Hayo, kita pulang dulu. Aku perlu menaruh tas dan bertemu orangtuaku. Kau juga bisa ikut!" seru Kino sambil merengkuh tangan Alma dan menariknya pergi meninggalkan terminal. Alma membiarkan dirinya ditarik, tetapi ia lalu berkata, "Kenapa harus langsung ke rumah?" Langkah Kino terhenti lagi. Ia memutar tubuh, menghadap Alma. "Apa maksudmu?" tanyanya. Alma melirik ke arah tas Kino, berucap, "Tas mu tidak terlalu besar. Kenapa harus ditaruh di rumah?" Kino memandang tangan yang memegang tas. "Ya, memang tidak besar...", ucapannya tak selesai. Ia merasa Alma hendak mengatakan sesuatu. "Aku harus berangkat sore ini," ucap Alma pelan. "Hah? Berangkat kemana?" sergah Kino, sungguh kaget karena gadis itu tak pernah bicara tentang hari keberangkatan. Mengapa begitu tiba-tiba? Alma tersenyum melihat kekasihnya terperanjat dengan wajah bagai orang bego. Tetapi senyum itu sungguhlah sendu, karena kedua matanya agak basah, menerawangkan sinar kesedihan. Kino tiba-tiba sadar, Alma akan berangkat dengan bis malam ke kota S, lalu dari sana akan naik kereta api ke ibukota. Tentu saja, bis malam itu akan berangkat pukul 5 dari terminal ini! "Kalau begitu, kita cuma punya waktu setengah hari ini untuk berjumpa....," bisik Kino, nyaris tak terdengar ditelan hiruk pikuk pasar di seberang. Alma mengangguk, masih memandang lekat kekasihnya dengan matanya yang lembut-sendu. Ia sungguh ingin memeluk pemuda itu, membenamkan muka ke dadanya yang bidang. Menangis di sana sepuasnya. "Kau bilang apa kepada orangtuamu pagi ini?" tanya Kino. Ia kini punya rencana baru. "Aku bilang ingin pergi berjalan-jalan dengan kamu, dan semua pakaian sudah kumasukkan ke tas. Tinggal berangkat saja, nanti sore. Mereka pun sudah tahu aku ke terminal menunggumu," jawab Alma. "Kalau begitu, ayolah berjalan-jalan!" ucap Kino cepat. Ia tidak ingin pulang dan menghabiskan waktu. Semua rencananya harus segera diganti. "Kemana?" tanya Alma, walaupun ia tak peduli ke mana. Ke bulan pun ia akan ikut. Kino menyebut sebuah kota tempat peristirahatan, tak begitu jauh ke arah selatan. Direngkuhnya tangan Alma, berbelok kembali ke terminal. Mereka harus naik mini bus ke kota itu. Beriringan mereka masuk ke terminal, lalu naik mini bus yang masih menunggu penumpang. Kursi di depan, di sebelah supir, masih kosong. Di situ mereka duduk berdampingan dengan kedua tangan saling menggenggam. Ketika bus akhirnya berjalan, Alma menceritakan alasan kenapa ia harus segera berangkat sore ini. Ayahnya tiba-tiba harus bertugas ke S, sehingga ia memutuskan untuk mengajak serta Alma, sekalian mengantarnya ke ibukota setelah urusan di S selesai. ****** Kota peristirahatan itu terletak dekat puncak sebuah gunung, terkenal karena pemandangannya yang indah dan pemandian air panasnya yang mengandung belerang. Konon bagus untuk menyembuhkan sakit kulit. Ke kota ini banyak berkunjung turis domestik maupun internasional. Sebuah taman alamiah terdapat di sana, dilengkapi air terjun cukup tinggi dan sebuah danau bening yang cukup luas. Kino dan Alma pernah mendaki gunung ini, maka setelah menitipkan tas di tempat penitipan barang dan membekali diri dengan sedikit makanan-minuman, mereka menuju puncak yang bisa dicapai kurang dari setengah jam berjalan kaki. Untunglah keduanya memakai sepatu olahraga dan membawa jaket hangat yang waterproof . Puncak gunung sangat sepi ketika mereka tiba. Matahari belum lagi tinggi, udara masih sangat dingin. Mereka duduk di dekat sebuah batu besar dan langsung bercumbu. Keduanya telah dilanda kerinduan sejak pertemuan di terminal. Alma sudah tak sabar ingin dipeluk-dilumat-diremas. Sebuah gelegak yang amat kuat telah terhimpun di tubuh kedua remaja ini, sama seperti gelora kawah gunung yang masih aktif di hadapan mereka. Percumbuan kali agak berbeda. Ciuman-pagutan terasa bagai sebuah campuran antara kerinduan birahi dan kesenduan perpisahan. Alma terpejam, merasakan air hangat hampir tumpah dari kelopak matanya, sementara bibirnya sibuk mengulum bibir Kino, bagai tak ingin melepaskannya. Kino pun merasakan getar yang berlainan, tidak melulu birahi melainkan juga kehangatan kasih. Jauh di dalam lubuk hati keduanya juga timbul sebentuk kekhawatiran terhadap perpisahan yang kini telah di ambang mata. Kedua tangan Kino memang meremas-gemas payudara Alma yang langsung mengeras itu. Tetapi kini tidak hanya kenikmatan yang datang dari remasan itu, melainkan juga kecemasan akan masa panjang yang memisahkan mereka. Mereka berdua akan segera kehilangan kontak badan yang selama ini menjadi bumbu bagi jalinan batin dan cinta. Apakah ketiadaan-kontak itu akan melunturkan kasih? Apakah birahi fisik demikian mereka perlukan untuk melanjutkan percintaan? Sungguh pertanyaan yang sulit! Alma, seperti biasa, menikmati duduk dipangkuan Kino, membiarkan kedua payudaranya dipermainkan. Rasa nikmat, seperti biasa, telah menjalar keseluruh tubuhnya, membuatnya mengerang. Tetapi, tidak itu saja yang ia rasakan. Ia juga merasakan betapa tangan-tangan kekasihnya memancarkan getar yang berbeda. Ada kegetiran di setiap remasannya, semacam pernyataan tak rela. Seakan Kino tak ingin melepaskan tangan dari tubuhnya. Apakah pemuda ini akan melupakannya, jika ia tidak lagi bisa meremas-remas dadaku? pikir Alma di tengah gelimang nikmat yang memenuhi benaknya. Apakah aku akan kehilangan tangan-tangan yang bergelora itu, dan lalu akan melupakannya? Bibir Kino menjalari leher kekasihnya. Harum khas Alma memenuhi rongga hidung Kino. Ah, senang sekali menghirup aroma tubuh gadis yang segar itu! Betapa Kino akan kehilangan keharuman-kesedapan wangi Alma yang alamiah. Betapa ia akan merindukan harum lembut pengikat jiwa itu. Bagaimana kah nanti rasanya, tidak bisa lagi mencium leher jenjang yang halus ini? tanya Kino dalam hati. Rasa kehilangan seperti apakah yang akan dialaminya? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kedua kepala dan hati remaja itu, sehingga perlahan percumbuan mereka menghambar. Perlahan-lahan birahi mereka padam, seperti perapian yang kehabisan bahan bakar. Alma bahkan perlahan-lahan tersedu, membiarkan air mata tumpah menerobos lentik bulu matanya yang berkerejap. Kino melepaskan remasannya, dan kini memeluk tubuh Alma erat- erat, mendekapkan kepala gadis itu ke dadanya. Suara tangis Alma menyelinap ke luar dari dekapan Kino, mengusik keheningan puncak gunung. Tangan pemuda itu mengusap-mengelus rambutnya yang hitam. Sesekali Kino mengecup pula rambut yang harum itu, mencoba menghibur kekasihnya. Lama mereka berpelukan, Alma masih di pangkuan Kino, sesenggukan menumpahkan semua kesedihannya. Dada Kino kini mulai basah oleh airmata Alma, terasa hangat dan menyakitkan. Pada saat-saat seperti ini, Kino menyesal mengapa harus mencintai seseorang yang toh juga akan pergi jauh. Mengapa selalu ada saat di mana engkau harus meninggalkan atau ditinggalkan oleh seseorang yang kau sukai? ****** Tak lama kemudian mereka turun dari puncak gunung, lalu duduk-duduk saja di taman dekat air terjun. Ketika siang tiba, mereka makan di sebuah warung murah-meriah. Lalu, tepat pukul 1 siang mereka kembali ke kota. Dalam perjalanan, mereka lebih banyak diam, masing-masing terbenam dalam kerisauan dan kepasrahan. Risau karena banyak sekali pertanyaan yang belum mereka jawab. Pasrah karena mereka tak punya pilihan lain, selain harus berpisah. Dan ketika akhirnya Kino mengantar Alma ke terminal sore itu, seluruh hari terasa kelabu belaka. Tubuhnya terasa letih. Kepalanya terasa pening. Ia juga merasa sangat kesepian, walaupun bus malam belum lagi berangkat dan Alma masih berdiri di sampingnya di pelataran terminal. Orang-orang ramai bercakap, tetapi bagi kedua remaja ini, dunia terasa sungguh sunyi. Kedua orangtua Alma mencoba menghibur, mengajak Kino berdiskusi tentang masa depan, mencoba meyakinkan pemuda itu bahwa kesedihan perpisahan tidaklah seberapa dibandingkan kecerahan masa depan. Dengan sopan, Kino menyetujui semua wejangan orangtua Alma. Ia tidak punya pilihan lain, bukan? Lalu bis malam itu berangkat. Alma duduk di dekat jendela, melambaikan tangan dan tersenyum kepada Kino yang terpaku di pelataran. Selamat tinggal, bisik pemuda itu di dalam hati. Dibalasnya lambaian tangan gadis itu. Dibalasnya pula senyum sendu itu. Selamat tinggal kekasih. Mari kita tutup babak berikutnya dari kehidupan yang masih terasa panjang ini. Mari terus berharap akan ada babak-babak selanjutnya. Selamat tinggal, Alma.  

home